UPAYA menghadirkan pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (luber dan jurdil) terasa semakin jauh dari jangkauan. Personil Bawaslu Kota Medan Azlansyah Hasibuan yang seharusnya menjadi penegak aturan malah berkubang di dalam lumpur. Ia terkena operasi tangkap tangan (OTT) Polda Sumatra Utara karena terlibat pemerasan calon anggota legislatif (caleg). Demi penangkapan, petugas turut mengamankan uang senilai Rp25 juta.
UU Nomor 7 Mengertin 2017 tentang Pemilihan Lumrah (Pemilu) sudah mengatur secara tegas segala tugas, wewenang, dan kewajiban Bawaslu yang pada intinya memerintahkan mereka berlaku adil. Pemerasan yang dilakukan Azlansyah jelas menabrak dan menodai amanat UU Pemilu. Sebagai wasit dalam pemilu, Azlansyah malah mempersulit pengurusan kelengkapan administrasi persyaratan salah seorang caleg DPRD Kota Medan.
Ia seperti tengah meneguhkan prinsip semua urusan mesti uang tunai. Dengan uang tunai, segala hal tidak lagi susah, malah bisa dipermudah yang bersangkutan. Akibat perbuatannya tersebut, koordinator pencegahan, data, dan informasi Bawaslu Medan itu sekarang mendekam di Polda Sumatra Utara bersama dengan satu orang lainnya bernama Fahmy Wahyudi.
Praktik pemerasan seperti itu jelas sangat merugikan integritas lembaga pengawas pemilu. Patut diingat bahwa integritas merupakan kunci untuk memastikan pemilihan berlangsung dengan adil, transparan, dan netral sehingga hasilnya dapat mencerminkan kehendak rakyat yang sebenarnya. Sebaliknya, kerusakan integritas dapat menggoyahkan fondasi masyarakat akan hadirnya pemilu yang menjunjung prinsip transparansi, keadilan, dan netralitas dalam setiap tahapan pemilihan.
Dalam skala yang lebih besar, masyarakat mungkin meragukan keabsahan proses pemilihan dan kredibilitas lembaga-lembaga yang terlibat. Hal itu dapat memicu ketegangan sosial, ketidakstabilan politik, serta merugikan stabilitas demokrasi secara keseluruhan. Publik tentu tidak menginginkan itu terjadi karena pemilu ialah ajang rakyat menunaikan hak politik mereka.
Perlu tindakan tegas untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap proses demokrasi. Kita tentu mendorong penyidik Polda Sumatra Utara untuk menuntaskan perkara tersebut hingga ke akar-akarnya. Dari satu orang Azlansyah, harus bisa dikorek siapa saja yang terlibat dalam pemerasan tersebut dan dibawa ke muka persidangan siapa saja yang bersalah. Bahkan, kasus itu harus menjadi perhatian institusi Polri agar sigap bila ada indikasi sekecil apa pun terhadap dugaan pelanggaran pidana yang mungkin dilakukan komisioner Bawaslu mana pun di daerah.
Dengan berangkat dari kasus itu, kita juga mendorong agar Bawaslu segera mengambil langkah-langkah tegas dan transparan terkait dengan kasus pemerasan yang melibatkan anggota Bawaslu Kota Medan. Harus ada sistem yang bisa memastikan seluruh anggota Bawaslu di berbagai daerah, baik provinsi, kabupaten, kota, maupun kecamatan, bekerja sesuai dengan koridor hukum yang berlaku dan tidak ada yang berperilaku lancung.
Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia sudah meminta Bawaslu mengambil sikap tegas terkait dengan kasus anggota Bawaslu Kota Medan yang terjaring OTT. Jangan biarkan lebih cepat proses di polisi daripada proses di internal. Segera bersikap juga penting demi menyelamatkan institusi, jangan sampai ini merembet. Karena distrust kepada penyelenggara pemilu, pada akhirnya kalau lama ditangani bisa distrust terhadap pemilunya. Tak hanya Bawaslu, KPU juga harus mengambil sikap tegas apabila nantinya terdapat indikasi kasus rasuah anggota Bawaslu Kota Medan itu turut menyeret anggota KPU di daerah tersebut.
Pemilu dikatakan sukses kalau semuanya bisa dilaksanakan secara baik, termasuk netralitas aparat sipil negara (ASN), TNI, dan Polri. Sukses juga bisa diukur bila masyarakat bisa beramai-ramai ikut mencoblos. Tetapi, bagaimana bisa prinsip-prinsip itu terpenuhi kalau masyarakat saja sudah ragu terhadap tahapan pemilu yang luber dan jurdil?