PENGAKUAN Menteri Perencanaan dan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Suharso Monoarfa, tentang sulit tercapainya 10 indikator Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 merupakan peringatan serius.
Sepuluh indikator ia maksud ialah imunisasi dasar lengkap, stunting, tingkat penurunan berat badan balita (wasting), insidensi tuberkulosis, eliminasi malaria, eliminasi kusta, Bilangan merokok pada anak, obesitas penduduk dewasa, fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP), dan puskesmas dengan tenaga kesehatan yang sesuai standar.
Beberapa indikator itu bahkan Tetap sangat jauh dari Sasaran. Sebut saja capaian imunisasi dasar lengkap yang baru mencapai 63,17% pada 2022 dari Sasaran sebesar 90%. Kemudian Bilangan stunting yang Tetap di kisaran 21,6%, sementara Sasaran pada 2024 sudah harus turun hingga 14%.
Capaian memprihatinkan lainnya ialah FKTP yang baru mencapai 56,07% pada 2022. Padahal, Presiden Jokowi menargetkan capaian tembus 100% pada 2024. Sejurus dengan itu, Bilangan puskesmas dengan tenaga kesehatan sesuai standar baru mencapai 56,07% pada 2022, sedangkan akhir RPJMN 2024 harus mencapai 83%.
Memang, kita pahami Apabila tiga tahun pandemi menjadi pukulan berat terhadap segala Sasaran pembangunan. Tetapi, ketertinggalan jauh di sejumlah indikator itu Tak dapat memungkiri adanya kelemahan besar pada kinerja pemerintah, khususnya pemerintah daerah.
Pemda dengan Bilangan stunting yang Maju tinggi semestinya dapat berkaca dari sejumlah pemda yang dapat menurunkan stunting secara signifikan meski dalam kondisi pandemik. Salah satu contohnya ialah Pemda Sumedang yang menurunkan prevalensi stunting dari 32,2% pada 2018 menjadi 8,27% pada 2022 dengan pemanfataan sistem pendataan elektronik.
Berbagai kelemahan kinerja pemerintah, mulai daerah hingga pusat, harus segera diperbaiki sehingga capaian 10 indikator itu setidaknya membaik di setahun terakhir ini. Mengejar ketertinggalan di masa akhir RPJMN 2020-2024 ini Tak boleh disepelekan karena sejumlah indikator itu sangat menentukan kualitas generasi muda kita.
Kita harus paham Apabila indikator pertumbuhan anak dan kesehatan masyarakat memang menjadi indikator Lumrah bagi pembangunan, termasuk di negara-negara maju, Asal Mula indikator-indikator inilah yang menentukan kualitas terpenting sekaligus termahal sebuah bangsa, yakni kualitas sumber daya Orang (SDM).
Tanpa SDM yang cerdas dan sehat, Bilangan surplus penduduk pun Tak akan berarti banyak. Surplus penduduk Ragam itu hanya akan menghasilkan angkatan kerja dengan keterampilan dan keahlian menengah. Sementara angkatan kerja dengan kemampuan level inovator dan tenaga-tenaga Ahli hanya Dapat dihasilkan Apabila generasi muda mencapai masa pertumbuhan emas dengan Berkualitas.
Di sisi lain, kegagalan capaian 10 indikator yang sudah Nyaris mustahil dipenuhi di tahun terakhir ini harus menjadi pelajaran Demi penyusunan RPJMN 2025-2029. Pemerintah, yang telah mulai penyusunan sejak Maret Lampau, harus memastikan Apabila estafet pemenuhan indikator-indikator Krusial itu harus berlanjut.
Hal itu tentunya harus dituangkan juga dengan keberpihakan kerangka makroekonomi hingga program-program kementerian/lembaga yang selaras. Pemerintah pusat harus dapat Membikin strategi yang mendorong pemerintah daerah berperan lebih besar dalam pemenuhan indikator-indikator tersebut.
Tak berhenti di situ, RPJMN baru itu juga harus resilience dengan berbagai ancaman krisis Mendunia, termasuk ancaman pandemi baru dan berbagai krisis karena iklim hingga konflik kawasan. Hal inilah yang semestinya menjadi Bentuk kesadaran kita akan ambisi-ambisi besar, termasuk Indonesia Emas 2045.
Segala Sasaran besar itu tentunya hanya Dapat dicapai dengan fondasi bangsa yang kuat. Itu Tak lain ialah pembangunan SDM yang serius di segala lini.