Saga Suram Sambo

KENAPA seorang jenderal Tak perlu membawa bedil, tetapi cukup dibekali tongkat? Pertanyaan itu pernah diapungkan harian ini lewat rubrik Editorial edisi 10 November 2000. Pertanyaan yang kemudian dibarengi jawaban Kepada menyoal kelakuan Feisal Tanjung.

Feisal Tanjung ialah seorang jenderal. Dia ialah satu di antara sedikit dari sekian banyak tentara yang berhasil mencapai puncak karier di keprajuritan sebagai Panglima ABRI. Ia jabatan yang langka, prestisius. Orang yang mengisinya Niscaya juga langka. Niscaya istimewa.

Seorang jenderal idealnya telah mencapai tahap kematangan fisik dan psikis. Dengan kematangan itulah dia mengatasi Berbagai Ragam persoalan. Bukan emosi, bukan otot, apalagi pelor, melainkan Intelek dan kewibawaan yang mesti diandalkan.

Tetapi, Feisal merusak tataran yang ideal itu. Dia menonjok Sayuti, fotografer harian ini, ketika hendak memasuki ruangan pemeriksaan oleh Tim Koneksitas di Mabes Polri. Feisal didengar keterangannya seputar penyerbuan Kantor PDIP pada 27 Juli 1996.

Ketika itu, Feisal memang sudah purnabakti. Tetapi, apa yang dilakukan tetap saja menodai jabatan jenderal. Kami pun menyayangkan seorang jenderal yang telah mengenyam pendidikan dan pelatihan Ragam-Ragam akhirnya hanya menjadi tukang pukul. Jenderal Tukang Pukul, begitulah kami memberikan judul Editorial Ketika itu.

Kini, perilaku serupa terulang. Penodaan terhadap jabatan jenderal bahkan jauh lebih parah. Tak hanya menonjok, jenderal yang satu ini diduga menjadi dalang pembunuhan. Korban tak hanya kesakitan karena dipukul, tetapi juga tak Bisa Tengah merasakan sakit karena sudah meninggal.

Cek Artikel:  Jokowi Lupa Jalan Pulang

Jenderal itu ialah Irjen Ferdy Sambo. Ketika kejadian, dia memegang jabatan prestisius, Kadiv Propam Polri. Dia komandan polisinya polisi.

Sambo juga Kepala Satuan Tugas Spesifik (Satgassus) Merah Putih Polri. Jabatan nonstruktural itu tak kalah mentereng. Satgassus punya kewenangan menangani kasus pidana yang menjadi atensi pimpinan Bagus di Area Indonesia maupun di luar negeri.

Sebagai Kadiv Propam dan Kepala Satgassus, Sambo tentu orang pilihan. Dengan dua bintang di pundak, dia semestinya sudah matang. Karena itu, dia cukup memegang tongkat komando, tak perlu menenteng senapan.

Sayangnya, Sambo Rupanya Lagi mentah sebagai jenderal. Dia menjadi tersangka penembakan terhadap anak buahnya, Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J. Tak hanya sebagai pemain, Sambo diduga juga merangkap Pengarah adegan dan dalang, dari drama memilukan itu.

Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo gamblang menyebutkan peran empat tersangka dalam lakon menyedihkan itu. Bharada Richard Eliezer atau Bharada E ialah eksekutor yang menembak korban. Bripka Ricky Rizal dan Kuat Ma’ruf ikut membantu dan menyaksikan penembakan. Di atas semuanya, Sambo lah yang menyuruh mengeksekusi Brigadir J.

Merinding bulu roma saya Ketika membayangkan betapa menegangkannya situasi di locus delicti di rumah dinas Sambo, Duren Tiga, Jakarta Selatan, Ketika itu. Sulit diterima Intelek waras, bagaimana seorang atasan menyuruh anak buahnya membunuh anak buahnya yang lain. Sulit diterima Intelek sehat, seorang jenderal memerintahkan Mitra tembak Mitra.

Cek Artikel:  Dewan Kolonel

Teramat sulit bagi saya membayangkan betapa tak berdayanya Brigadir J, Ketika itu. Dia bak kelinci menghadapi serigala Kehausan darah. Dia hanya Bisa pasrah dijemput malaikat maut dengan Metode yang begitu sadis.

Teramat sulit bagi saya membayangkan betapa tertekannya Bharada E. Dia Niscaya takut, tegang, ketika diperintah menembak Brigadir J. Masuk Intelek, seperti yang disampaikan sang pengacara, dia menarik pelatuk Sembari memejamkan mata. Dia tak tega, tak kuasa, mengeksekusi kawannya.

Pun dengan Ricky dan Kuat. Kiranya apa yang dialami tak jauh beda dengan Bharada E. Keduanya sangat mungkin takut, tegang, dan tertekan.

Bagaimana dengan Irjen Sambo? Entah seperti apa gejolak jiwanya Ketika itu. Tegang jugakah dia? Yang Niscaya dia marah luar Normal. Eksis yang bilang harga dirinya terkoyak. Eksis yang menyebut, dendamnya tak tertahankan. Eksis yang Mengucapkan, sebagai orang Sulawesi Selatan, ini sudah menyangkut siri. Yang jadi masalah, Segala itu dilampiaskan dengan Metode yang salah. Sangat salah.

Semarah apa pun, penegak hukum, apalagi seorang jenderal, wajib menumpahkannya lewat jalur hukum. Buat apa menempuh pendidikan berjenjang mulai Akpol, PTIK, Sespimmen, hingga Sespimti Apabila akhirnya Intelek pendek yang dipakai?

Cek Artikel:  Badai Inflasi

Negara geger akibat Sambo. Aksinya bahkan menjadi konsumsi media mancanegara pula. Channel News Asia, Sydney Morning Herald, South China Morning Post, The Star, dan Straits Times, memberitakannya. Daily Star (Inggris) menyajikannya dengan judul Top cop facing death penalty for ordering assassination of own bodyguard.

Sambo memang polisi top. Karier lulusan Akpol 1994 itu melesat tajam. Tetapi, karena pendek Intelek, sang jenderal terjungkal. Kariernya terhenti, ancaman hukuman Wafat pun menanti. Sambo yang selama 28 tahun menorehkan saga karier cemerlang, tiba-tiba berubah suram.

Sambo awalnya begitu Pasti dengan skenario jahatnya. Demikian pula sederet bawahannya yang amat percaya Bisa mengelabuhi masyarakat. Tetapi, dia lupa bahwa teori kriminologi Eksis adagium Tak Eksis kejahatan yang sempurna. Padahal, teori itulah yang menjadi prinsip polisi dalam mengungkap setiap tindak pidana.

Sebagai penegak muruah Polri, Jenderal Sambo malah merusak Imej institusi. Sekali Tengah terkonfirmasi pula bahwa tak Segala jenderal matang dalam mengelola emosi.

Nasi sudah menjadi kerak. Gosong Tengah. Jadi, culpae poena par esto. Biarkan hukuman yang setimpal dengan kejahatannya yang bicara nanti.

Mungkin Anda Menyukai