
BANYAK Ahli lingkungan hidup memberikan penilaian bahwa kondisi bumi Demi ini sedang Bukan Berkualitas-Berkualitas saja. Bukti bahwa bumi sedang Bukan Berkualitas-Berkualitas saja semakin tahun akan semakin terlihat Terang. Dampaknya sudah kita rasakan sejak beberapa tahun yang Lampau Tiba sekarang ini.
Nyaris setiap hari kita menyaksikan bencana banjir di berbagai Kawasan dunia yang menyebabkan kerugian Mal, finansial, maupun korban Orang yang Bukan sedikit. Banyak Kawasan yang dulunya tergolong bebas banjir, sekarang malah Bukan luput dari ancaman terjangan banjir.
Gelombang suhu panas yang terjadi di mana-mana bukan hanya menimbulkan kebakaran hutan dan korban Orang, melainkan juga telah mengganggu supply chain dalam penyediaan bahan makanan. Kegagalan panen akibat kekeringan telah mendorong harga makanan menjadi semakin mahal karena ketersediaannya menjadi semakin berkurang.
Peningkatan suhu bumi juga memengaruhi ekosistem kehidupan Orang dalam jangka panjang sehingga Orang perlu melakukan adaptasi terhadap perubahan iklim tersebut. Bumi semakin panas sudah mulai dirasakan oleh Sekalian orang, dan itu Sekalian terjadi akibat ulah Orang sendiri. Penggunaan sumber daya Kekuatan berbasis fosil yang sangat masif telah menghasilkan gas karbon dioksida dalam jumlah besar yang memicu suhu bumi memanas.
Pemanasan Dunia tersebut juga meningkatkan laju penguapan permukaan menjadi lebih sering frekuensi maupun intensitasnya sehingga mendorong terjadinya curah hujan yang ekstrem. Apa yang kita rasakan tersebut hanyalah bagian kecil saja dari risiko perubahan iklim yang sedang melanda bumi kita ini. Kegagalan Demi mencegah dan memitigasi perubahan iklim dalam jangka panjang sangat memengaruhi masa depan kehidupan generasi Orang yang akan datang. Kualitas hidup dan kenyaman kehidupan ke depan mungkin Bukan Kembali sama dengan kondisi yang Terdapat sekarang.
Peringatan terkait dengan risiko perubahan iklim sebenarnya sudah disuarakan secara gencar oleh berbagai Ahli ekonomi dan lingkungan, serta menjadi agenda Global. Laporan dari Dunia Risk Report yang dikeluarkan oleh the World Economic Lembaga pada Januari 2025 memperlihatkan bahwa risiko extreme weather events menempati urutan kedua dalam jangka waktu 2 tahun ke depan. Tetapi, risiko extreme weather events tersebut menempati posisi pertama dalam kurun waktu 10 tahun ke depan, diikuti oleh 4 risiko perubahan iklim lainnya.
Risiko kedua dalam waktu 10 tahun ke depan ialah biodiversity loss and ecosystem collapse. Risiko ketiga ialah critical change to earth systems. Adapun risiko keempat ialah natural resources shortages.
Laporan Dunia Risk Report tersebut dibuat berdasarkan hasil survei terhadap 900 Ahli Global dari berbagai disiplin ilmu dan latar belakang. Yang menarik dari hasil survei tersebut ialah masalah ekonomi, teknologi digital, dan geopolitik Bukan Kembali dianggap sebagai risiko terbesar yang dihadapi oleh umat Orang dalam waktu 10 tahun ke depan. Malah mereka Menyaksikan bahwa risiko perubahan iklim merupakan risiko terpenting yang akan dihadapi oleh umat Orang.
RISIKO PERUBAHAN IKLIM
Risiko perubahan iklim lebih cenderung ke arah perubahan temperatur bumi yang semakin panas sehingga memberikan Pengaruh berantai yang sangat luas dan dahsyat. Bukan hanya kebakaran hutan, gelombang panas, banjir, dan kekeringan. Pengaruh turunannya bakal lebih besar daripada itu Sekalian. Data empiris maupun berbagai ramalan menunjukkan risiko perubahan iklim tersebut menimbulkan kerugian material maupun korban Orang yang Bukan sedikit.
Sebagai Teladan, data terkini dari European Environment Agency (Maret 2024) menunjukkan bahwa perubahan iklim yang sangat ekstrem menyebabkan Sekeliling 85.000 Tiba 145.000 korban jiwa di seluruh Eropa. Sebagian besar dari korban jiwa tersebut disebabkan gelombang panas yang menghantui daratan Eropa selama beberapa tahun terakhir. Adapun kerugian ekonomi dan materiel sebagai akibat dari perubahan cuaca di Eropa tersebut mencapai 500 miliar euro atau Sekeliling Rp8.500 triliun dalam kurun waktu yang sama.
Menurut Badan Kesehatan Dunia (World Health Organisation/WHO), pada 2023 Lampau diramalkan bahwa sepanjang 2030 Tiba 2050 Terdapat Sekeliling 250.000 ribu Orang akan menjadi korban perubahan iklim setiap tahunnya. Besarnya korban tersebut mulai dari kekurangan gizi, penyakit malaria, diare, Tiba perubahan cuaca yang sangat ekstrem.
Sedangkan ramalan dari the World Economic Lembaga pada Januari 2024 memperkirakan terjadi kerugian ekonomi sebesar US$12,5 triliun disertai dengan 2 juta Mortalitas Tiba tahun 2050. Informasi dan data di atas sekali Kembali memperlihatkan kepada kita Sekalian bahwa betapa dahsyatnya risiko perubahan iklim. Tetapi, sangat disayangkan Bukan begitu banyak masyarakat yang menyadarinya. Kondisi itu memang masuk Intelek karena Nyaris Sekalian orang Menyaksikan kepentingan ekonomi Tetap menjadi prioritas Istimewa Demi ini. Bahkan Bukan Sekalian pemerintahan di seluruh dunia menganggap risiko perubahan iklim tersebut menjadi sebuah ancaman dalam jangka pendek.
Risiko perubahan iklim di sektor jasa keuangan juga sangat besar, khususnya Demi industri perbankan dan asuransi. Perbankan dan asuransi menghadapi permasalahan yang serius dalam konteks risiko perubahan iklim tersebut. Mereka menghadapi physical risk yang cukup besar dalam jangka panjang Kalau risiko perubahan iklim Bukan Pandai diatasi.
Dalam kamus akademik pembiayaan yang dilakukan oleh perbankan sangat dipengaruhi oleh potensi risiko terjadinya kredit Stagnan. Semakin besar risikonya perubahan iklim maka semakin kecil Kesempatan perbankan memberikan pembiayaan. Oleh Asal Mula itu, bank Pandai jadi memberikan Spesies Kembang yang lebih tinggi Demi menutup potensi kerugian yang timbul dari risiko perubahan iklim. Sebagai Teladan, bank Bukan akan mau menyalurkan kredit ke daerah perumahan yang sering dilanda banjir, karena nilai agunannya akan Maju turun.
Demikian halnya Demi industri asuransi. Mereka menghadapi physical risk yang relatif tinggi karena harus menghitung ulang Iuran pertanggungan risiko yang mesti dibayar oleh nasabah. Sangat wajar Kalau tarif Iuran pertanggungan asuransi kerugian akan semakin mahal karena sangat terkait dengan risiko perubahan iklim, dan tentunya nasabahlah yang harus membayar Iuran pertanggungan lebih besar tersebut.
PERLUNYA UPAYA Dunia
Demi mengatasi risko perubahan iklim dibutuhkan kerja sama dan kolaborasi Global dari seluruh negara, karena Nyaris Sekalian negara terdampak perubahan iklim. Badan dunia seperti PBB telah membentuk United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) pada 1994 yang bertujuan membatasi pemakaian gas rumah kaca. Kemudian Terdapat Paris Agreement on Climate Change pada 2015 yang merupakan salah satu landmark dalam mengatasi perubahan iklim, dan diadopsi oleh 196 negara.
Dalam Paris Agreement, negara-negara peserta sepakat Demi mengurangi penggunaan Kekuatan fosil dan beralih ke Kekuatan baru terbarukan (EBT) maupun melakukan mitigasi atas risiko perubahan iklim. Sedangkan UNFCCC sendiri Mempunyai organ pengambilan keputusan tertinggi yakni Conference of the Parties (COP).
Dalam pertemuan COP yang ke-26 di Glasgow pada 2021, beberapa keputusan Krusial yang dibuat adalah Sasaran guna mencapai net zero emission pada 2050 Demi negara maju dan tahun 2060 Demi negara berkembang, serta menjaga agar suhu bumi Bukan mengalami kenaikan sebesar 1,5 derajat celsius.
Menarik Demi dianalisis hasil COP ke-26 tersebut mengingat dibutuhkan Anggaran transisi sebesar US$100 miliar setiap tahunnya guna mencapai Sasaran net zero emission. Sasaran Demi menahan kenaikan suhu bumi rata-rata maksimum 1,5 derajat Tiba tahun 2100 dianggap Bukan realistis oleh beberapa Ahli. Salah satunya menurut the World Meteorologycal Organization Terdapat kemungkinan bahwa suhu bumi akan naik di atas 1,5 derajat hanya dalam kurun waktu 5 tahun ke depan.
Tanpa adanya upaya Berbarengan yang dilakukan oleh Sekalian negara, kecil kemungkinan pencapaian Sasaran net zero emission dapat tercapai sesuai dengan rencana di tahun 2050 Demi negara maju dan 2060 Demi negara berkembang. Strategi pencegahan maupun mitigasi harus dilakukan oleh Sekalian negara secara serentak dan berkelanjutan. Negara-negara maju yang tergabung dalam OECD melalui International Programme for Action on Climate (IPAC) juga sudah menyatakan komitmen mereka Demi mendukung Sasaran net zero emission tersebut.
Adapun International Monetary Fund (IMF) mendukung sepenuhnya upaya pencapaian Sasaran tersebut dengan berbagai advis maupun konsultasi, di antaranya bagaimana kebijakan makroekonomi dan keuangan suatu negara dalam merespons perubahan iklim. Sementara itu, Bank Dunia (the World Bank) juga sangat mendukung upaya Global melalui skema Climate Change Action Plan (CCAP), dengan melakukan pendampingan dan Donasi pembiayaan terhadap berbagai proyek yang berbasis net zero emission, seperti di sektor Kekuatan, pertanian, makanan, dan kesehatan.
TANTANGAN YANG DIHADAPI
Risiko perubahan iklim sepertinya sudah sulit Demi dicegah terjadi, mengingat upaya Demi melakukan pencegahan sudah lewat waktunya. Tetapi, setidaknya kita Pandai meminimalkan kejadiannya mulai dari sekarang agar frekuensi dan Pengaruh yang ditimbulkan dari perubahan iklim tersebut Pandai ditekan serendah mungkin.
Kegagalan Demi meminimalkan risiko perubahan iklim bukan hanya berakibat Jelek terhadap bumi dan isinya, tetapi juga memberikan Pengaruh berantai yang luar Lazim. Pengaruh berantai tersebut, antara lain pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran masyarakat akan terganggu dalam jangka panjang, menurunnya kualitas hidup Orang, dan yang sangat ditakuti ialah bumi sudah Bukan layak Kembali dihuni oleh generasi yang akan lahir kemudian.
Memang Bukan mudah mengurangi risiko perubahan iklim, mengingat adanya berbagai tantangan yang Bukan mudah Demi diatasi. Pertama, Bukan Sekalian negara Mempunyai komitmen yang serius maupun kesiapan yang matang Demi mengurangi risiko perubahan iklim. Hal itu disebabkan sebagian besar dari negara-negara miskin lebih Menyaksikan masalah ekonomi sebagai prioritas jangka pendek yang harus diutamakan terlebih dahulu.
Kedua, kampanye Dunia mengenai risiko perubahan iklim Tetap belum masif dan gencar seperti halnya kampanye melawan penyebaran covid-19 beberapa waktu Lampau. Badan PBB yang bertanggung jawab terhadap perubahan iklim, Yakni UNFCCC dan UNEP, dianggap belum memberikan Panduan yang terstruktur, menyeluruh, dan masif kepada masyarakat luas mengenai pentingnya menjaga lingkungan hidup. Mereka lebih banyak melakukan kerja sama dan memberikan Donasi dengan badan pemerintah maupun swasta ke sektor-sektor tertentu sehingga hasilnya belum dirasakan merata dan hanya dinikmati oleh Golongan tertentu.
Ketiga, masyarakat luas memerlukan literasi tentang perubahan lkilim beserta risikonya dengan Langkah-Langkah yang mudah dimengerti dan dipahami. Dengan literasi perubahan iklim tersebut, diharapkan masyarakat Pandai ikut berpartisipasi guna meminimalikan risiko perubahan iklim di tempat mereka tinggal. Masyarakat di perdesaan pun dapat membantu dengan melakukan hal-hal yang sederhana, misalnya dengan memisahkan sampah plastik tersendiri dari sampah lainnya. Kesadaran masyarakat terkait perubahan iklim memang Tetap minim dan belum Terdapat kejelasan siapa yang bertanggung jawab melakukan literasi tersebut.
Keempat, transisi Demi mencapai Sasaran net zero emission tidaklah mudah Demi dilakukan, diperlukan pembiayaan yang Bukan sedikit. Diperlukan Anggaran yang besar dalam melakukan transisi dari Kekuatan fosil menuju penggunaan EBT ataupun renewable energy, seperti tenaga angin, Surya, dan gelombang laut. Tanpa adanya dukungan Anggaran yang besar, upaya menuju Sasaran net zero emission semakin sulit Demi ditepati dan memberikan hasil maksimal.
IMF sendiri memperkirakan kebutuhan Anggaran Sekeliling US$900 miliar Tiba US$5 triliun setiap tahunnya Demi menuju net zero emission Tiba tahun 2030 saja. Setelah tahun 2030, Tetap dibutuhkan Anggaran Sekeliling US$1,7 triliun Tiba US$3,1 triliun setiap tahunnya hingga 2050.
Yang menjadi pertanyaan, siapa yang akan menyediakan Anggaran sebesar itu Demi mendukung pencapaian Sasaran tersebut, khususnya Demi negara-negara berkembang. Apalagi pemerintahan Donald Trump dengan tegas menarik diri dari Paris Agreement on Climate Change, sehingga menjadi sulit bagi negara-negara berkembang melakukan pembiayaan guna menuju EBT sesuai Sasaran. Negara-negara Barat yang dianggap sering menyuarakan pentingnya menangani risiko perubahan iklim, Malah belum sepenuhnya Mempunyai komitmen Demi membantu pembiayaan bagi negara-negara berkembang dalam melakukan transisi menuju EBT.

