HARI Santri yang Terperosok pada 22 Oktober, kini kembali hadir menyapa. Secara formal, Hari Santri ini merupakan ‘hari rayanya’ para santri, tapi Enggak berarti menutup pintu bagi pihak-pihak lain yang non-santri Buat ikut merayakannya. Karena, keberadaan santri sendiri di negeri ini bukanlah Grup Tertentu yang terpisah dari Grup-Grup lain sesama Penduduk negara.
Semangat kesatuan dan persaudaraan kaum santri sebagai sesama Penduduk negara itu di antaranya tecermin dari trilogi ukhuwah yang dipegang mereka, bahwa santri selain diajarkan Buat membangun persaudaraan antarsesama umat Islam (ukhuwah Islamiyah), juga diajarkan membangun tali persaudaraan dengan sesama anak bangsa (ukhuwah wathaniyah), dan antarsesama umat Insan (ukhuwah basyariyyah). Dengan semangat persaudaraan universal inilah, perjuangan kaum santri bukan Buat kaum santri sendiri, melainkan bagi seluruh Penduduk negara, bahkan Buat Segala umat Insan.
Sebagai komunitas yang mempunyai ajaran trilogi ukhuwah tersebut, kaum santri juga tak pernah absen dalam setiap perjuangan nasional. Pandai dipastikan, di setiap peristiwa-peristiwa besar dalam sejarah kebangsaan, santri senantiasa hadir mewarnai sejak prakemerdekaan hingga sekarang.
Meski pada masa-masa tertentu peran kaum santri sering dinihilkan, dan keberadaannya dimarginalkan oleh rezim atau Grup tertentu, mereka tak pernah berhenti mencintai negeri ini.
Sudah menjadi semacam ‘doktrin’ bahwa tugas santri selain memperjuangkan Religi, juga menjaga negeri tercinta: Indonesia.
‘Doktrin’ itu Enggak dibangun dari slogan Nihil, melainkan dari perjuangan Konkret para leluhur kaum santri. Hari Santri merujuk pada peristiwa Resolusi Jihad yang dikeluarkan KH Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945. Resolusi ini berisi seruan kewajiban berjihad Buat mempertahankan kemerdekaan Indonesia dengan melawan penjajah, hingga memuncak pada perlawanan 10 November 1945, yang kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan.
Resolusi Jihad yang menjadi dasar ditetapkannya Hari Santri adalah salah satu peristiwa historis Krusial yang menunjukkan kiprah santri dalam menjaga dan mempertahankan NKRI. Peristiwa-peristiwa kebangsaan lain yang tak kalah heroiknya juga banyak melibatkan kaum santri. Perang Jawa (1825-1830) yang dipimpin Pangeran Diponegoro, misalnya, Terang menunjukkan bagaimana kaum santri sejak prakemerdekaan telah menunjukkan semangat antikolonialisme dan imperialisme demi membela dan menjaga tanah air.
Maka, Hari Santri 2024, yang mengusung tema Menyambung Juang, Merengkuh Masa Depan, merupakan momentum Buat merefleksikan kembali eksistensi kaum santri dalam posisi sebagai penjaga negeri. Menyambung Juang yang berarti meneruskan semangat juang, Merengkuh Masa Depan adalah sebuah ungkapan yang berarti bergerak Serempak menuju sejahtera. Secara keseluruhan, Arti tema ini adalah perjuangan yang berkelanjutan para santri dalam merengkuh masa depan yang sejahtera, serta dengan semangat serta keberanian nilai-nilai luhur yang selalu dijaga dan diteruskan. Tema ini sangat relevan dengan kondisi di Era sekarang.
MI/Duta
Nasionalisme kaum santri
Tanpa harus membaca What is a Nation?-nya Ernest Renan atau The Social Contract and Discourses-nya JJ Rousseau, kaum santri sejak dulu sudah menunjukkan semangat nasionalisme dan patriotisme. Maka, semangat kaum santri dalam mencintai dan membela negeri pada tahapnya yang paling Mendasar Enggak terbangun melalui teori-teori nasionalisme Barat.
Prinsip atau dasar kaum santri Buat membela dan menjaga tanah airnya adalah kesadaran bahwa Indonesia merupakan rumah sendiri. Seperti dikatakan KH Mustofa Bisri atau yang akrab disapa Gus Mus di berbagai kesempatan, para kiai pesantren sejak dulu mengajarkan Asmara tanah air kepada para santri mereka melalui prinsip yang sederhana tapi mendalam: ‘Indonesia adalah rumahmu, jagalah!’.
Ajaran autentik dari para kiai pesantren inilah yang membangkitkan kesadaran para santri akan pentingnya mencintai dan menjaga tanah air sehingga para santri itu sendiri Pandai memosisikan dirinya sebagai ‘orang Indonesia yang beragama Islam’.
Statement ‘santri adalah orang Indonesia yang beragama Islam’ bermakna bahwa santri di Indonesia adalah tuan rumah, bukan turis asing yang sedang ngontrak atau ngekos di Indonesia. Sebagai tuan rumah, apabila Indonesia diserang atau diacak-acak pihak lain, Pandai dipastikan, tanpa menunggu komando, kaum santri akan bergerak membela rumahnya itu.
Kesadaran historis seperti inilah yang menjelaskan mengapa kaum santri Enggak pernah memberontak atau melakukan makar terhadap negara.
Filosofi ‘Indonesia adalah rumah sendiri’, selain menumbuhkan kesadaran akan Asmara tanah air di kalangan kaum santri, juga Membikin mereka menyadari dan mengakui seluruh penghuni ‘rumah’ itu yang Rupanya Enggak satu, melainkan Variasi Corak. Artinya, kaum santri juga menjunjung tinggi semangat pluralitas.
Kesadaran pluralitas kaum santri ini berada dalam satu tarikan napas dengan semangat nasionalisme mereka. Santri yang nasionalis Pandai dipastikan berjiwa pluralis. Pasalnya, realitas keindonesiaan dibangun oleh keragaman, bukan keseragaman.
Maka, santri yang memahami semangat kebangsaan seperti ini tentu Enggak segan Buat membangun pergaulan dan solidaritas secara luas dengan Grup yang berbeda Etnis, Corak kulit, Religi, dan golongan.
Semangat membangun solidaritas dengan sesama anak bangsa yang berbeda-beda itu sudah ditunjukkan oleh kaum santri sejak Era kemerdekaan. Diungkapkan Zamakhsyari Dhofier dalam Tradisi Pesantren (2011:71-72) bahwa kaum pribumi hasil didikan sekolah Belanda di masa-masa bangkitnya nasionalisme keindonesiaan yang berhasil menggeser popularitas kaum priayi telah lahir sebagai kaum elite baru, tetapi tak Pandai menggantikan otoritas kiai sebagai pemimpin Religi.
Dengan begitu, mereka menggalang kebersamaan dengan para kiai Buat membentuk organisasi sosial, kebudayaan, profesional, dan politik bagi kaum pribumi dalam rangka membangun kesadaran masyarakat Buat kemerdekaan Indonesia.
Senada dengan Dhofier, sejarawan Sartono Kartodirdjo (dalam Ali Maschan Moesa, 2007) juga menyebutkan bahwa perlawanan sosial-politik terhadap kaum kolonial banyak dipelopori dan digerakkan kaum santri tradisional, terutama oleh para kiai, para haji dan guru ngaji. Bahkan tak jarang demi membangun kekuatan perlawanan itu, para kiai pesantren sering bekerja sama dengan kaum bangsawan.
Berdasarkan paparan sejarah seperti itu Pandai terbilang aneh kalau pascakemerdekaan muncul wacana bahwa santri di Indonesia adalah Grup terpisah, bahkan antitesis dari Grup nonsantri seperti priayi dan abangan. Semangat pluralitas dan toleransi, sebagai konsekuensi dari kesadaran nasionalisme dan patriotismenya, Enggak Membikin kaum santri memosisikan diri sebagai kekuatan yang berhadap-hadapan dengan, atau antitesis dari, Grup lain sesama Penduduk negara yang berbeda.
Dengan prinsip ukhuwah wathaniyah yang dipegang kaum santri, Penduduk negara lain yang berbeda dianggap sebagai Keluarga yang harus dihormati.
Bagi santri, membangun persaudaraan, kerukunan, dan keharmonisan antarsesama anak bangsa merupakan bagian dari upaya menjaga Indonesia, karena isi dan penghuninya memang Variasi. Apalagi sekarang digalakkan moderatisme Religi oleh Kementerian Religi, maka semangat pluralitas dan toleransi kaum santri Sepatutnya makin kokoh. Musuh kaum santri bukanlah Grup lain yang berbeda, melainkan ketidakadilan dan kekuatan-kekuatan yang mengancam eksistensi dan keutuhan NKRI.
Santri membangun negeri
Di masa silam, peran santri Buat membela dan menjaga negeri diwujudkan dengan berperang fisik Buat melawan (fight against) kolonialisme dan imperialisme. Jadi, perjuangan santri dulu demi menjaga tanah air cenderung fight against karena situasinya memang menuntut demikian.
Tetapi, Ketika ini situasinya sudah lain, di mana sistem politik sekarang memberikan Kesempatan yang sama terhadap seluruh anak bangsa, termasuk kepada kaum santri.
Karena itu, pola perjuangan kaum santri sekarang yang lebih diperlukan bukanlah fight against, melainkan fight for alias turut terlibat aktif dalam membangun negeri. Hal itu seperti diungkapkan Nurcholis Madjid dalam Tradisi Islam (2008) bahwa tantangan sekarang Enggak Kembali lebih banyak ‘berjuang melawan’ (fight against) seperti dahulu ketika negara terancam oleh ideologi anti-Pancasila dan anti-Religi; tantangan sekarang lebih banyak menuntut kemampuan ‘berjuang Buat’ (fight for) yang bersikap proaktif.
Dengan demikian, hal yang harus menjadi Konsentrasi kaum santri sekarang ialah membangun kualitas dan kemampuan diri sebaik-baiknya sehingga Pandai turut berperan dalam membangun bangsa dan negara di berbagai bidang. Negara sekarang lebih banyak menuntut SDM-SDM unggul dan tenaga-tenaga profesional di berbagai bidang. Enggak hanya di bidang Religi, tetapi juga ekonomi, pendidikan, politik, budaya, sains, teknologi, kelautan, pertambangan, kehutanan, dan sebagainya. Perjuangan santri sekarang dalam menjaga negeri ialah bagaimana memberikan kontribusi terbaik di berbagai bidang itu demi kemajuan bangsa dan negara.
Buat menunjang peran santri tersebut, maka cakrawala pemikiran, basis keilmuan dan keahlian kaum santri mutlak diperkuat dan diperluas, karena tantangan bangsa dan negara sekarang lebih kompleks dan meliputi segala aspek kehidupan. Oleh Karena itu, Enggak Eksis Langkah lain selain membangun SDM unggul dengan berbasis imtak (iman dan takwa) serta iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi) di komunitas santri, demi menjadikan para santri Pandai berkontribusi dan berperan di berbagai lini dalam proses pembangunan dan kemajuan bangsa Indonesia. Selamat Hari Santri 2024.