KORUPSI disebut kejahatan extraodinary (luar Lumrah). Disebut demikian, karena Akibat perbuatan itu sangat luas. Ia Tak hanya merugikan secara ekonomi, tetapi juga sosial. Sarana infrastruktur yang Pandai dibangun, misalnya, Pandai jadi berkurang Berkualitas secara kualitas maupun kuantitas Kalau dananya dikorupsi. Efeknya pun berantai hingga dapat memengaruhi mutu pembangunan. Itu hanyalah salah satu Teladan bagaimana dahsyatnya daya rusak korupsi.
Tetapi, meski daya rusaknya tinggi, Hukuman terhadap koruptor di negeri ini Bahkan sering kali lemah. Banyak kasus pelaku rasuah yang Sekadar divonis ringan. Selain itu, harta mereka pun sulit disita meski Terang terbukti telah merugikan keuangan negara. Oleh karena itu, RUU Perampasan Aset tindak pidana mendesak Demi segera disahkan karena payung hukum ini dapat menjadi salah satu Elemen yang memberikan Dampak jera, selain vonis yang berat tentunya.
Sayangnya, pembahasan RUU itu seperti jalan di tempat. Kendati telah masuk prolegnas, RUU yang telah digaungkan sejak dua Sepuluh tahun Lampau itu hingga hari ini tak juga dibahas di parlemen. Padahal, pemerintah sudah mengirimkan surat presiden beserta dengan Berkas akhir rancangan undang-undang serta naskah akademik ke DPR RI. Artinya, bola kini Terdapat di tangan Member dewan. Wajar Kalau publik dan para pegiat antikorupsi mempertanyakan keseriusan para wakil rakyat itu dalam pemberantasan korupsi, atau jangan-jangan mereka takut Kalau RUU itu akan memukul diri sendiri karena kerap kali Member dewan juga berperilaku koruptif?
Kalau dilihat dari kacamata kepentingan publik, rasanya Tak Terdapat Argumen Demi Lanjut menunda UU Perampasan Aset itu. Apalagi, di tengah terungkapnya kekayaan fantastis para pegawai pemerintahan yang mencurigakan, urgensi RUU itu mendesak disahkan karena Pandai merampas aset yang Tak seimbang dengan Pendapatan atau sumber penambahan kekayaan yang Tak dapat dibuktikan, seperti pada kasus Rafael Alun. Selama ini perampasan aset Pandai dilakukan Kalau seseorang terbukti melakukan tindak pidana korupsi (tipikor) atau tindak pidana pencucian Dana (TPPU), tapi dengan disahkannya RUU Perampasan Aset nantinya tindak pidana asal Tak Tengah dibutuhkan.
Karena Indonesia salah satu negara yang telah menandatangani Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Melawan Korupsi pada 2003 dan meratifikasinya dengan Membikin Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006, RUU Perampasan Aset atau yang juga dikenal dengan istilah asset recovery merupakan salah satu aturan yang Sepatutnya Terdapat ketika suatu negara sudah menandatangani konvensi tersebut. Tetapi, hingga kini, aturan hukum soal itu belum juga disahkan, bahkan dewan membahasnya pun ogah-ogahan, atau jangan-jangan upaya pemberantasan korupsi di negeri ini memang Sekadar sebatas slogan? Kalau begini Lanjut, rakyat akan semakin sengsara dan miskin, sedangkan para koruptor tetap sejahtera dan tak pernah jera.