RUU Pemilu dan Penguatan Keterwakilan Perempuan

RUU Pemilu dan Penguatan Keterwakilan Perempuan
(MI/Seno)

DALAM Beijing Platform for Action (BPfA) yang berasal dari Konferensi Dunia Ke-4 tentang Perempuan yang diselenggarakan PBB di Beijing pada 1995, prioritas terhadap kepemimpinan Perempuan dijabarkan dalam bagian G1 dan G2, yang berbunyi: ‘mengambil langkah-langkah Buat memastikan akses yang setara bagi Perempuan serta partisipasi penuh dalam struktur kekuasaan dan pengambilan keputusan’ dan ‘meningkatkan kapasitas Perempuan Buat berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dan kepemimpinan’.

Indonesia ialah salah satu negara pihak yang ikut menandatangani dan mengadopsi Beijing Platform. Beijing Platform merupakan rencana aksi politis dan strategis yang melengkapi dan mendukung Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Convention On The Elimination Of All Forms Of Discrimination Against Women atau CEDAW).

CEDAW yang diadopsi PBB pada 1979 dan mulai berlaku pada 1981 merupakan instrumen hukum Global yang menuntut negara menghentikan diskriminasi terhadap Perempuan dan menjamin kesetaraan di Sekalian aspek kehidupan. CEDAW mengikat secara hukum bagi setiap negara yang meratifikasinya. Indonesia menandatangani CEDAW pada 29 Juli 1980 Begitu Konferensi Sedunia Dasawarsa Perempuan PBB di Kopenhagen dan pengesahannya diresmikan melalui pemberlakuan UU No 7 Tahun 1984.

Tiga Dasa warsa setelah Beijing Platform, kondisi kepemimpinan dan keterwakilan Perempuan politik di Indonesia memang mengalami kemajuan. Tetapi, Tetap menghadapi banyak hambatan dan belum mencapai Sasaran yang diharapkan. Merujuk Laporan Kesenjangan Gender Mendunia (Mendunia Gender Gap Report) dari World Economic Perhimpunan pada 2024, Indonesia dengan skor 0.686 berada pada peringkat 100 dunia. Turun dari tahun sebelumnya yang bertengger pada peringkat 87 dunia dengan skor 0.697.

Sementara itu, data per Februari 2025 Buat peringkat bulanan Perempuan di parlemen nasional dari Inter-Parliamentary Union (IPU) menempatkan Indonesia pada peringkat 113 dunia. Di Rendah Timor Leste, Vietnam, Singapura, Filipina, dan Laos.

Dengan lebih dari 60 pemilihan nasional di seluruh dunia, termasuk beberapa negara dengan populasi besar seperti Bangladesh, Brasil, India, Meksiko, Pakistan, dan Amerika Perkumpulan, 2024 dianggap sebagai ‘tahun pemilu Mendunia terbesar dalam sejarah dunia’.

Pemilu 2024 di Indonesia mencatatkan jumlah keterpilihan Perempuan calon Personil legislatif (caleg) di DPR yang meningkat ketimbang hasil Pemilu 2019. Terdapat 129 Perempuan caleg Pandai memenangi kursi DPR dari total 580 kursi tersedia setara dengan 21,9%. Berdasarkan Nomor terakhir per Februari 2025, akibat penggantian antarwaktu (PAW) sejumlah Personil DPR, Begitu ini Perempuan Personil DPR sebanyak 129 orang atau setara 22,24%. Tetap jauh dari Sasaran keterpilihan paling sedikit 30% Perempuan di parlemen.

 

SISTEM KUOTA

Ambang batas minimal atau critical mass berupa keterwakilan Perempuan paling sedikit 30% di parlemen yang bertujuan agar Perempuan berdaya secara politik Buat Pandai memengaruhi pengambilan keputusan. Karena itu, Perempuan Kagak hanya hadir secara simbolik, tetapi juga berpengaruh secara substansial. Keterwakilan yang memadai dapat mendorong transformasi sistem dan kebijakan yang lebih responsif terhadap kebutuhan seluruh Penduduk negara, termasuk Perempuan dan Grup marginal lainnya.

Rosabeth Moss Kanter dalam Kitab Men and Women of the Corporation (1977) menemukan bahwa Perempuan, yang merupakan minoritas kecil (Sekeliling 0–15%) dari organisasi, cenderung diperlakukan sebagai ‘token’ atau representasi keberagaman yang Kagak berpengaruh. Tetapi, ketika jumlah Perempuan mencapai 30%, mereka mulai membentuk massa kritis yang cukup kuat Buat mengubah dinamika Grup, mengurangi marginalisasi, dan memengaruhi keputusan kolektif. Meskipun Kanter melakukan penelitian tentang dunia korporasi, para akademisi dan pembuat kebijakan di bidang gender dan politik kemudian ikut mengadopsi gagasan itu. PBB dan UN Women menggunakan Nomor 30% sebagai acuan Lumrah Buat kebijakan kuota dan advokasi kesetaraan gender.

Merujuk konsep Drude Dahlerup (1988), Begitu jumlah Perempuan di parlemen Tetap sangat kecil, Perempuan kerap Kagak punya pengaruh Konkret dan hanya dianggap simbol. Sebaliknya, Apabila sudah mencapai critical mass (minimal 30%), mereka akan Pandai saling mendukung, membentuk koalisi, memengaruhi arah kebijakan, dan memunculkan perubahan atau transformasi budaya politik. Dahlerup membawa konsep critical mass keterwakilan Perempuan minimal 30% ke ranah politik, memopulerkannya dalam studi representasi Perempuan, serta mengembangkan dan mengkritisinya Buat pendekatan yang lebih Luwes.

Cek Artikel:  PPKM, Analisis Data dan Tindakan Selanjutnya

Salah satu rekayasa politik yang banyak dilakukan Buat mencapai keterwakilan Perempuan yang lebih signifikan ialah melalui penerapan kebijakan afirmasi berupa kuota gender dalam partai politik, pemilu, dan pemerintahan. International IDEA menyebut bahwa gagasan inti dari sistem kuota (quota system) ialah merekrut Perempuan ke dalam posisi politik dan memastikan bahwa Perempuan Kagak hanya menjadi simbol atau perwakilan ‘token’ semata dalam dunia politik. Perwakilan ‘token’ merujuk situasi ketika Perempuan dihadirkan atau diposisikan dalam suatu lembaga atau struktur kekuasaan bukan Buat Cocok-Cocok berpartisipasi secara setara atau memengaruhi keputusan, tetapi lebih sebagai simbol keberagaman atau inklusi semu.

IDEA membedakan tiga jenis kuota gender yang digunakan dalam politik. Pertama, kursi yang dipesan (reserved seats) yang ditetapkan secara konstitusional dan/atau melalui UU. Kedua, kuota kandidat Formal (Formal candidate quotas) yang ditetapkan dalam konstitusi dan/atau UU. Ketiga, kuota partai politik (political party quotas) yang diadopsi secara sukarela oleh partai politik. Apabila reserved seats mengatur jumlah Perempuan yang terpilih, dua bentuk kuota lainnya menetapkan jumlah minimum Perempuan dalam daftar calon, Berkualitas sebagai persyaratan hukum yang bersifat wajib maupun compulsory (Formal candidate quotas) atau kebijakan yang tertulis dalam anggaran dasar partai yang bersifat sukarela atau voluntary (political party quotas).

UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Lumrah sebagai dasar hukum penyelenggaraan Pemilu 2019 dan 2024 di Indonesia menerapkan sistem kuota kandidat Formal hanya Buat pencalonan Personil DPR dan DPRD. Sementara itu, Buat pemilu Personil DPD Kagak terdapat kuota pencalonan Formal bagi Perempuan. Ketentuan kuota Formal pencalonan Perempuan diatur dalam Pasal 245 UU Pemilu yang menyebut ‘daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 243 memuat keterwakilan Perempuan paling sedikit 30%’.

Selain itu, terdapat ketentuan modifikasi zipper system Buat penempatan Perempuan dalam daftar calon melalui pengaturan Pasal 246 ayat (2) UU Pemilu yang berbunyi ‘di dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap tiga orang bakal calon terdapat paling sedikit satu orang Perempuan bakal calon’. Selanjutnya penjelasan pasal tersebut menerangkan bahwa ‘dalam setiap tiga bakal calon, bakal calon Perempuan dapat ditempatkan pada urutan 1, dan/atau 2, dan/atau 3 dan demikian seterusnya, Kagak hanya pada nomor urut 3, 6, dan seterusnya’.

Kuota pencalonan sebagaimana diatur dalam Pasal 245 dan 246 UU Pemilu telah berlaku sejak Pemilu DPR dan DPRD 2014. Melalui terobosan hukum dalam Peraturan KPU No 7 Tahun 2013, KPU menegakkan Denda tegas bagi partai politik peserta pemilu yang Kagak memenuhi kuota pencalonan keterwakilan Perempuan paling sedikit 30%. Denda itu berupa pembatalan partai politik sebagai peserta pemilu pada dapil yang Kagak memenuhi kuota minimal sesuai ketentuan. Aturan itu secara konsisten diimplementasikan KPU Tamat dengan Pemilu Legislatif 2019.

 

CATATAN KELAM

Sayangnya, pada Pemilu 2024 KPU menorehkan catatan kelam soal komitmen negara pada kebijakan kuota Buat Perempuan politik melalui ketentuan Pasal 8 ayat (2) huruf b Peraturan KPU No 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Personil DPR dan DPRD yang mendistorsi kebijakan afirmasi yang telah ditegakkan KPU sejak Pemilu 2014. Pasal tersebut mengatur bahwa ‘dalam hal penghitungan 30% jumlah bakal calon Perempuan di setiap dapil menghasilkan Nomor pecahan maka apabila dua tempat desimal di belakang koma bernilai kurang dari 50, hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke Rendah’.

Dampak dari ketentuan tersebut, dalam catatan NETGRIT terdapat 267 daftar calon Personil DPR dari partai politik peserta pemilu 2024 yang memuat keterwakilan Perempuan kurang dari 30%. Padahal konsep keterwakilan Perempuan paling sedikit 30% bermakna ‘boleh lebih dari 30% dan dilarang kurang dari 30%’. Kebijakan yang dibuat KPU, misalnya, mengakibatkan distorsi dan pelemahan pada kuota Formal keterwakilan Perempuan dalam daftar caleg yang berjumlah empat orang.

Cek Artikel:  Membungkam Kolegium, Mengancam Keselamatan Publik

Itu disebabkan penghitungan kuota 30% dari 4 caleg menggunakan formula dalam PKPU 10/2023 akan menghasilkan jumlah 1,2. Apabila diterapkan ketentuan ‘desimal di belakang koma bernilai kurang dari 50, hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke Rendah’, 1,2 akan dibulatkan menjadi 1. Sementara itu, hanya Eksis 1 orang Perempuan dari 4 daftar caleg yang diajukan partai, persentasenya ialah sama dengan 25%. Bukan 30%. Artinya, ketentuan kuota ‘keterwakilan Perempuan paling sedikit 30%’ sebagaimana perintah Pasal 245 UU Pemilu telah dilanggar dan disimpangi oleh KPU.

Kenekatan KPU melanggar UU Pemilu berbuah pil pahit bagi negara dan masyarakat. Bukan hanya ribuan Perempuan yang menjadi kehilangan kesempatan Buat ikut kontestasi pemilu DPR dan DPRD tahun 2024. Lebih dari itu, negara juga harus menanggung kerugian akibat gugatan sengketa hasil ke MK yang berujung pembatalan hasil pemilu di daerah pemilihan (dapil) VI DPRD Provinsi Gorontalo. Melalui Putusan No 125-01-08-29/PHPU.DPR-DPRD-XXII/2024, MK menegaskan bahwa Perempuan caleg Kagak boleh di Rendah Nomor 30% Buat setiap dapil.

MK menyebut dalam hal partai politik Kagak dapat memenuhi pengajuan 30% jumlah Perempuan bakal calon di setiap dapil dan penempatan susunan daftar calon, pengajuan bakal calon Personil DPR dan DPRD pada dapil yang bersangkutan Kagak dapat diterima. Artinya, menurut MK, Metode penghitungan pemenuhan kuota Perempuan dalam PKPU 10/2023 ialah sebuah kemunduran yang Kagak dapat dibenarkan karena sebagai penyelenggara pemilu, KPU telah memberlakukan ketentuan keterwakilan Perempuan 30% dengan pembulatan ke atas sejak sebelum Pemilu 2024.

Pelanggaran konstitusi oleh KPU bukan hal sepele dan Kagak boleh lepas dari catatan sejarah atau ingatan publik. Apabila saja Eksis kesadaran berdemokrasi yang kukuh, Personil KPU RI periode 2022-2027 mestinya secara sukarela mengundurkan diri dari jabatannya sebagai bentuk pertanggungjawaban atas dosa legislasi dan kerusakan sistem yang telah mereka buat.

Selain itu, mereka yang terlibat dalam peminggiran hak politik Perempuan harus mendapatkan konsekuensi moral, sosial, politik, dan hukum secara setara. Personil KPU RI periode 2022-2027 yang terlibat dalam skandal tersebut mestinya Kagak Tengah diberi kesempatan Buat menjadi bagian dari institusi demokrasi terhormat seperti KPU, Bawaslu, ataupun DKPP.

Sebagai negara pihak yang meratifikasi CEDAW dan Beijing Platform, Sepatutnya Denda tegas diberikan pada Personil KPU yang terbukti secara sengaja dan sadar, telah menodai komitmen bangsa Indonesia pada pemajuan dan pemenuhan hak-hak Perempuan, khususnya Perempuan politik. Hal itu juga Krusial, sebagai peneguhan dan pendidikan politik yang tegas bagi publik bahwa negara serius dan sungguh-sungguh dalam upaya membebaskan Perempuan dari segala bentuk diskriminasi.

 

MOMENTUM BERBENAH

Dalam perkembangan dan praktiknya, keterwakilan Perempuan pada pemilu dipengaruhi oleh banyak Elemen, antara lain struktur hukum dan sistem pemilu; kondisi sosial dan budaya yang Eksis dalam masyarakat; situasi ekonomi dan politik; serta dukungan, pelatihan, dan Imej positif yang melekat pada peserta pemilihan Berkualitas caleg ataupun partai.

Pasca-Pemilu 2024, revisi UU Pemilu menjadi salah satu agenda legislasi prioritas dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025. Momentum revisi UU Pemilu Pandai menjadi Kesempatan Buat berbenah dan memperkuat kebijakan yang Pandai meneguhkan kehadiran, keterwakilan, dan kepemimpinan Perempuan politik yang lebih bermakna.

Belajar dari pengalaman Pemilu 2024, kebijakan afirmasi Rupanya rentan dimanipulasi melalui ketentuan teknis yang dibuat penyelenggara pemilu. Oleh karena itu, dibutuhkan komitmen yang lebih kuat Buat mendorong reformasi regulasi pada tataran undang-undang agar Eksis jaminan hukum yang lebih kokoh Buat memperkuat keterwakilan Perempuan politik dalam rangka mewujudkan keseimbangan, kesetaraan, dan keadilan gender (gender parity) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara menyeluruh.

Cek Artikel:  Setelah 30 Kali Ditolak MK

Sehubungan dengan itu, Women Research Institute (WRI) merekomendasikan adanya pengaturan yang tegas dalam UU Pemilu bahwa partai harus melindungi caleg Perempuan dari kekerasan berbasis gender dalam kontestasi pemilu. Selain itu, dibutuhkan penguatan kebijakan afirmasi keterwakilan Perempuan berupa pencalonan Perempuan pada nomor urut 1 pada minimal 30% dapil yang potensial. WRI juga merekomendasikan agar pembentuk undang-undang mengkaji ulang sistem proporsional terbuka yang dinilai kurang mendukung Perempuan akibat maraknya jual-beli Bunyi dan praktik politik transaksional karena lemahnya pengawasan dan penegakan hukum pemilu.

Sementara itu, kajian bertajuk Biaya Politik di Indonesia yang dilakukan Ella Syafputri Prihatini dan Sri Budi Eko Wardani (2024) merekomendasikan sejumlah revisi atas materi UU 7/2017. Di antaranya (i) menurunkan ambang batas parlemen; (ii) menjajaki pilihan-pilihan alternatif sistem pemilu termasuk kombinasi sistem perwakilan proporsional terbuka dan tertutup; (iii) memperkuat implementasi kebijakan afirmasi bagi caleg Perempuan, misalnya berupa sistem zipper murni antara caleg Pria dan Perempuan yang penempatannya berselang-seling dalam surat Bunyi.

Selanjutnya, (iv) mengevaluasi penjadwalan pemilu presiden dan legislatif yang berlangsung serentak Buat Sekalian Kedudukan yang berdasarkan praktik Pemilu 2019 dan 2024 telah berdampak pada kesulitan bagi penyelenggara, peserta, atau pemilih; (v) kewajiban laporan Anggaran kampanye bagi caleg; serta (vi) penerapan batasan tertentu Buat belanja kampanye dalam rangka mewujudkan kesetaraan kompetisi di antara partai dan caleg yang Mempunyai latar belakang dan sumberdaya Variasi.

Terkait dengan perubahan sistem pemilu, Perludem, BRIN, Ditpolkom Bappenas, Puskapol UI, dan NETGRIT mendorong elaborasi sistem campuran (mixed system) sebagai alternatif pilihan sistem pemilu yang Pandai dijajaki oleh pembentuk undang-undang. Penerapan sistem campuran merupakan kombinasi antara sistem distrik berwakil tunggal first past the post (FPTP) dan sistem proporsional daftar tertutup (closed-list proportional representation atau CLPR). Dalam satu surat Bunyi, pemilih mencoblos dua kali. Pertama, Buat memilih caleg melalui sistem FPTP, dan kedua, Buat memilih partai melalui sistem proporsional daftar tertutup.

Dalam sistem campuran, pemilih Pandai memilih calon secara langsung melalui Bunyi FPTP serta parpol juga Pandai menempatkan caleg-calegnya yang berasal dari struktural dan elite partai melalui daftar partai sistem proporsional tertutup. Penguatan kuota pencalonan minimal 30% keterwakilan Perempuan dalam sistem campuran dapat diterapkan dengan pemberlakuan sistem zipper murni melalui penempatan caleg secara selang-seling antara Pria dan Perempuan dalam daftar calon partai (CLPR) serta pencalonan Perempuan minimal 30% oleh partai politik dari total dapil dengan sistem distrik berwakil tunggal FPTP.

Mengingat krusialnya revisi UU Pemilu bagi konsolidasi demokrasi dan penguatan keterwakilan Perempuan politik, pembentuk UU Sepatutnya Kagak menunda dan memperlambat pembahasannya. Apalagi banyak implikasi teknis yang harus dihitung dan disimulasikan agar kebijakan yang diambil Pandai diaplikasikan dengan Berkualitas, terutama oleh penyelenggara pemilu. Begitu ini ialah waktu yang Cocok Buat membenahi berbagai karut-marut yang terjadi dalam penyelenggaraan pemilu terdahulu. Apalagi UU 7/2017 belum pernah dievaluasi pelaksanaannya secara komprehensif oleh pembentuk undang-undang pascakeberlakukannya pada Pemilu 2019.

UU 7/2017 juga sudah terlalu sering diuji ke MK dan banyak dari pasal-pasalnya yang telah dibatalkan dan dimaknai berbeda oleh putusan MK. Kagak berlebihan Apabila disebut UU 7/2017 Begitu ini kondisinya compang-camping di sana sini. Karenanya, sangat mendesak Buat dibentuk dan dibangun ulang sehingga menjadi lebih solid, bermutu, kredibel, relevan, serta kontekstual merespon dinamika perkembangan pemilu dan demokrasi mutakhir terkini.

UU Pemilu yang Berkualitas dan demokratis ialah modal yang sangat mendasar bagi hadirnya kontestasi pemilu yang bebas dan adil. Mengingat luas dan kompleksnya cakupan pengaturan UU Pemilu, sudah saatnya kita bersegera dan serius membenahi UU Pemilu.

 

Mungkin Anda Menyukai