Sebut Relokasi Gaza, Trump Dituding Dukung Upaya Genosida

Post-war Gaza. (EPA)

Jakarta: Presiden Amerika Perkumpulan Donald Trump kembali memicu kontroversi setelah mengusulkan pemindahan Anggota Gaza ke negara-negara tetangga. Dalam pernyataannya, Trump mengklaim bahwa penduduk Gaza akan lebih Terjamin Apabila tinggal di tempat lain, jauh dari konflik yang berkepanjangan.

“Saya Ingin mereka tinggal di tempat yang lebih Terjamin, tanpa gangguan, revolusi, dan kekerasan seperti yang mereka alami di Gaza,” ujar Trump kepada awak media di Air Force One, Senin, 27 Januari 2025, seperti dikutip dari Al-Arabiya, Rabu, 29 Januari 2025.

Pernyataan ini langsung memicu kritik dari berbagai pihak, termasuk Grup hak asasi Insan dan pemimpin Timur Tengah, yang menilai rencana tersebut sebagai bentuk pemindahan paksa yang melanggar hukum Dunia.
 

Usulan Relokasi dan Respons Dunia

Trump mengungkapkan bahwa ia telah berdiskusi dengan Raja Abdullah II dari Yordania dan Presiden Mesir Abdel Fattah al-Sisi mengenai kemungkinan menerima pengungsi dari Gaza. “Saya berharap mereka mau menerima sebagian, mengingat kita sudah banyak membantu mereka,” ujar Trump.

Tetapi, kedua negara tersebut secara historis menolak gagasan pemindahan massal Anggota Palestina. Euro-Med Human Rights Monitor, sebuah organisasi hak asasi Insan berbasis di Jenewa yang berfokus pada pelanggaran di kawasan Timur Tengah dan Eropa, menegaskan bahwa pernyataan Trump merupakan “dukungan eksplisit terhadap kejahatan genosida Israel di Gaza”.

Cek Artikel:  35 Anak Tewas dalam Insiden Desak-Desakan di Nigeria

Organisasi ini menyebut bahwa “Palestina sudah mengalami kehancuran total akibat Serangan Israel selama lebih dari 15 bulan, dan Tak Semestinya mereka membayar harga lebih lanjut dengan dipaksa meninggalkan tanah mereka”.

Menurut Euro-Med, “Israel telah melakukan genosida di Gaza sejak 7 Oktober 2023, termasuk dengan menghancurkan Seluruh kebutuhan dasar Demi kehidupan di Distrik itu”. Mereka menegaskan bahwa “pemindahan paksa Anggota Gaza akan menjadi pelanggaran terang-terangan terhadap Konvensi Jenewa Keempat, yang melindungi hak mereka Demi tetap tinggal di tanah air mereka”.

Euro-Med juga menuduh bahwa Trump “secara langsung mendukung kebijakan ekspansionis dan kolonial Israel yang secara sistematis berusaha menghapus keberadaan Palestina”. Pernyataan Trump, menurut organisasi ini, “merupakan bagian dari rencana yang lebih besar Demi memperkuat kebijakan pemindahan paksa dan pengusiran sistematis yang telah berlangsung bertahun-tahun”.
 

Kritik Lebih Lanjut

Dalam tulisan Euro-Med Human Rights Monitor, Rabu, 29 Januari 2025, disebutkan bahwa pengusiran paksa Anggota Gaza akan semakin memperburuk kondisi kemanusiaan yang sudah sangat kritis.

Cek Artikel:  PBB Israel Tolak Lebih dari 140 Permintaan Masuk Gaza Utara

Sementara itu, dalam opini yang ditulis oleh Andrew Mitrovica, kolumnis Al-Jazeera, Selasa, 28 Januari 2025, ia menegaskan bahwa rencana Trump Tak dapat dianggap sebagai kebijakan Lazim, melainkan bagian dari “upaya genosida yang sistematis terhadap rakyat Palestina”.

Mitrovica menulis bahwa Trump Tak pernah menganggap Anggota Palestina sebagai Insan yang layak diperhatikan dan Menonton Gaza sebagai “lahan Hampa yang siap dibersihkan Demi kepentingan investasi besar-besaran”. Ia juga menuduh bahwa Trump berupaya menciptakan keadaan di mana “Palestina Tak Kembali Terdapat sebagai sebuah bangsa”.

“Saya khawatir akan terburu-burunya pihak-pihak yang Ingin menyatakan ‘pemenang’ dan ‘pecundang’, padahal Semestinya Jernih bahwa genosida hanya menghasilkan kehancuran, Kematian, dan penderitaan,” tulis Mitrovica

Mitrovica juga menyoroti pernyataan menantu Trump, Jared Kushner, yang menyebut bahwa Gaza adalah “properti tepi laut yang sangat berharga” dan berpendapat bahwa pemindahan penduduk Dapat dilakukan ke Gurun Negev sebagai bagian dari “penyelesaian masalah”.

Ia menegaskan bahwa rencana Trump adalah bentuk pembersihan etnis yang berbahaya dan mencerminkan pendekatan Sadis terhadap masa depan Palestina.

Cek Artikel:  Pesawat Azerbaijan Airlines Mendarat Darurat setelah Tabrak Burung

Seorang pengungsi yang kembali ke Gaza, Radwan al-Ajoul, mengatakan kepada Al-Arabiya bahwa mereka “lebih memilih bertahan di tanah sendiri, meski dalam reruntuhan, daripada dipaksa pergi ke negara lain”.
 

Situasi Gaza Pasca-Gencatan Senjata

Begitu ini, lebih dari 2,3 juta Anggota Gaza Lagi menghadapi krisis kemanusiaan akibat perang berkepanjangan. Laporan menyebut bahwa lebih dari 370.000 Anggota Palestina telah mencoba kembali ke Gaza utara setelah gencatan senjata, meskipun kondisi Distrik tersebut sudah Tak layak huni.

Sementara itu, sejumlah pihak menilai relokasi ini sebagai solusi bagi keamanan Israel.

Dalam konteks hukum Dunia, Handbook for the Protection of Internally Displaced Persons yang diterbitkan oleh PBB menyatakan bahwa “pemindahan paksa hanya dapat dibenarkan dalam kondisi sangat terbatas dan harus memenuhi standar keamanan serta Harkat Insan.”

Kitab panduan ini juga menegaskan bahwa “pengusiran paksa berdasarkan kebijakan apartheid, pembersihan etnis, atau penghukuman kolektif adalah ilegal di Dasar hukum Dunia”. Dengan demikian, rencana Trump dinilai bertentangan dengan prinsip-prinsip perlindungan terhadap pengungsi internal sebagaimana diatur dalam Panduan PBB.

Baca Juga:
Ribuan Anggota Palestina Kembali ke Gaza Tanpa Rumah

Mungkin Anda Menyukai