Rugi karena Komunikasi

Eksis tiga perkara dalam birokrasi di negeri ini yang sepertinya simpel, tapi Bukan kunjung tuntas dijalankan. Tiga hal itu ialah komunikasi, koordinasi, dan konsistensi. Ketidakberesan ketiga hal itu Membikin sejumlah keputusan menjadi kontroversial di mata publik. Alhasil, muncul penolakan.

Seperti yang terjadi pada keputusan dikembalikannya aturan soal pengambilan manfaat Biaya Jaminan Hari Uzur, atau JHT, bagi pekerja. Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah menerbitkan Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 yang mengatur JHT baru Dapat dicairkan Demi memasuki usia pensiun atau 56 tahun. Syarat lainnya Demi pencairan, yakni peserta JHT meninggal dunia atau cacat total tetap.

Padahal, dalam aturan sebelumnya Bukan begitu. Dalam Permenaker Nomor 19 Tahun 2015 dinyatakan bahwa JHT dapat dicairkan kepada peserta yang mengundurkan diri dan dibayarkan secara Kas setelah melewati masa tunggu 1 bulan terhitung sejak Copot surat keterangan pengunduran diri dari perusahaan diterbitkan.

Keputusan itu dirasakan amat tiba-tiba. Seperti guntur di siang bolong. Sekonyong-konyong nyelonong. Tanpa permisi, Bukan Eksis komunikasi dengan para pihak. Padahal, yang terkena keputusan itu banyak.

Cek Artikel:  Fenomena India

Hasilnya Dapat diprediksi, peraturan baru itu menuai protes dari publik dan kalangan Perkumpulan buruh. Petisi penolakan terhadap aturan itu malah sudah ditandatangani lebih dari 300 ribu orang. Itu jumlah yang banyak Demi sebuah petisi penolakan yang biasanya diteken paling banyak 100 ribuan orang. Bahkan sudah muncul Berbagai Ragam spekulasi.

Para penolak aturan bertanya-tanya, Eksis apa dengan perubahan aturan itu? Bukankah JHT Doku pekerja dan hak pekerja? Mengapa negara Tamat mengatur manajemen keuangan rakyatnya? Bagaimana dengan kebutuhan para korban PHK? Bagaimana yang terpaksa mengundurkan diri dari pekerjaan dan bermaksud memakai Biaya JHT Demi membuka usaha?

Berderet pertanyaan yang muncul itu sudah cukup sebagai pertanda Eksis komunikasi yang Stagnan. Model komunikasi pun Sekadar searah. Pekerja seperti ditempatkan sekadar objek dalam komunikasi satu arah tersebut, bukan sebagai subjek. Bukan mengherankan kalau muncul kecurigaan.

Eksis yang menduga jangan-jangan Biaya JHT sudah Bukan Eksis. Tak ayal, pemerintah mengatur Biaya Demi menjamin kesejahteraan pegawai atau buruh di hari Uzur itu hanya Dapat dicairkan secara penuh di usia 56 tahun. Kalau selalu Eksis, kenapa harus ditunda pembayarannya Tamat 56 tahun? Begitu kira-kira dugaan tersebut mulai berkembang.

Cek Artikel:  Di Balik Gorden Wakil Rakyat

Eksis juga yang mulai membuka kalkulator Demi Membikin hitung-hitungan. Tentu juga dengan narasi curiga. Hasil hitungan itu memperkirakan perubahan aturan pencairan JHT dapat menahan Doku Sekeliling Rp387,45 triliun iuran pekerja di BPJS Ketenagakerjaan. Kalau hitungan itu Betul, ini sebuah jumlah yang amat besar.

Ketidakberesan komunikasi akhirnya membawa hasil hitungan itu dalam Hasil penuh kecurigaan. Eksis yang menghubungkan bahwa perubahan kebijakan itu dilakukan jangan-jangan Demi mengatasi keterbatasan likuiditas pemerintah.

Atau, jangan-jangan akan diinvestasikan ke hal lain Demi proyek-proyek infrastruktur. Lebih-lebih, defisit APBN kita sudah mencapai lebih dari Rp700 triliun. Lebih-lebih Kembali, Bank Indonesia sudah Bukan diizinkan Kembali Demi membeli SUN (surat utang negara) demi menambal defisit tersebut.

Segala analisis dan hitungan di atas belum Terang Betul. Kementerian Ketenagakerjaan pun sudah membantah keras, sangat keras, atas narasi miring tersebut. Kemenaker memastikan Biaya kelolaan dari para peserta BPJS Ketenagakerjaan akan tetap Terjamin. Hal itu karena Biaya kelolaan BPJS Ketenagakerjaan selalu diaudit dan pemerintah menjadi penjaminnya.

Cek Artikel:  Terdapat Pribadi di Pansus Angket Haji

Bagi korban PHK, pemerintah juga sudah menyiapkan bantalan. Namanya Biaya Jaminan Kehilangan Pekerjaan atau JKP. Tetapi, program ini baru akan diluncurkan 22 Februari mendatang. Demi yang mengundurkan diri dan hendak putar haluan membuka usaha, kata Kemenaker, Eksis Sokongan dari Kemenaker, Kemensos, dan Kementerian Koperasi dan UKM. Intinya, karena namanya Jaminan Hari Uzur, ya mestinya digunakan Demi menjamin agar hari Uzur Bukan merana.

Akan tetapi, tangkisan itu belum sepenuhnya Membikin badai penolakan mereda. Kebijakan itu boleh jadi Betul dan bermanfaat Demi lebih banyak orang. Tetapi, karena model komunikasi yang usang, yakni ‘tembak dahulu, tangkis kemudian’, manfaat itu menjadi kian redup, makin tertutup.

Kiranya, kita Segala mesti belajar Kembali Langkah berkomunikasi. Apa boleh buat. Kalau Lalu begini, siapa yang merugi?

Mungkin Anda Menyukai