PUKUL 11.00 suhu di Singapura sangatlah panas. Langit yang biru membuat sinar matahari terasa lebih terik. Apalagi kelembapan di Singapura sangat tinggi sehingga udara panas terasa semakin menggigit.
Di tengah suhu yang terik itu para pemain tim U-14 Farmel Football Club dari Karawaci, Tangerang, harus turun bertanding. Mereka masih harus memainkan pertandingan final melawan tim tuan rumah Singapura, LCS Football Academy, dalam Turnamen Singa Cup yang diselenggarakan di Turf City, Bukit Timah.
Pada pertandingan penyisihan grup, tim tuan rumah ini sebenarnya bisa mereka kalahkan 3-1. Akan tetapi, di final siang itu, tim Farmel harus tertinggal 0-1. Tujuh pertandingan yang sudah mereka mainkan selama empat hari memang menguras tenaga para pemain.
Kendati demikian, dengan semangat yang tinggi, Fardan Ary Setiawan dan kawan-kawan mengerahkan sisa tenaga yang ada. Mereka tekan tim tuan rumah untuk mengatasi ketertinggalan.
Perjuangan para pemain Farmel tidak sia-sia. Menjelang 25 menit babak pertama berakhir, mereka mampu dua kali menjebol gawang lawan. Kelebihan 2-1 di babak pertama membuat tim asal Karawaci itu lebih percaya diri dalam bermain.
Dengan permainan yang taktis mereka mampu mencuri gol ketiga pada pertengahan babak kedua. Farmel bisa mempertahankan keunggulannya hingga peluit panjang berakhir untuk merebut juara U-14 Singa Cup.
Tak hanya juara yang mereka bisa rebut. Fardan menjadi pencetak gol terbanyak dengan 13 kali menjebol gawang lawan. Eksispun rekannya, Feri Saputra, terpilih sebagai pemain terbaik Singa Cup.
Indonesia sebenarnya merebut juga satu tempat final untuk kelompok U-16. Tetapi, tim ASIOP Sentul harus menyerah 0-1 dari kesebelasan tuan rumah Singapura, LCS Football Academy.
Orangtua
Satu yang mengagumkan melihat anak-anak Indonesia berlaga di ajang Singa Cup 2023 ialah semuanya dilakukan secara mandiri. Sekolah sepak bola itu membawa anak-anak asuhnya bertanding di luar negeri untuk mengukur kemampuan sepak bola mereka.
Sebagai anak di bawah umur, yang luar biasa juga, orangtua mereka ikut mendampingi. Bahkan ibu-ibu mereka ikut hadir di lapangan, di tengah cuaca yang terasa panas. Mereka bergeming untuk memberi semangat putra-putra mereka bertanding.
Menyantap penampilan para pemain usia dini Indonesia, mereka tidak kalah kualitasnya jika dibandingkan dengan pemain yang usianya sebaya dari negara lain. Mereka bukan hanya bisa mengimbangi tim dari Australia, Filipina, India, Malaysia, dan Singapura, melainkan juga lebih unggul.
Kalau para pemain usia dini itu diikuti perjalanannya oleh Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia, seharusnya kita tidak kekurangan pemain berbakat. Hanya, pengurus PSSI lebih suka melompat bicara tim yang memakai logo Merah Putih, tidak mau bersusah payah membina pemain usia dini.
Dengan pikiran hanya level nasional, pengurus PSSI lebih suka melakukan naturalisasi pemain. Para pencari ‘pemain naturalisasi’ mau pergi memantau pemain yang salah satu orangtuanya berdarah Indonesia, tetapi tidak mau melihat anak-anak yang mengikuti turnamen sekolah sepak bola di luar negeri.
Tak terlihat sama sekali tim pencari bakat PSSI yang memantau kiprah anak-anak Indonesia di Singa Cup. Padahal, turnamen tersebut digelar di Singapura setiap tahun dan banyak sekolah sepak bola asal Indonesia yang ikut bertanding.
Para pengurus PSSI lebih asyik berbicara soal penyelenggaraan Piala Dunia U-17 di Indonesia. Bahkan bicaranya yakin tim Indonesia akan bisa lolos ke babak 16 Besar. Padahal, hanya beberapa bulan lalu tim U-17 terbentuk dan mereka tidak pernah mengecap tampil pada turnamen sekelas Singa Cup sekali pun.
Hanya di Indonesia memang yang tidak pernah mengenal proses. Segalanya mau tiba-tiba melompat untuk meraih prestasi yang tinggi, termasuk dalam politik, orang mau menjadi pemimpin nasional meski tidak pernah teruji untuk memimpin organisasi secara berjenjang.
Dalam manajemen yang benar, orang harus mulai memimpin tim 10 orang, sebelum memimpin 100 orang. Calon pemimpin harus mulai memimpin ratusan ribu orang sebelum memimpin jutaan orang, puluhan juta orang, dan kemudian ratusan juta orang.
Ronny Pattinasarany
Salah satu orang yang selalu bicara pentingnya pembinaan usia dini dan bahkan sampai membuat sekolah sepak bola untuk anak-anak usia dini ialah Ronny Pattinasarany. Setelah berhenti menjadi pelatih klub sepak bola, Ronny menjelang akhir 1990-an memimpikan untuk mendirikan sekolah sepak bola.
Saya merupakan salah satu yang sering ia ajak bertukar pikiran oleh bintang sepak bola Indonesia itu. Saya juga mendukung gagasan Ronny karena ia mempunyai tangan dingin dalam membentuk dan melahirkan pemain bintang. Kapten kesebelasan nasional Fakhri Husaini merupakan salah satu pemain didikan Ronny ketika ia melatih Persiba Balikpapan.
“Banyak pelatih yang lebih sukses menangani tim junior daripada tim senior. Lihat, misalnya, Berti Vogts yang lebih sukses menjadi pelatih tim junior Jerman daripada tim senior. Ronny juga begitu, sentuhannya lebih berguna untuk melahirkan pemain bagus daripada mengurusi tim nasional,” kata saya untuk menyemangati Ronny.
Ronny beruntung bertemu dengan orang yang mendukung gagasannya. Orang itu ialah Johanes Kotjo, pengusaha dan pendiri perusahaan tekstil, Apac Inti Corpora. Beberapa kali saya diajak untuk membicarakan pembentukan sekolah sepak bola di kantor Apac Inti Corpora di Jl Gatot Subroto, Jakarta.
Sekolah sepak bola itu akhirnya berdiri 28 September 1997 dan diberi nama Akademi Sepak Bola Intinusa Olah Prima atau disingkat ASIOP. Pertama kali Ronny menggunakan Lapangan ABC sebagai tempat anak-anak usia dini sebelum kemudian memiliki lapangan sendiri di Sentul sekarang ini.
Setelah 26 tahun berlalu dan Ronny sudah pulang keharibaan-Nya, ada rasa bangga dan kagum melihat tim ASIOP tampil di Singa Cup dan bahkan melaju hingga final. Teringat kebersamaan dengan Ronny Pattisarany sejak 1989 saat saya menjadi wartawan peliput sepak bola. Ronny ketika itu menjadi kolumnis sepak bola untuk surat kabar Kompas.
Langkah panjang yang Ronny lakukan telah membuahkan banyak hasil. ASIOP ikut melahirkan pemain-pemain, seperti Andritany Ardhiyasa, Egi Melgiansyah, Adixi Lenzivio, Airlangga Sutjipto, Syamsir Alam, Taji Prasetio, Dibyo Prasetio, Fahreza Keyakinanl, Achmad Jufriyanto Tohir, Zahra Muzdalifah, Khairul Imam Zakiri, dan Rendy Juliansyah.
Sayang, pikiran besar Ronny Pattinasarany tidak menggugah pengurus PSSI untuk mau turun menangani usia dini. Tak pernah ada upaya untuk menjadikan sekolah-sekolah sepak bola yang ada sebagai aset. Padahal kalau data pemain itu bisa dikumpulkan, kita tidak pernah kekurangan pemain yang bisa dibina untuk menjadi bintang sepak bola baru sekelas Ronny Pattinasarany. Sinema seri David Beckham yang sedang tayang di Netflix seharusnya membukakan mata pengurus PSSI bahwa perlu perhatian dan proses panjang melahirkan seorang bintang sepak bola.