SAYA tak bermaksud pesimistis tentang soal yang satu ini. Saya Sekadar Mau bersikap realistis. Apa itu? Kembali-Kembali soal kemampuan daya beli sebagian besar masyarakat kita yang Lagi nyungsep. Maksud hati Mau optimistis bahwa ekonomi dan daya beli akan Berkualitas pada akhirnya di tahun ini.
Nyatanya, daya beli belum kunjung terangkat, malah ndlosor. Pengangguran Lagi tinggi. Pemutusan Interaksi kerja (PHK) seolah jadi menu harian informasi media. Banyak orang tak sanggup membeli, tapi Mau tetap eksis. Di kalangan kelas menengah perkotaan, situasi itu kini memunculkan istilah ‘rojali’ alias ‘rombongan jarang beli’.
‘Rojali’ itu ‘bertetangga dekat’ dengan ‘rohana’ alias ‘rombongan hanya nanya-nanya‘. Para ‘rojalian’ dan ‘rohanaan’ ini umumnya anak muda atau keluarga muda. Mereka kerap mengunjungi mal-mal, terutama pada Sabtu dan Minggu. Kadang-kadang mereka mampir di toko-toko di mal, di depan etalase, tapi lebih sering Memperhatikan doang, enggak membeli barang.
Mereka nanya-nanya, tapi Ketika ditanya, “Mau dibungkus?”, jawabnya, “Entar dulu deh.” Makanya mereka disebut ‘rohana’, yakni ‘rombongan hanya nanya-nanya’. Dua-duanya sama: sama-sama Memperhatikan-lihat, memegang-megang, bertanya-tanya sonder membeli.
Seorang Mitra meninjau fenomena itu dari sisi psikologi sosial. Kata dia, fenomena ‘rojali-rohana’ itu mencerminkan dorongan Demi tetap eksis secara sosial dalam situasi perekonomian yang sulit. Karena Eksis gelombang PHK, orang-orang mencari pelarian sosial.
Mereka mencari tempat mereka Dapat merasa ‘terhubung’ tanpa harus mengeluarkan Duit. Karena itulah, jalan-jalan bareng menjadi bentuk dukungan emosional. Mereka Dapat saling menguatkan. Situasi itu sekaligus dijadikan Langkah Demi mempertahankan Imej diri yang ditampakkan ‘Lagi Berkualitas-Berkualitas saja’ di tengah tekanan finansial.
Hal itu, tandas sang Mitra yang memang Spesialis di bidang psikologi, menandakan pergeseran dari transactional behavior menuju experiential behavior. Dalam situasi tekanan finansial seperti Ketika ini, mereka lebih tertarik pada pengalaman, merasakan atmosfer, konten medsos, dan interaksi sosial ketimbang membeli barang.
Mereka juga Maju menghitung kebutuhan. Di sela-sela itu, mereka memutuskan Demi menunda pembelian, berusaha membandingkan harga dahulu, atau sekadar menghindari konsumsi dengan jalan-jalan karena Mengerti prioritas keuangan sedang berubah.
Tetapi, karena mereka tetap Mau eksis, tetap hadir (entah dalam pergaulan atau dalam ‘ingatan’) mereka memilih menjadi ‘rojali dan rohana’. Di tengah kesulitan ekonomi, mereka tetap Mau tampil sebagai bagian dari tren, setidaknya Ketika berbincang-bincang. Setidaknya, dengan bertanya-tanya atau Memperhatikan-lihat, mereka Mengerti tren terbaru. Mereka Enggak membeli, tapi hadir. Mereka tetap eksis Meski Enggak konsumtif.
“Bukan karena mereka Enggak mau membeli, melainkan karena realitas dan Pikiran sehat memaksa mereka Demi menunggu waktu yang Pas,” sang Sahabat menjelaskan.
Kian ke sini, jumlah mereka kian banyak. Data Badan Pusat Statistik (BPS) memang menyebutkan tingkat pengangguran terbuka (TPT) menurun. Tetapi, penurunan Nomor TPT Enggak serta-merta menandakan kondisi pasar tenaga kerja Betul-Betul membaik. Meski data menunjukkan TPT menurun, jumlah pengangguran secara absolut Bahkan meningkat.
Dari Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) edisi Februari 2025, BPS melaporkan TPT turun dari 4,82% menjadi 4,76% Apabila dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Artinya, proporsi jumlah penganggur terhadap jumlah angkatan kerja berkurang. Tetapi, di sisi lain, Kementerian Ketenagakerjaan mencatat, lebih dari 18 ribu pekerja terkena PHK dalam dua bulan pertama 2025.
Hal itu Dapat terjadi karena jumlah penduduk yang bekerja bertambah lebih Segera daripada jumlah penganggur. Dengan kata lain, tingkat pengangguran terbuka memang menurun, tetapi total jumlah orang yang menganggur tetap bertambah.
Dominannya jumlah pekerja informal menjadi salah satu kerentanan terbesar dalam struktur ketenagakerjaan Indonesia. Berdasarkan data Sakernas Februari 2025, terdapat 86,58 juta pekerja di sektor informal, sedangkan jumlah pekerja formal sebanyak 59,19 juta orang. Itu artinya, mayoritas tenaga kerja di Indonesia belum mendapatkan perlindungan hukum dan jaminan sosial secara memadai.
Karena itulah, bila kondisi seperti itu dianggap ‘Berkualitas-Berkualitas saja’, jangan heran Apabila ‘rojali-rohana’ kian merajalela. Walhasil, banyak mal tutup. Mereka tak sanggup membayar ‘biaya tetap yang tetap jadi biaya’ karena barang Enggak dibeli, hanya dilihat-lihat dan ditanya-tanya. Jangan heran pula bila suatu Ketika, dari sudut mal, terdengar Bunyi penjaga toko yang Kesal Sembari Mengucapkan, “Anda naannnyak….”

