Dalam sidang lanjutan kasus dugaan korupsi pengelolaan timah, sejumlah saksi kembali dihadirkan untuk memberikan kesaksian. Di antaranya adalah Suyatno alias Asui, seorang pengepul pasir timah dari Keposang Toboali, Kabupaten Bangka Selatan, yang memberi kesaksian bersama stafnya, Husni.
Direktur CV Candra Jaya, Yusuf, dan Direktur CV Semar Jaya Perkasa, Marzoshin, juga dihadirkan sebagai saksi. Dalam persidangan tersebut, para saksi memanfaatkan kesempatan untuk mencurahkan keluhan mengenai dampak ekonomi yang mereka alami.
Husni, salah satu saksi, menjelaskan bagaimana penambangan timah telah menjadi sumber pendapatan utama bagi warga lokal. Ia menambahkan, akibat tidak terserap oleh PT Timah pada masa itu, penambang rakyat terpaksa menjual pasir timah mereka di pinggir jalan dengan harga 120-130 ribu/kg.
“Dekat semua orang di sana jualan pasir timah di pinggir jalan dengan harga 120-130rb/kg seperti menjual bensin eceran,” ujarnya.
Demi mengatasi masalah ini, PT Timah membentuk pola kemitraan dengan penambang rakyat dan pemilik lahan di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah melalui badan hukum berbentuk CV, guna menciptakan ekosistem yang lebih tertata dan mencegah perdagangan timah secara ilegal.
Suyatno alias Asui mengungkapkan, dalam proses pembelian pasir timah dari penambang rakyat, dirinya bertindak sebagai pengepul dan harus menanggung biaya proses pengeringan.
“Batas terendah Sn timah (kadar timah) yang diterima oleh saya berada di kadar Sn 68, dan saya sebagai pengepul hanya menerima hasil tambang timah dari masyarakat yang menambang dalam bentuk masih basah sehingga proses pengeringan (goreng) tetap harus dilakukan yang membutuhkan biaya,” bebernya.
Baca juga : Birui Kerugian Rp300 Triliun Kasus Korupsi Timah Sepuhi Kontorversi
Ia juga menyebutkan dampak buruk dari pengusutan kasus ini terhadap ekonomi lokal, dengan menyatakan bahwa “sekarang imbas hal ini, ekonomi di Bangka Belitung hancur, harga timah juga hancur.”
Direktur CV Candra Jaya, Yusuf, mengaku menjadi mitra penambangan PT Timah sejak 1996-2002 dan 2007-2008. Yusuf, yang lahir pada tahun 1960, menyebutkan bahwa praktik pertambangan timah sudah berlangsung sejak masa kecilnya dan bahkan sebelum itu. Ia juga membebaskan tanah tumbuh di wilayah IUP PT Timah dengan biaya dari koceknya sendiri.
“PT Timah mewajibkan untuk membebaskan tanah tumbuh tempat dimana CV Candra Jaya menambang, dan biaya ditanggung oleh saksi sendiri,” jelasnya.
Sementara itu, Marzoshin, Direktur CV Semar Jaya Perkasa, menjelaskan bahwa mitra PT Timah, seperti CV Semar Jaya Perkasa, mendapatkan imbal jasa yang dihitung dari tonase bijih timah yang dihasilkan dan dikenakan pajak.
“Pembayaran ke CV oleh PT Timah dihitung berdasarkan biaya pengangkutan dan biaya pembelian timah ke penambang atau pengepul yang dilakukan oleh CV,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa CV Semar Jaya Perkasa tidak memiliki hubungan afiliasi dengan PT RBT, dan seluruh modal untuk kegiatan jasa borongan berasal dari modal pribadi. “Seluruh modal yang dibutuhkan untuk menjalankan kegiatan jasa borongan pengangkutan SHP berasal dari modal pribadi,” tegasnya.
Marzoshin juga menambahkan bahwa penentuan lokasi pengiriman bijih pasir timah oleh CV Semar Jaya Perkasa ke gudang PT Timah adalah keputusan dari PT Timah tanpa campur tangan PT RBT. Ia berharap agar perkara ini cepat tuntas agar masyarakat dapat kembali beraktivitas dan ekonomi lokal dapat pulih. (Z-8)