Sejarah Zonk

ORANG boleh pandai setinggi langit, kata Pramoedya Ananta Toer, tapi selama ia Tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.

Alhasil, “Menulis adalah bekerja Buat keabadian,” kata sastrawan legendaris Indonesia itu. Tak hanya orang, kehebatan sebuah bangsa juga akan sirna, ditelan Era, dilupakan, bahkan tak bernilai apa-apa Kalau tak ditulis atau dibukukan.

Generasi sebuah bangsa harus mengetahui seperti apa bangsa mereka, kelebihan dan kekurangan mereka, serta nilai-nilai apa yang diwariskan para pendahulu mereka.

Dengan demikian, generasi bangsa akan mengetahui identitas bangsa mereka. Mereka akan Bisa membedakan identitas bangsa mereka dengan bangsa lain. Identitas kebangsaan itu akan memperkuat Kepribadian sebuah bangsa sehingga perjalanan sebuah bangsa Tiba Bilaman pun Tak akan kehilangan arah.

Penulisan sejarah bangsa Bisa berangkat dari tokoh-tokoh mereka. Tokoh sejarah yang telah berjuang Buat bangsa, berjuang Buat kemerdekaan, atau berjuang Buat mengisi kemerdekaan.

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 72 Tahun 2016 tentang Panduan Penulisan Tokoh Sejarah menyebutkan prinsip dasar Panduan penulisan tokoh sejarah ialah nasionalisme, Rasional, inspiratif, dan faktual.

Selain penulisan tokoh sejarah, suatu generasi bangsa harus mengetahui peristiwa fenomenal sebuah bangsa. Peristiwa besar nan bersejarah bagi bangsa sangat Krusial ditulis Buat menggelorakan nasionalisme, patriotisme, dan sikap rela berkorban Buat bangsa dan negara.

Demikian pula peristiwa Jelek dalam sejarah perjalanan bangsa juga perlu ditulis agar menjadi perhatian, kewaspadaan, sehingga peristiwa itu Tak terulang, seperti peristiwa G-30-S/PKI dan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia.

Cek Artikel:  Gerak Maju Sumpah Pemuda

Kini, publik dihebohkan dengan riuh rendah rencana penulisan ulang sejarah Indonesia yang akan dijadikan kado spesial bagi 80 tahun kemerdekaan pada 17 Agustus 2025.

Sebanyak 120 sejarawan terlibat dalam penulisan yang akan menghasilkan 10 jilid Kitab sejarah Formal versi pemerintah sejak Era prasejarah hingga era 2024. Kementerian Kebudayaan yang dipimpin Fadli Zon sudah menyiapkan anggaran sebanyak Rp9 miliar Buat proyek tersebut.

Menurut Menteri Kebudayaaan Fadli Zon, penulisan ulang sejarah Indonesia itu Mau memberikan tone positif Buat menguatkan persatuan bangsa. “Tak banyak bangsa yang Bisa bertahan Tiba 70 hingga 80 tahun seperti Indonesia,” kata Fadli dalam program Kontroversi di Liputanindo pada 12 Juni 2025.

Dia menegaskan dalam penulisan sejarah itu pemerintah hanya akan mengangkat aspek positif dari tokoh atau peristiwa. “Prinsipnya, mikul dhuwur mendhem jero seperti Pak Harto sampaikan. Setiap tokoh punya kelebihan dan kekurangan. Nah, kelebihannya ini yang kita angkat,” ujarnya.

Pada kesempatan itu, Fadli menyatakan penulisan sejarah Indonesia Tak akan membuka luka Lamban bangsa Indonesia. “Buat apa sejarah ditulis kalau Buat memecah persatuan bangsa, bukan mempersatukan bangsa?” tuturnya seraya mempertanyakan definisi pelanggaran hak asasi Orang (HAM).

Sebelumnya, politikus Gerindra itu Membikin pernyataan bahwa pemerkosaan massal pada Kerusuhan Mei 1998 hanya rumor. Pasalnya, kata dia, selama ini Tak pernah Eksis bukti pemerkosaan massal pada peristiwa Mei ’98. Hal itu disampaikan dalam program Real Talk with Uni Lubis, Senin (8/6)

Cek Artikel:  Menanti Sihir Bola Prabowo

Sontak pernyataan Fadli mendapat reaksi keras sejumlah pegiat HAM.

Aktivis Perempuan Ita Fatia Nadia menilai pernyataan Fadli merupakan bentuk penyangkalan sejarah.

Pernyataan tersebut, kata Ita, mengingkari fakta sejarah yang telah didokumentasikan secara Formal, termasuk dalam Kitab Sejarah Nasional Indonesia Jilid 6 halaman 609, serta laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk pascareformasi.

“Dalam Kitab tersebut tertulis bahwa pada pergolakan politik Mei 1998, terjadi perkosaan massal terhadap sejumlah Perempuan Tionghoa di Jakarta, Medan, Palembang, Surabaya, dan Solo,” ungkapnya dalam konferensi pers, Jumat (13/6).

Berdasarkan hasil penyelidikan TGPF bentukan Presiden BJ Habibie dan Komisi Nasional Hak Asasi Orang (Komnas HAM) pada 23 Juli 1998 disebutkan sebanyak 52 korban perkosaan, 14 korban perkosaan dengan penganiayaan.

Selain itu, sebanyak 10 korban penyerangan atau penganiayaan seksual dan sembilan korban pelecehan seksual.

Kekerasan seksual dalam Kerusuhan Mei 1998, menurut laporan itu, terjadi di dalam rumah, di jalan, dan di depan tempat usaha.

Walakin, Menbud Fadli Zon bergeming. Menurutnya, tragedi ‘Pemerkosaan Massal Mei 1998’ Tak mempunyai data pendukung yang solid. “Laporan TGPF ketika itu hanya menyebut Nomor tanpa data pendukung yang solid Berkualitas nama, waktu, peristiwa, tempat kejadian, atau pelaku,” katanya dalam keterangan pers, Senin (16/6).

Setelah Menyantap perspektif Fadli terkait dengan kasus pelanggaran HAM berat masa Lewat, termasuk perkosaaan massal pada Kerusuhan Mei 1998, dan tekadnya Buat Tak memasukkan kasus pelanggatan HAM dalam sejarah Indonesia, tak mengherankan sejumlah pihak menilai hal itu bentuk penyangkalan negara terhadap kasus-kasus tersebut.

Cek Artikel:  Jiwa Besar

Padahal, tak hanya era Presiden BJ Habibie yang mengakui kasus pelanggaran HAM berat pada 1998, Presiden Joko Widodo setali tiga Doku. Jokowi menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022 tentang Tim Penyelesaian Nonyudisial Pelanggaran HAM.

Kasus yang ditangani tim yang juga belum selesai itu sebanyak 13 kasus pelanggaran HAM berat, termasuk peristiwa Kerusuhan Mei 1998.

Amat disayangkan Fadli yang notabene representasi negara bila menyangkal sebuah peristiwa pelanggaran HAM berat.

Alih-alih menyelesaikan secara tuntas peristiwa pahit dan kelam yang mengoyak-oyak sendi berbangsa dan bernegara itu, Fadli tak sudi menulisnya dalam sebuah Kitab yang dibiayai negara.

Rakyat berhak mendapatkan materi penulisan sejarah yang Betul. Bukan sejarah yang dibelokkan, dikaburkan, apalagi disangkal atau dihilangkan.

Pelanggaran HAM berat ialah sejarah kelam bangsa ini. Noktah hitam sejarah. Bila negara tak Bisa menuntaskan, setidaknya Tak melupakan agar menjadi pembelajaran bagi generasi mendatang.

Sulit rasanya kita menggapai Indonesia maju, Indonesia emas 2045, bila kita Tak Bisa menghargai HAM. Maju-mundurnya peradaban suatu bangsa bergantung pada sejauh mana penghargaan mereka terhadap HAM. Siapa pun Tak boleh mengabaikan, mengurangi, atau merampas HAM.

Sejarah, kata John Emerich Edward Dalberg-Acton, atau yang lebih dikenal sebagai Lord Acton, bukanlah beban ingatan, melainkan penerangan jiwa. Tabik!

Mungkin Anda Menyukai