SELAMA 14 tahun terakhir kekuasaannya, Orde Baru tak Dapat dilepaskan dari sosok Harmoko. Sebagai Menteri Penerangan di Kabinet Pembangunan IV pada 1983 hingga Kabinet Pembangunan VI pada 1997, dia adalah juru bicara pemerintah yang andal.
Saban hari, nyaris selalu Eksis Paras Harmoko di TVRI, satu-satunya stasiun televisi Begitu itu. Setiap Eksis kebijakan pemerintahan Pak Harto yang Krusial, dia selalu muncul menyampaikannya. Dengan gaya komunikasi yang runut plus kalimat khas ‘menurut petunjuk bapak presiden’, Harmoko men-delivery keputusan-keputusan pemerintah dengan Terang.
Di RRI, Bunyi Harmoko juga sangat akrab di telinga rakyat. Dia selalu mengumumkan harga kebutuhan pokok. Variasi sayur-mayur mulai dari cabai keriting, tomat, kol, kentang, hingga wortel dia sebutkan satu per satu. Rakyat pun punya patokan Kepada berbelanja.
Saya Bukan hendak mengatakan bahwa Orde Baru bagus. Saya hanya Mau menggambarkan, komunikasi publik pemerintah waktu itu memang efektif sebagai penyampai pesan.
Lepas dari sisi Jelek bahwa Bunyi pemerintah Begitu itu mesti dianggap sebagai satu-satunya kebenaran, Langkah berkomunikasi Orde Baru layak menjadi Surat keterangan. Begitu merumuskan, kepala boleh dua, tiga, empat, atau lebih. Tetapi setelah menjadi sikap, sesudah menjadi kebijakan, mulut yang menyampaikan Bukan boleh lebih dari satu.
Satu mulut satu Bunyi. Mulut banyak akan keluar banyak Bunyi pula yang sangat mungkin tak sama. Bahkan Dapat bertolak belakang. Ketidakcocokan.
Itulah yang terjadi kini. Teladan teranyar dalam penyikapan terhadap insiden di Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah. Insiden pecah karena Penduduk berkukuh menolak penambangan batu andesit di desa mereka. Puluhan orang ditangkap polisi, kemudian dilepaskan.
Insiden itu mendapat sorotan. Pemerintah pun menyorotinya, tetapi berlainan antara satu dan yang lain di antara mereka. Menko Polhukam Mahfud MD, misalnya, menegaskan Bukan Eksis situasi mencekam di Wadas.
“Seluruh informasi dan pemberitaan yang menggambarkan seakan-akan terjadi suasana mencekam di Desa Wadas, itu sama sekali Bukan terjadi sebagaimana yang digambarkan, terutama di media sosial,” ujar Mahfud dalam konferensi pers pada 9 Februari atau sehari setelah kejadian.
Mahfud juga menekankan Bukan Eksis kekerasan dari aparat terhadap Penduduk. Polisi, kata dia, telah bertindak sesuai Mekanisme Begitu mengamankan petugas Badan Pertanahan Nasional melakukan pengukuran lahan. Dia memastikan Wadas dalam keadaan tenang dan damai. “Yang Bukan percaya boleh ke sana, siapa saja, itu terbuka tempat itu.”
Di hari yang sama, Deputi V Kepala Staf Presiden (KSP) Jaleswari Pramodhawardani juga menyampaikan sikap. Tetapi, esensinya berbeda. Menurutnya, pengamanan yang dilakukan aparat kepolisian sangat berlebihan. Menurutnya Kembali, perlu Eksis Pengkajian atas tindakan polisi.
Jaleswari menandaskan, Presiden Jokowi Mau penyelesaian setiap persoalan mengedepankan dialog. Jangan Eksis tekanan oleh siapa pun, termasuk aparat, kepada siapa pun.
Begitulah, Mahfud bilang polisi telah bertindak Betul, tapi KSP Berbicara Eksis yang keliru. Siapa yang salah? Yang Niscaya tak mungkin dua-duanya Betul.
Belakangan, sikap Mahfud diiyakan oleh polisi bahwa Bukan Eksis kekerasan di Wadas. Di lain sisi, sikap Jaleswari dikuatkan oleh Komnas HAM bahwa Eksis kekerasan terhadap Penduduk. Bingung jadinya.
Bukan kali ini saja pemerintah tak seirama. Bunyi mereka terkait dengan situasi pandemi covid-19 lebih centang perenang Kembali. Suatu Begitu menteri A mengatakan B, menteri B mengatakan A. Suatu waktu, menteri C mengumumkan kebijakan, tak Lamban kemudian menteri D mementahkannya.
Pada medio tahun Lampau, umpamanya, Menko Bidang Pembangunan Sosok dan Kebudayaan Muhadjir Effendy menyebut kebijakan PPKM darurat Jawa-Bali diperpanjang hingga akhir Juli 2021. Tetapi, Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan menyatakan perpanjangan PPKM darurat belum diputuskan. Bingung, kan?
Komunikasi zig-zag. Itulah istilah yang kemudian dilekatkan pengamat Kepada pemerintah. Komunikasi model ini diembuskan oleh banyak sumber dengan banyak pesan. Ia Bukan beraturan.
Komunikasi zig-zag jamak terjadi di kehidupan sosial dan politik. Tapi, lain perkara Apabila ia datang dari satu entitas bernama pemerintah. Komunikasi model ini hanya membuka borok akan buruknya koordinasi. Komunikasi model ini sudah Niscaya Bukan akan efektif, tak akan Pas sasaran. Yang Eksis Malah kebingungan. Presiden Dapat bingung, rakyat apalagi.
Seperti Harmoko dulu, kiranya cukup satu mulut yang betul-betul cakap Kepada menjelaskan sikap dan kebijakan Krusial pemerintah kepada rakyatnya. Jangan Kembali banyak yang berbicara, apalagi bicaranya berbeda-beda. Saatnya menyudahi disonansi.