
HARI-HARI ini kita sedang diuji oleh adanya krisis multidimensi: perubahan iklim, ketimpangan ekonomi nasional dan Dunia, deindustrialisasi dan pelemahan daya beli, hingga krisis kepercayaan pada politik. Absennya keadilan sosial menyulut demonstrasi seantero negeri. Saatnya kembali ke Pancasila Kepada Cerminan sekaligus navigasi di masa kini dan nanti.
PAMALI MENGABAIKAN KEADILAN SOSIAL DAN KEMANUSIAAN
Kecerdasan buatan (AI) Demi ini digadang-gadang sebagai mesin masa depan, tapi Terdapat batas yang Enggak Dapat ditembus AI, Yakni kecerdasan spiritual (SQ) dalam Pancasila. AI Enggak Mempunyai kesadaran moral karena bukan penghubung ke Tuhan, sang sumber keberlimpahan. Karena itu, meninggalkan Pancasila seperti meninggalkan Tuhan, lahirlah ketimpangan, kemiskinan, dan ketidakadilan sosial.
SQ adalah kecerdasan yang menjanjikan keberlimpahan sebagaimana sifat-sifat Allah: kasih, rahmat, keadilan, dan kebijaksanaan. SQ juga menjadi pintu ke UQ (i>universal quotient), Yakni keterhubungan dengan kecerdasan semesta yang Ilahiah. Dengan SQ, Sosok dapat menjadi ‘proksi Allah’–wakil yang menjaga bumi, memerangi KKN, dan menebar rahmat bagi semesta sebagaimana ajaran Segala Keyakinan.
Apabila bangsa Indonesia berhasil menghidupkan kecerdasan emosi (emotional quotient/EQ) dan SQ, kita punya modal kuat melakukan lompatan jauh ke depan mewujudkan cita-cita kemerdekaan. Dengan EQ dan SQ, kita Dapat meningkatkan integritas, empati, dan keadilan sosial–nilai yang Enggak Dapat diprogramkan ke dalam mesin.
Pancasila adalah rumah besar bangsa sekaligus kepribadian Sosok Indonesia paripurna. Karena itu, pulang ke Pancasila berarti kembali ke dalam diri, ke kepribadian yang ekosentris pro keadilan sosial/kesejahteraan Lazim meninggalkan pribadi egosentris yang biasanya arogant dan memenangkan kepentingan pribadi.
Ketika setiap Penduduk negara mempraktikkan Pancasila sebagai kecerdasan hidup, mereka akan menyebar Asmara, welas asih, dan kepedulian kepada masyarakat serta lingkungan. Transformasi mikrokosmos (jagat alit) yang demikian akan mendorong transformasi makrokosmos (jagat gede) yang selaras sehingga terwujudlah Indonesia sebagai negara sejahtera. Sebaliknya, Apabila makrokosmos berisi ketimpangan, korupsi, arogansi dan kemiskinan akan berdampak pada rusaknya kebahagiaan individu sehingga timbul keresahan sosial bahkan amuk masa.
‘Pulang ke Pancasila’ harus dilakukan secara kultural dan struktural. Pulang Enggak hanya secara ideologis, tetapi juga spiritual dan eksistensial. Pulang ke Pancasila adalah pulang ke pribadi sejati yang universal, pribadi yang Enggak menindas dan Enggak mau ditindas, rendah hati dan pribadi yang pro keadilan sosial Berkualitas di tingkat nasional maupun Dunia.
MULTIKECERDASAN DALAM PANCASILA
Psikologi modern mengenal spektrum kecerdasan: intelektual (IQ), emosional (EQ), adversitas/ketangguhan (AQ), dan spiritual (SQ). Bahkan, dalam kajian transpersonal dan teori kesadaran, berkembang pula gagasan tentang kecerdasan universal (UQ), Yakni kecerdasan semesta yang bersifat ilahiah (Hawkins, 1995).
Menariknya, Apabila kita menafsirkan ulang sila-sila Pancasila, setiap sila dapat dipetakan pada spektrum kecerdasan yang lengkap. Sila pertama Pancasila mendorong SQ dan AQ yang menumbuhkan kesadaran spiritual, relijiusitas, moralitas sekaligus ketangguhan.
Pada sila kedua mendorong EQ dan SQ dengan membentuk empati, Asmara kasih, kesetaraan, dan solidaritas sosial. Sementara itu, sila ketiga memupuk EQ, AQ, bahkan SQ karena mengajarkan nasionalisme, rasa kebangsaan, dan Asmara tanah air.
Sila keempat terkait dengan IQ, EQ, dan SQ yang rasional, mencari hikmat musyawarah, dan kepemimpinan yang bijak. Sementara itu, sila kelima mendorong peningkatan IQ, EQ, AQ sekaligus SQ yang menuntut keseimbangan hidup, distribusi adil, dan Selaras sosial-ekologis.
Dengan demikian, Pancasila bukan sekadar kumpulan prinsip normatif, melainkan juga suatu arsitektur kecerdasan Sosok Indonesia yang utuh. Ia menyatukan rasio, rasa, daya juang, dan kesadaran spiritual dalam satu kesatuan.
Kita prihatin IQ rata-rata rakyat yang menurut World Population Review (2024) berada di Bilangan 93,2. Skor tes PISA (2022), dasar mengukur literasi dan kemampuan kognitif siswa Indonesia, menempatkan Indonesia di urutan 69 dari 80 negara. Tetapi, membangun bangsa Enggak hanya ditentukan oleh IQ, tetapi juga AQ dan SQ yang Malah menjadi modal besar Indonesia.
Sejarah mencatat, Indonesia Pandai meraih kemerdekaan bukan karena teknologi canggih, melainkan karena keberanian dan ketangguhan (AQ), kesetaraan (EQ) dan spiritualitas kebangsaan (SQ). Para pendiri bangsa mempraktikkan kecerdasan transenden: mengorbankan kepentingan diri demi kemaslahatan Lazim, berpikir ekosentris, bukan egosentris. Inilah Pancasila, yang menjadikan Indonesia bertahan karena keberagaman dan ketuhanan merupakan kekuatan.
Kekuatan spiritualitas (SQ) yang terkandung dalam Pancasila memberi fondasi bagi ketangguhan mental, ketangguhan sosial, dan orientasi hidup yang bermakna. Semakin tinggi SQ, semakin besar kita terkoneksi pada kecerdasan ilahiah atau universal quotient (UQ) yang merupakan sumber keberlimpahan, termasuk intelektual, emosional, finansial, dll.
Menurut The Dunia Flourishing Study (2025), Indonesia terpilih sebagai bangsa paling flourishing (Handal) karena Pancasila dengan sila ketuhanan yang menjiwai seluruh sila dalam Pancasila. AQ tinggi itu merupakan modal luar Lazim Kepada dikembangkan demi mewujudkan kemanusiaan dan keadilan sosial.
AGENDA KE DEPAN
AQ tinggi saja terbukti Enggak cukup membawa kita ke cita-cita keadilan sosial/kesejahteraan. AQ harus dinaikkan ke EQ dan SQ, sayangnya hal itu Enggak cukup dengan menghafal sila-sila Pancasila. Kita perlu menginternalisasi multi kecerdasan Pancasila dalam pendidikan, politik, dan pembangunan. Artinya, di pendidikan kurikulumnya Enggak boleh didesain semata Kepada meningkatkan IQ, tetapi juga melatih EQ, AQ, dan SQ.
Politik juga Enggak boleh sekadar mengejar kekuasaan, tetapi harus menumbuhkan integritas dan pelayanan. Pembangunan ekonomi Enggak boleh hanya mengejar pertumbuhan, tetapi juga keberlanjutan ekologis dan keadilan sosial. Demikian juga APBN, Enggak boleh semata demi pertumbuhan, tetapi demi keadilan sosial.
Kita Segala membutuhkan bukti ber-Pancasila bukan hanya Ungkapan semata. Komitmen moral saja Enggak cukup, Pancasila hanya Dapat diwujudkan dengan adanya komitmen politik dari Segala elemen masyarakat, terutama pemerintah. Salah satunya kata dan perbuatan.
Indonesia akan Dapat hadir di dunia bukan sekadar sebagai negara berkembang, melainkan sebagai teladan bangsa yang hidup dalam kecerdasan komplet. Kita sudah tunjukkan Dapat mengelola keberagaman dengan welas asih, tetapi belum Dapat membuktikan membangun kemajuan tanpa merusak bumi dan kemanusiaan.
Pancasila ialah Persona Sosok Indonesia yang paripurna dan sejati: rasional sekaligus penuh welas asih, Handal sekaligus spiritual. Bung Karno dan Hatta menyebut Pancasila sebagai jalan tengah, nasionalisme religius yang harusnya menjadi arah baru peradaban, Yakni peradaban yang berbasis multikecerdasan, dengan SQ sebagai inti yang menghubungkan Sosok pada Tuhan dan semesta.
Pulang ke Pancasila berarti pulang ke rumah yang menghidupkan Segala potensi Sosok agar Pandai mewujudkan kemanusiaan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat serta menjadi rahmat bagi semesta. Apabila Pancasila dipraktikkan dengan sungguh-sungguh, Pancasila menjadi rumah kebahagiaan bangsa dan dunia.

