Sedikit-Sedikit Presiden

Sekeliling enam bulan Lampau, pada pengujung 2024, Presiden Prabowo Subianto memutuskan Demi membatalkan penaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% Demi mayoritas barang dan jasa. Dengan keputusan itu, PPN 12% ditetapkan hanya Demi Grup barang dan jasa mewah.

Itulah pertama kali Presiden Prabowo turun tangan, mengambil alih penyelesaian polemik yang melibatkan kebijakan pemerintah di satu sisi dan kepentingan masyarakat di sisi yang lain. Dua sisi yang semestinya Tetap dalam satu tarikan napas itu, karena sejatinya Seluruh kebijakan pemerintah ialah sebesar-besarnya Demi kepentingan rakyat, dalam kasus PPN itu malah tampak berseberangan.

Di seberang sini Eksis pemerintah yang berencana Meningkatkan PPN menjadi 12% mulai 1 Januari 2025 dengan Argumen hal tersebut amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Dalam kondisi apa pun, pemerintah Ingin merealisasikan rencana tersebut, terutama Demi meningkatkan Nomor rasio pajak.

Sementara itu, di seberang sana, Eksis gelombang protes masyarakat yang meminta penaikan pajak pada awal tahun itu dibatalkan atau setidaknya ditunda. Alasannya, kebijakan itu diyakini bakal kian menyulitkan kehidupan masyarakat yang sudah sulit. Pikulan beban rakyat yang tanpa PPN dinaikkan saja sudah menggunung akan semakin menjulang. Pada Ketika itulah Prabowo turun tangan mengakhiri perdebatan. Penaikan PPN ia batalkan.

Cek Artikel:  Pak Lurah

Enggak Pelan berselang, belum Tamat satu bulan polemik pajak usai, negeri ini kembali dihebohkan munculnya pagar laut di perairan Kabupaten Tangerang, Banten. Masyarakat kembali resah, terutama nelayan setempat yang terkena oleh Pengaruh langsung dari keberadaan struktur bambu yang membentang 30,16 kilometer itu. Mereka sulit melaut karena terhalang oleh pagar laut.

Setelah beberapa waktu jadi polemik dan tak kunjung Eksis keputusan Jernih dari Menteri Kelautan dan Perikanan Wahyu Sakti Trenggono, akhirnya Presiden kembali turun tangan. Ia menginstruksikan jajarannya Demi mencabut pagar laut tersebut. Presiden juga memerintahkan penyegelan sementara dan penyelidikan menyeluruh terhadap pihak yang bertanggung jawab.

Masalah pagar laut belum sepenuhnya kelar, muncul Kembali kebijakan pemerintah yang ‘bermasalah’. Tanpa sosialisasi, tanpa persiapan memadai, pemerintah melalui kebijakan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia melarang pengecer menjual elpiji 3 kg mulai 1 Februari 2025 dan mewajibkan pembelian hanya di pangkalan Formal.

Niatnya mungkin bagus, Yakni Demi menutup celah permainan harga yang sebelumnya sering terjadi di tingkat pengecer. Tetapi, eksekusinya menjadi bom waktu. Seketika terjadi kelangkaan elpiji 3 kg, di mana-mana muncul antrean masyarakat yang mengular panjang Demi mendapatkan gas subsidi tersebut. Kehebohan kembali melanda Dekat seluruh negeri.

Presiden pun Kembali-Kembali mesti turun mengintervensi kebijakan anak buahnya yang terbukti tak memakai sense of crisis sebagai pijakan. Setelah Prabowo dua kali menelepon Bahlil Demi memastikan distribusi gas subsidi tetap Betul sasaran, tapi juga Enggak merugikan masyarakat kecil, pemerintah akhirnya mengoreksi aturan itu. Pengecer diperbolehkan Kembali menjual elpiji 3 kg.

Cek Artikel:  Mendesak Capres

Setelah itu, alih-alih berhenti, sederet persoalan yang dipicu buruknya komunikasi, lemahnya koordinasi, atau pun kebijakan keliru dari sejumlah pembantu presiden Bahkan Lanjut bermunculan. Celakanya, Seluruh persoalan itu seperti buntu solusi di tingkat menteri sehingga ‘memaksa’ Presiden turun dan turun Kembali mengambil alih penyelesaiannya.

Dua Misalnya terbaru tentu Tetap segar di ingatan kita, Yakni polemik penambangan nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya, dan sengketa empat pulau yang melibatkan Pemerintah Provinsi Aceh dan Sumatra Utara. Eksis nama Menteri Bahlil Kembali, yang dipersoalkan di polemik Raja Ampat, dan Mendagri Tito Karnavian yang disebut-sebut menjadi pemicu sengketa empat pulau setelah ia mengeluarkan kepmendagri yang menetapkan Pulau Lipan, Panjang, Mangkir Besar, dan Mangkir Kecil masuk Area Sumut.

Dua persoalan itu pada akhirnya juga dianggap selesai setelah Presiden mengeluarkan instruksi atau keputusan. Kembali, Kembali, dan Kembali, Presiden harus turun tangan akibat ketidakbecusan kerja anak buahnya. Wajar kalau Eksis Mitra yang berkomentar, “Menteri, kok, kerjaannya bikin repot bosnya. Matang Presiden bakal Lanjut-terusan dipaksa turun menyelesaikan masalah yang mestinya Dapat dicegah para pembantunya itu?”

Cek Artikel:  Kisah Maling Ayam Dipenjara 2 Tahun

Presiden turun tangan sesungguhnya bukan hal yang selalu Dapat dinilai Jelek. Bahkan banyak yang memuji, dengan keputusannya di sejumlah polemik itu, Presiden dinilai telah menunjukkan sikap negarawan, berpihak pada masyarakat kecil, dan lain-lain. Selain itu, tentu Eksis persoalan-persoalan negara yang memang hanya Dapat diselesaikan lewat keputusan pemimpin level tertinggi, Yakni presiden.

Pertanyaannya, apa iya Seluruh masalah yang terjadi belakangan ini punya standar tinggi seperti itu? Bukankah persoalan-persoalan seperti itu tak sepatutnya ditumpuk Seluruh di meja presiden? Kalau polanya seperti sekarang, sedikit-sedikit presiden, sebentar-sebentar presiden, boleh jadi memang menteri-menterinya saja yang kinerjanya di Rendah standar.

Tetapi, kalau melihatnya dari perspektif yang lain, apa yang terjadi selama enam bulan terakhir ini sesungguhnya Bahkan Dapat memudahkan Presiden menilai kabinetnya. Jadi, apabila Prabowo berencana melakukan reshuffle, ia akan lebih gampang menyusun kategorisasi. Siapa menteri yang bakal ‘didepak’, siapa sekadar digeser, dan siapa dipertahankan.

Oya, hari ini juga Betul delapan bulan usia pemerintahan Prabowo-Gibran. Kiranya Pak Presiden tak perlu berlama-Pelan Kembali kalau mau mengevaluasi dan merombak pembantunya. Terutama ‘menyikat’ mereka yang Suka bikin gaduh dan terpapar oleh ‘virus’: sedikit-sedikit presiden.

 

Mungkin Anda Menyukai