Riset, Hasil karya, dan Reindustrialisasi

Riset, Inovasi, dan Reindustrialisasi
(MI/Seno)

SEPEKAN terakhir ini, ruang publik diisi dengan perdebatan tentang riset vaksin dan peleburan urusan riset ke dalam kewenangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Sebenarnya, kedua isu tersebut hanyalah bagian kecil dari isu besar riset di Indonesia yang harus diperhatikan. Spesifiknya, bila dikaitkan dengan desain strategi reindustrialisasi pascapandemi covid-19, serta fakta tentang posisi Indonesia dalam Indeks Hasil karya Dunia (IIG) 2020 yang dikeluarkan WIPO (World Intellectual Property Organization) dan Cornell University setiap tahunnya.

Menurut laporan Dunia Innovation Index 2020, ada korelasi antara kemajuan pembangunan dan peringkat IIG. Semakin maju suatu bangsa, umumnya semakin tinggi pula indeks inovasinya.

 

Indeks inovasi dan sumber daya riset

Dalam Indeks Hasil karya Dunia (IIG) 2020, Indonesia berada di urutan ke-85 dari 131 negara. Bandingkan dengan Singapura (8), Malaysia (33), Vietnam (42), Filipina (41), dan Thailand (44), yang artinya di Asia Tenggara pun kita hampir berada di posisi terendah setelah Kamboja.

Ketika ini lima besar IIG 2020 ialah Swiss, Swedia, Inggris, Belanda, dan Amerika Perkumpulan. Sementara itu, dalam kategori negara-negara berpendapatan menengah ke bawah, Indonesia berada di posisi ke-9 di bawah India, Mongolia, Tunisia, dan Maroko. Indikator IIG 2020 tersebut mencakup institusi, infrastruktur, sumber daya manusia dan riset, output pengetahuan dan teknologi, serta kecanggihan bisnis dan pasar.

Fakta-fakta tersebut tentu ada hubungannya dengan fakta sumber daya riset berikut ini. Pertama, menurut Bank Dunia (2020), dana riset di Indonesia tergolong relatif kecil jika dibandingkan dengan negara-negara lain, yakni 0,28% dari produk domestik bruto (PDB), jauh di bawah rata-rata dunia yang mencapai 2,04%. Bandingkan pula dengan India (0.6), Thailand (1.0), Malaysia (1.4), Singapura (1.9), Tiongkok (2.1) Jepang (3.2), dan Korea Selatan (4.8).

Bahkan, menurut UNESCO pada 2018, dana riset itu pun masih didominasi dana yang bersumber dari pemerintah, yakni 88%. Kontribusi swasta masih relatif kecil, yaitu 12%. Coba kita Bandingkan dengan kontribusi riset swasta di negara lain, seperti Thailand (81%), Malaysia (38%), Singapura (52%), Korea Selatan (77%), dan Tiongkok (77%). Jadi, memang kecenderungan yang ada menunjukkan peran swasta yang semakin besar.

Cek Artikel:  Bahasa dan Susastra untuk Kebangkitan

Kedua, data Bank Dunia (2020) menunjukkan jumlah peneliti di Indonesia hanya 216 per 1 juta penduduk, bandingkan dengan Tiongkok (1307), Thailand (1350), Malaysia (2397), Jepang (5331), Singapura (6803), dan Korea Selatan (7980). Rupanya, ada hubungan antara alokasi dana riset dan proporsi jumlah peneliti. Artinya, negara-negara yang ekonominya maju dicirikan dengan proporsi dana riset yang besar dan proporsi jumlah peneliti yang banyak.

Ketiga, hasil riset berupa paten. Berdasarkan data DJKI (2019), jumlah permohonan paten di Indonesia terus meningkat dari 9877 (2017), 11302 (2018), hingga 12606 (2019). Yang menarik ialah pada kurun tersebut ternyata permohonan paten itu masih didominasi paten asing. Hingga 2019, paten asing masih 66,9%, turun dari 77% pada 2017. Artinya, paten dalam negeri terus mengalami peningkatan.

Permohonan paten dalam negeri, naik dari 23% (2017) menjadi 33,1% (2019). Tentu fakta ini tidak perlu kita ratapi. Yang terpenting ialah bagaimana kita rumuskan strategi ke depan agar indeks inovasi meningkat.

 

Reindustrialisasi

Pandemi covid-19 telah melumpuhkan sejumlah sektor ekonomi. Menurut Data BPS (2021), Pertumbuhan ekonomi triwulan 4 2020 negatif 2,19%. Bila ditelaah, sektor-sektor yang tumbuh negatif ialah perdagangan (-3.64), pertambangan dan galian (-1.20), transportasi dan pergudangan (-13.42), industri pengolahan batu bara dan pengilangan (-3.14), industri alat angkutan (-18.98), serta transportasi dan pergudangan (-13.42).

Di antara sektor yang tetap positif ialah pertanian, perikanan, dan kehutanan yang tumbuh 2,59% dengan kekuatan pada tanaman pangan yang tumbuh 10,47%. Sektor yang tumbuh positif lainnya, antara lain kesehatan (16.54), industri kimia, farmasi, dan obat tradisional (8.45), industri makanan dan minuman (1.66), dan industri logam dasar (11.46).

Sektor pertanian selalu teruji tahan banting di setiap krisis, dan hal ini sekaligus membuktikan sektor pertanian menjadi salah satu penyelamat ekonomi nasional. Oleh karena itu, pandemi covid-19 mestinya menjadi momentum yang paling pas untuk reindustrialisasi, dengan basis pertanian atau agromaritim yang kuat.

Cek Artikel:  Pertemuan SBY-Prabowo Menuju 2019

Reindustrialisasi agromaritim bisa menjadi panglima ekonomi nasional ke depan. Mengapa? Pertama, agromaritim memiliki peran tidak saja sebagai sumber bahan pangan, tetapi juga energi, kesehatan, biomaterial, wisata, dan industri lainnya.

Daya berbasis produk agromaritim ialah energi baru dan terbarukan yang penting dalam pembangunan berkelanjutan. Obat-obatan herbal berbasis agromaritim menjadi kekuatan Indonesia untuk mewujudkan kedaulatan obat-obatan. Begitu pula, aneka produk agromaritim bisa menjadi biomaterial dari industri kosmetik hingga pertahanan, seperti adanya rompi antipeluru dan helm perang yang dapat dibuat dari limbah sawit.

Kedua, agromaritim memiliki keterkaitan ke hulu dan hilir yang kuat, yang akan membuat kukuhnya industrialisasi di Indonesia. Sektor agromaritim tidak rentan terhadap fluktuasi kurs akibat ketergantungan bahan baku impor dan larinya investor ke luar negeri.

Reindustrialisasi berbasis agromaritim memerlukan inovasi yang kuat, agar produk-produk tersebut memiliki daya saing di pasar, baik domestik maupun internasional. Buat inovasi yang kuat, diperlukan riset yang kuat pula. Hasil karya dan riset perlu terus didorong untuk memperkuat sektor-sektor ekonomi yang menjadi panglima. Oleh karena itu, sektor ini sangat berkepentingan terhadap strategi makro maupun mikro untuk riset dan inovasi.

 

Strategi

Menyaksikan masalah dan tantangan riset serta inovasi di atas, diperlukan penguatan ekosistem riset dan inovasi, baik berupa penguatan kebijakan, pembiayaan, sumber daya, infrastruktur, dan teknologi.

Sejumlah strategi,perlu diimplementasikan sebagai berikut. Pertama, diperlukan desain peta jalan riset yang komprehensif dengan sinergi lembaga riset pemerintah, lembaga riset swasta, perguruan tinggi, dan dunia usaha. Termasuk di dalamnya, pembagian peran pengembangan riset dasar dan terapan. Riset terapan pun perlu dipertajam lagi dengan riset untuk menghasilkan teknologi tinggi dan tepat guna. Peta jalan disusun, dengan mempertimbangkan tren revolusi industri 4.0, SDGs, dan prioritas sektor pembangunan ekonomi. Sebagai contoh, riset agromaritim untuk biomaterial alternatif didorong untuk substitusi impor.

Cek Artikel:  Potret Buram Partai Politik

Kedua, memperkuat sinergi Kemendikbud Ristek dan Badan Riset dan Hasil karya Nasional (BRIN), untuk memastikan payung riset bersama yang menjadi acuan riset di perguruan tinggi sehingga riset lebih terarah.

Ketiga, mengintegrasikan agenda riset perguruan tinggi dengan litbang kementerian dan lembaga riset di bawah koordinasi BRIN, yang diikuti dengan resources sharing antarlembaga. Termasuk, akses fasilitas laboratorium. Di Belanda, lembaga riset kampus dan litbang kementerian sudah semakin terintegrasi. Begitu pula di Jepang.

Keempat, pembangunan kawasan sains dan teknologi di berbagai perguruan tinggi, untuk menjembatani kerja sama industri, alih teknologi, dan inkubasi bisnis pemula. Pada saat yang sama, juga perlu pembangunan pusat-pusat inovasi pada wilayah pusat pertumbuhan industri, untuk memperkuat produk industri, agar berdaya saing.

Kelima, adanya jaminan risiko atas teknologi hasil penelitian dan pengembangan dalam negeri. Mekanisme penjaminan risiko dapat berupa skema riset tambahan untuk menyempurnakan produk yang sudah dikerjasamakan dengan industri.

Keenam, perlu sumber-sumber dana alternatif untuk pembiayaan riset, baik swasta maupun BUMN. Karena itu, perlu insentif bagi industri yang R&D-nya bekerja sama dengan perguruan tinggi. Kebijakan pengurangan pajak hingga 300% sebenarnya sudah cukup menguntungkan industri karena itu perlu sosialisasi yang lebih masif sehingga semakin banyak industri yang mau bekerja sama dengan perguruan tinggi.

Ketujuh, penguatan peran perguruan tinggi, sebagai pusat diseminasi teknologi tepat guna untuk masyarakat perdesaan dan pelaku UMKM. Di Amerika Perkumpulan, perguruan tinggi memiliki tugas khusus sebagai pusat penyuluhan pertanian.

Kedelapan, penguatan jejaring internasional dengan membentuk konsorsium riset internasional, agar kita terus berada pada tema-tema riset terdepan, memperkuat SDM periset, sekaligus meningkatkan reputasi riset Indonesia di kancah global.

Delapan strategi di atas diharapkan mampu mendongkrak kinerja riset dan inovasi. Kagak saja untuk meningkatkan indeks inovasi global, tetapi yang lebih penting ialah untuk memperkuat pembangunan agar lebih menyejahterakan.

Mungkin Anda Menyukai