Revisi Kebijakan Daya Nasional Perlu Secepatnya Disahkan

Revisi Kebijakan Energi Nasional Perlu Secepatnya Disahkan 
Pengesahan revisi kebijakan energi nasional perlu dipercepat(Antara)

TARGET bauran energi berdasarkan Kebijakan Daya Nasional (KEN) 2025 sulit tercapai karena sumber energi fosil masih mendominasi. Oleh karena itu, perlu diupayakan secara cepat agar terbit revisi KEN yang baru.

Feiral Rizky Batubara, Praktisi Investasi & Pemerhati Ketahanan Daya mengatakan, sumber energi fosil adalah sumber energi yang paling populer digunakan pada seratusan tahun terakhir. Kedepan Daya Baru dan Terbukan (EBT) akan menggantikan dominasi energi fosil. Tetapi, hal ini perlu Kebijakan Daya Nansional yang pro kepada  transisi energi agar dapat terlaksana. 

“Sulit tercapainya target KEN tahun depan. Oleh karena itu perlu disahkannya Kebijakan Daya terbaru secepatnya,” kata Feiral, dikutip Minggu (25/8). 

Baca juga : Dewan Daya Nasional dan PT ThorCon Power Indonesia Gelar FGD Penyusunan Proposal PLTN Pertama di Indonesia

Cek Artikel:  Lelahan Infrastruktur dalam 10 Pahamn Terakhir Tingkatkan Daya Saing Investasi

Dirinya menambahkan bahwa saat ini dengan melihat pembangkit listrik di dunia sudah mulai transisi ke energi terbarukan. Meskipun secara mayoritas masih disumbang oleh energi fosil, dimana sekitar 35,7% disumbang dari Batu Bara, sekitar 25% dari Gas Alam dan fosil lain. Sumber energi sisanya sudah mulai ditopang oleh energi terbarukan, antara lain Air dari yang terbesar lalu diikuti dengan Nuklir, Angin, Mentari, Bio energi, dan lainnya.

“Tiba kapan kita mau membiarkan implementasi transisi energi ke EBT tarik ulur seperti sekarang ini? Apabila kita mengengok ke beberapa negara tetangga lain disekitar kita, ada Jepang yang telah mengimplementasikan Honeycomb wind lense turbine, China dengan araticial sun nuclear fusion reactor, Malaysia dengan solar project Mudajaya, dan Thailand dengan powerhouse of Srinagarind hydropower plant & Kwai Yai river,” Feiral menabahkan

Cek Artikel:  Rupiah Menguat ke Level Rp15.505 pada Rabu 4 September 2024

Selain itu, Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan, telah menyatakan bahwa pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) Suralaya di Cilegon, Banten akan ditutup. Oleh karena itu, perlu ada pembangkit listrik dari EBT yang masif dan berkapasitas besar. 

Baca juga : DEN: Cadangan Penyangga Daya RI Butuh Anggaran Rp50 Triliun

“Hal ini akan mengakibatkan terganggunya ekonomi, pertahanan, keamanan dan sendi-sendi peradaban ini. Sumber EBT yang dirasakan mampu berdaya besar adalah geothermal, air dan nuklir. Karena geothermal dan air lokasinya jauh dari pengguna, intermiten, dan tergantung dari kondisi alam, sebaiknya pemerintah tidak menjadikan nuklir sebagai energi terakhir. Karena sumber energi ini menghasilkan energi yang murah, bersih dan kontinyuitasnya tinggi,” pungkas pria berkaca mata ini.

Cek Artikel:  Satgas Ungkap Intervensi Barang Impor Ilegal Senilai Rp20 Miliar

Menurutnya, perubahan harus dimulai dari sekarang dengan menghadapi risiko kegagalan, keuntungan finansial yang relatif lebih sedikit untuk saat ini, guna meraih tujuan yang jauh lebih besar serta bermanfaat untuk jangka panjang untuk anak cucu kita. Selain itu, penerbitan greenbond serta transaksi di bursa karbon menjadi salah satu dari mekanisme yang dapat merangsang geliat green economy.

“Tentunya kebijakan-kebijakan pendukung dari Pemerintah tetap akan selalu dibutuhkan sebagai landasan yang akan sangat efektif dalam mensimulasi pergerakan ekonomi serta pemodalan kearah yang lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan,” tutup Feiral. (Z-8)

 

Mungkin Anda Menyukai