Sekolah Unggulan dan Sekolah Rakyat Elitisme Pendidikan dan Nestapa Kelas Menengah

Sekolah Unggulan dan Sekolah Rakyat: Elitisme Pendidikan dan Nestapa Kelas Menengah
Imam Khomaeni Hayatullah.(DOK PRIBADI)

Hari Pendidikan Nasional setiap 2 Mei Sebaiknya menjadi momentum Cerminan akbar: sudah sejauh mana pendidikan Indonesia membentuk Sosok seutuhnya? 

Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) mengangkat tema “Partisipasi Semesta Wujudkan Pendidikan Bermutu Kepada Sekalian”, disertai logo tiga sosok dan sebuah bintang yang menyiratkan pesan bahwa pendidikan ialah upaya kolektif, inklusif, dan penuh semangat Kepada mencapai bintang – simbol tertinggi dari ilmu pengetahuan, Watak, dan kemajuan bangsa. Dari logo dan tema ini, kolektif dan inklusif atau semesta dan Sekalian, menjadi sorotan dalam pendidikan Indonesia. Sebuah gagasan mulia yang Kalau terwujud akan memajukan pendidikan Indonesia. 

Hardiknas kembali hadir di tengah janji-janji besar Asta Cita yang menjanjikan revolusi pendidikan menuju Indonesia emas. Tetapi, Malah di Begitu inilah masyarakat perlu mengajukan pertanyaan Krusial: mengapa negara memilih membangun Sekolah Unggulan Garuda atau Sekolah rakyat, sementara ribuan sekolah “Standar” Tetap menghadapi krisis dasar—dari guru yang digaji tak layak hingga sarana yang menyedihkan?

Program hasil terbaik Segera terbaik yang beririsan dengan kegiatan pendidikan, peserta didik ataupun pendidik ialah Memberi makan siang dan susu gratis di sekolah dan pesantren, serta Sokongan gizi Kepada anak balita dan ibu hamil, Membangun sekolah-sekolah unggul terintegrasi di setiap kabupaten, dan memperbaiki sekolah-sekolah yang perlu renovasi, Meningkatkan gaji ASN (terutama guru, dosen, dan tenaga kesehatan), TNI/POLRI, dan pejabat negara. Dari ketiga irisan ini, yang sudah Jernih terlaksana ialah program Makan Bergizi Gratis (MBG), sementara wacana sekolah unggulan ditambah sekolah rakyat menjadi program yang malah dikerjakan oleh kementerian lain, bukan oleh kemdikdasmen. Kemendiktisaintek dan Kementerian sosial memang menyatakan akan melakukan koordinasi penuh dengan kemendikdasmen terkait sekolah unggulan garuda maupun sekolah rakyat, Tetapi apakah kolaborasi akan berhasil, ataukah malah akan menjadi sekolah Spesifik seperti sekolah kedinasan tiap Kementerian yang sudah Terdapat di Tingkat perguruan tinggi. 

Niat hati memeluk gunung, apa daya tangan tak Tiba, peribahasa yang mewakili kekhawatiran public menyikapi adanya sekolah berasrama ini.sekolah rakyat dengan kurikulum Elastis yang bersifat personal? Pun sekolah unggulan, Biar sudah sering dipromosikan oleh Ibu Stella Wamendiktisaintek akan menggunakan kurikulum Dunia, mengapa Terdapat perbedaan diantara kedua sekolah ini dan sekolah Standar?A pakah keduanya akan menjadi lembaga elite baru, seperti halnya sekolah kedinasan atau program Rintisan Sekolah Bertaraf Dunia (RSBI) di masa Lewat? Apakah ini Kagak akan mengulang kembali kekeliruan dengan menciptakan eksklusivitas dalam sistem pendidikan yang Sebaiknya merata?

Cek Artikel:  Kesiapan Indonesia Menuju Keanggotaan OECD

Niat Berkualitas Ingin mencipatkan sekolah yang dapat menghasilkan lulusan terbaik Kepada melanjutkan Pendidikan di perguruan tinggi terbaik di dunia, serta memutus mata rantai kemiskinan menjadi tujuan dua sekolah ini didirikan, Tetapi belum dilaksanakan saja public sudah menyangsikan program ini. belum Kembali adanya rencana keduanya merupakan sekolah asrama (Terdapat juga yang non-asrama), akan Membikin implementasi kedua program ini menjadi tanda tanya.

Pemerintah kini mengusung program Sekolah Unggulan Garuda dan Sekolah Rakyat. Sekolah ini sekilas menawarkan solusi: menjaring siswa berprestasi tinggi dan membantu anak-anak miskin ekstrem. Tetapi Kalau dilihat lebih dalam, program ini berpotensi memperbesar ketimpangan sosial. Mereka yang berada di tengah—Berkualitas secara ekonomi maupun intelektual—seringkali terpinggirkan. Kagak miskin cukup Kepada mendapat Sokongan, Kagak cemerlang cukup Kepada meraih keistimewaan. Kelas menengah ialah fondasi stabilitas bangsa, Tetapi dalam sistem hari ini, menjadi di tengah Malah terasa menjadi paling berat: terhimpit biaya, terpinggirkan Kesempatan, terlupakan dalam kebijakan. Maka, apakah Tetap relevan memaksakan program dua sekolah ini.

Sayangnya, Realita di lapangan memperlihatkan bahwa banyak cita-cita luhur itu Tetap tersandung oleh realitas pahit. Kenaikan Fulus Kuliah Tunggal (UKT) di berbagai perguruan tinggi negeri Membikin akses pendidikan tinggi terasa makin jauh bagi rakyat kebanyakan. Tragedi keracunan massal dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG) mengingatkan kita bahwa bahkan hak dasar anak Kepada belajar dalam keamanan pun belum sepenuhnya terjamin. Keterlambatan pembayaran gaji guru honorer pun mencederai prinsip keadilan, serta permasalahan Pendidikan di Area 3T yang Kagak kunjung selesai.

Artinya, jalur pendidikan menuju mobilitas sosial sejak awal sudah Kagak setara. Anak-anak dari Area  pinggiran, khususnya 3T sudah tertinggal langkah bahkan sebelum ikut perlombaan. Banyak hal pokok yang belum dipenuhi oleh negara melalui pemerintah, anehnya malah Terdapat ide akrobatik baru Kepada mengambil jalan pintas. Alih-alih memberikan pendidikan murah Kepada perguruan tinggi, walaupun ini Tetap kebutuhan tertierari, pemerintah getol mempersiapkan segelintir orang Kepada mengejar universitas terbaik dunia. Alih-alih memberikan kualitas pendidikan merata, pemerintah malah mengambil yang Golongan miskin desil 1 & 2 Kepada diselamatkan.

Dari uraian ini, Terdapat satu Golongan sebenarnya yang selalu dilupakan, dinestapakan mungkin. Golongan menengah. Mereka yang Kagak terlalu pintar dan Kagak terlalu kaya, Kagak terlalu bodoh dan Kagak terlalu miskin. Mereka akan tetap berada di sekolah Standar, yang akan pendidikannya itu-itu saja. 

Cek Artikel:  Pendidikan Politik

Maka pendidikan gagal menjadi alat mobilitas sosial. Mereka hidup dalam stagnasi: Kagak Terperosok, tapi juga Kagak Pandai naik.

Kedua sekolah ini dikhawatirkan memunculkan elitisme pendidikan, yang mana yang paling disorot ialah mereka yang paling cemerlang dalam akademis dan paling meralarat dalam finasial, sementara mereka yang di Tengah akan terpinggirkan. kembalinya elitisme pendidikan. Dengan akses yang terbatas, tes berlapis, dan kemungkinan fasilitas mewah, sekolah ini berpotensi menjadi lembaga prestisius yang memisahkan “mereka yang layak dibina” dan “mereka yang cukup puas di pinggir”. Ini mengingatkan pada kegagalan program RSBI yang akhirnya dibatalkan Mahkamah Konstitusi karena menciptakan diskriminasi.

Sehingga Cerminan yang sama-sama direnungkan, ke mana arah pendidikan kita dan Kepada siapa sebenarnya? Apakah seluruh Anggota negara Indonesia, atau mereka yang masuk kualifikasi saja? Kalau kita sedikit menapak tanah, terlihat Jernih jarak pendidikan antara pulau jawa dan luar jawa, alih-alih mengejar deficit perbedaan, narasi yang dimunculkan ialah akan ditambahnya jurang baru yang memperlebar, hal ini terjadi karena sekolah yang Standar akan kembali dilupakan. Para lulusannya akan sulit mengejar sekolah Impian atau universitas tujuan.

Karena hakikat perlombaan Kepada kenyamanan hidup Pandai ditentukan sejak dari sekolah dasar. Mereka yang masuk sekolah dasar favorit akan Lancar menuju sekolah menengah pertama, menuju sekolah menengah atas dan berlanjut di perguruan tinggi. Mereka yang gagal masuk sekolah favorit, ataupun tergelincir dan melanjutkan ke sekolah favorit, hidupnya akan menjadi kelas menengah. Dan melahirkan anak yang akan menjadi kelas menengah dan seterusnya, syukur Kalau Kagak masuk ke kelas Rendah/miskin. 

Kelas menengah yang tersisih

Kalau Anda Sekalian sering Menyaksikan curhan hati beberapa pengguna twitter/X, dalam tema kalahnya kaum menengah, sering muncul curhatan menyatakan mereka hidup dalam kehimpitan, mereka Kagak miskin, karena Mempunyai kecukupan, Tetapi Jernih dalam menjalani hidup akan sangat sulit, karena memang pas-pasan dan juga Kagak mendapat subsidi dari negara. Latar belakang kaum menengah ini sangat banyak, seperti ASN golongan 1 atau 2, pelaku usaha kecil dan mikro, para nelayan, petani dan lainnya. Seperti Teladan, anak ASN Kagak berhak mendapat Sokongan KIP, karena memang salah satu persyaratannya bukan dari keluarga ASN atau PNS, sementara gaji mereka tentu sangat pas-pasan.

Cek Artikel:  Kenaikan Covid-19, Apa yang Sebaiknya Diperhatikan Dilaksanakan

Makin terbuka jurang mereka Kepada Kagak melanjtkan pendidikan karena UKT yang mahal. Atau mereka yang belajar dengan giat, Tetapi Rupanya kemampuan akademiknya begitu saja, dengan nilai kelulusan standar, atau Kalau diperkuliahan IPK mereka tentu Kagak sebatas 2.3 tetapi Kagak cumlaude, maka terputus kesempatan mereka mencari pekerjaan yang sudah membatasi denga standar minimal IPK 3.0, seperti itu juga beasiswa pendidikan LPDP yang syaratnya IPK di 3.0 ke atas. Data Kemendikbud terakhir menunjukkan bahwa rata-rata IPK mahasiswa nasional Tetap berada pada kisaran 2.89–3.10, artinya banyak yang berada Benar di ambang Rendah. Kagak malas, tetapi juga Kagak cukup cemerlang Kepada masuk radar kebijakan afirmatif. 

Demikian nestapanya kelas menengah di negeri tercinta kita ini. tentu akan sangat menyebalkan Kalau opini ini dibalas dengan survivior bias yang menyatakan, “Terdapat kok orang miskin yang Giat jadi pinter trus dapat kerja, dapat beasiswa”, dan Terdapat yang lain. Narasi ini problematis. Ia mengabaikan Realita struktural dan hanya Pusat perhatian pada kisah pengecualian. Tentu Terdapat yang berhasil, tetapi jumlahnya Kagak cukup signifikan Kepada menjadi dasar kebijakan. Kebijakan publik Kagak Pandai dibuat berdasarkan cerita inspiratif semata.

Karena, sekali Kembali hal kasuistik demikian sayangnya sedikit sekali kisahnya, lebih banyak mereka kelas menengah yang Pandai sekolah hanya Tiba SMP dan SMA, Lewat bekerja, dan berlanjut siklus hidupnya kepada anak turunan mereka. Menjadikan kisah pengecualian sebagai Kebiasaan Kepada merespons kegagalan sistemik ialah bentuk ketidakadilan baru. Mereka Kagak miskin, tapi Kagak terlalu kaya Kepada keluar dari siklus ini.

Adanya Krisis sistemik yang menyasar kelas menengah hari demi hari. Seakan Kagak selesai dan Kagak Ingin diselesaikan. Mereka Kagak mendapat tax amnesty dan Kagak mendapat BLT, dan tentunya mereka wajib bayar pajak. Anehnya pajak mereka Kagak dirasakan oleh anak mereka. 

Sistem selektif berbasis prestasi ekstrem atau kemiskinan ekstrem Malah menciptakan kasta pendidikan. Dan yang terjebak di tengah akan Lalu menjadi kelas menengah yang stagnan, sulit bergerak, dan makin tertekan.

Pada akhirnya, pertanyaan Krusial harus kembali diajukan: Kepada siapa pendidikan nasional ini dibangun? Kalau hanya Kepada mereka yang sesuai kriteria tertentu, maka cita-cita keadilan sosial dan kemajuan Serempak akan tinggal Ungkapan. Pendidikan Sebaiknya membuka jalan bagi Sekalian, bukan hanya bagi yang ‘Berhasil’ secara indeks atau indikator.

Akhir kata, semoga hardiknas ini menjadi momentum Kepada meratanya pendidikan bagi Sekalian.

Mungkin Anda Menyukai