Resiliensi Sistem Pangan untuk Indonesia Emas

Resiliensi Sistem Pangan untuk Indonesia Emas
Ilustrasi MI(MI/SENO)

HARI ulang tahun ke-79 RI ini menjadi momentum penting untuk memproyeksikan masa depan Indonesia. Sekeliling 21 tahun lagi kita akan merayakan hari kemerdekaan ke-100 RI, yang sering disebut sebagai Indonesia emas. Salah satu mimpi kita ialah menjadi negara terbesar keempat di dunia pada 2045 tersebut.

Buat itu, diperlukan stabilitas pertumbuhan ekonomi 6%-7%. Salah satu fondasi penting bagi stabilitas pertumbuhan tersebut ialah terciptanya kedaulatan, kemandirian, dan ketahanan pangan. Tetapi, kini stabilitas pangan kita dihadapkan dengan sejumlah guncangan global, yakni perubahan iklim dan konflik geopolitik, setelah pandemi covid-19 berlalu. Bagaimana strategi untuk mewujudkan pangan Indonesia yang resilien atas guncangan-guncangan tersebut?

 

Baca juga : Pemerintah Berencana Bangun Lahan Pertanian 1 Juta Hektare di Merauke

Perlunya resiliensi

Krisis Rusia-Ukraina telah memicu krisis pangan mengingat 30% perdagangan gandum dunia berasal dari kedua negara tersebut. Pascapandemi covid-19 juga terdapat 22 negara yang hendak menahan stok pangan mereka untuk tidak diperdagangkan di pasar global. Pada saat yang sama perubahan iklim juga telah memicu krisis pangan, hal itu terlihat dari impor beras yang kini kita alami. Bahkan ada rumus bahwa setiap kenaikan 1 derajat celsius akan menurunkan produksi padi 10%. Guncangan global tersebut menyebabkan krisis pangan global. Data FAO (2021) menunjukkan bahwa sekitar 768 juta jiwa di dunia mengalami kelaparan pada 2021, meningkat sekitar 46 juta jiwa dari 2020.

Guncangan-guncangan tersebut mendorong pangan kita untuk harus semakin resilien. Resilien di sini berarti bahwa sistem pangan kita tahan banting, mampu mempersiapkan, mengantisipasi, bertahan, memulihkan, dan memperbaiki keadaan akibat guncangan bencana alam dan nonalam yang terjadi secara tiba-tiba, maupun secara perlahan-lahan untuk mencapai ketahanan pangan yang lebih tangguh.

Baca juga : BPIP : Paskibraka Lepas Jilbab untuk Keseragaman

 

Sepuluh agenda

Resiliensi pangan sudah menjadi keniscayaan. Terhadap berbagai guncangan tersebut di atas, terdapat 10 agenda penting untuk meningkatkan resiliensi pangan. Pertama, pemulihan ekosistem dan ketersediaan lahan pangan. Ketika ini, lahan pertanian dunia seluas 5,1 miliar hektare dan FAO memproyeksikan kebutuhan lahan pertanian dunia 2030 mencapai 5,4 miliar hektare sehingga kebutuhan tambahan lahan pertanian hingga 2030 nanti mencapai 300 juta hektare.

Baca juga : HUT RI di IKN Dipaksakan, Banyak Fasilitas Belum Siap

Ketersediaan lahan itu penting mengingat penduduk terus mengalami peningkatan. Tetapi, luas sawah Indonesia dari hasil kajian ATR/BPN, BPS, Kementan (2019) 7,4 juta hektare terjadi penurunan luas sawah 1 juta ha selama tujuh tahun. Hal itu mendorong kita untuk benar-benar mampu mengendalikan konversi lahan pertanian dan pada saat yang sama juga mendorong ekstensifikasi.

Tetapi, perlu dicermati bahwa pembukaan dan perluasan lahan pertanian harus memperhatikan aspek lingkungan agar ekosistem tidak terganggu. Juga diperlukan langkah terobosan untuk ekstensifikasi pertanian lahan marginal seperti lahan rawa, lahan eks tambang, lahan pasang surut, dan lahan dengan salinitas tinggi dan terobosan teknologi yang feasible.

Ketika ini pemerintah sedang mendorong pertanian di Merauke dan dari sisi ketersediaan lahan, langkah pemerintah tersebut tepat. Karena itu, perlu dicarikan solusi dalam aspek sosial dan kelembagaan usaha tani sehingga budi daya tanaman pangan di Merauke bisa sukses dan menyejahterakan petani. Pemulihan lahan tidak hanya terkait dengan luasannya, tetapi yang juga sangat penting ialah pemulihan kesuburan tanah untuk mewujudkan pertanian regeneratif, demi keberlanjutan ketahanan pangan Indonesia pada masa mendatang.

Cek Artikel:  Blunder tidak Mundur dari Jabatan

Baca juga : Kemenkop UKM Komitmen Percepat UMKM Naik Kelas

Kedua, intensifikasi dan pendampingan petani. Selain ekstensifikasi, kita memerlukan intensifikasi dengan konsolidasi teknologi-teknologi 4.0 terkini. Intensifikasi sangat penting untuk mendorong produktivitas, mulai peningkatan kualitas lahan, bibit unggul, pengendalian hama & penyakit, pemupukan, hingga penanganan pascapanen.

Revolusi Industri 4.0 telah mendorong digitalisasi pertanian yang memungkinkan proses produksi dilakukan secara presisi. Di IPB telah ditemukan varietas baru yang hemat pupuk dan air, yang artinya semakin ramah dan cerdas terhadap perubahan iklim. Kini genome editing menjadi teknik baru untuk menghasilkan varietas baru. Begitu pula teknik budi daya baru yang diperkenalkan bisa meningkatkan produktivitas hingga 10%.

Proses intensifikasi yang pintar dan ramah perubahan iklim tersebut memerlukan program pendampingan petani melalui sistem penyuluhan yang lebih cerdas. Di sinilah pengembangan penyuluhan digital diperlukan. Karena itu, perlu dikembangkan ‘bimas baru’ yang pintar dan adaptif terhadap teknologi 4.0 dan perubahan iklim. Beberapa modalitas yang tersedia seperti Kurikulum Merdeka Belajar yang dijalankan serempak di seluruh perguruan tinggi dapat dijadikan pendukung pendampingan pada ‘bimas baru’.

Ketiga, pengembangan sistem pangan berbasis komunitas. Pada saat pandemi covid-19 telah berkembang pertanian perkotaan (urban farming) untuk meningkatkan ketahanan pangan rumah tangga. Lahan pekarangan yang relatif sempit dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian rumah tangga yang memang hasilnya hanya untuk mencukupi kebutuhan sendiri. Tetapi, langkah masyarakat itu sangat penting untuk meningkatkan resiliensi pangan, pada saat kita menghadapi tantangan perubahan iklim dan konflik geopolitik.

Kegiatan swadaya masyarakat itu perlu terus didorong. Teknik garden tower yang menanam secara vertikal telah dikembangkan di masyarakat dan itu bisa menjadi solusi untuk lahan sempit. Modal sosial yang ada di masyarakat seperti gotong royong, sistem jimpitan dan lumbung untuk cadangan pangan, serta bantuan pangan bagi yang membutuhkan harus digerakkan sebagai pilar pengukuh ketahanan pangan rumah tangga.

Keempat, peningkatan diversifikasi pangan lokal. Hal itu sangat penting mengingat impor gandum dalam 10 tahun, 13 tahun terakhir, meningkat tajam dari 4 juta ton pada 2010 menjadi 12 juta ton pada 2021. Impor gandum yang terus meningkat perlu diperhatikan dan dikendalikan dengan diversifikasi pangan lokal yang bisa menyubstitusi gandum dengan sumber-sumber karbohidrat lain seperti sagu, singkong, ganyong, dan sorgum.

Cek Artikel:  Menyongsong World Water Perhimpunan Ke-10, Bali, 18-25 Mei 2024 Air untuk Kesejahteraan

Persoalannya ialah apakah kita mampu mendorong kebijakan rasio untuk menekan impor gandum, yakni dengan mewajibkan importir gandum untuk menyerap sumber karbohidrat lain dari petani lokal. Bila itu dilakukan, bisa berdampak pada peningkatan permintaan terhadap produk petani lokal dan pada akhirnya akan mengurangi ketergantungan pada impor gandum dan sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi desa.

Industrialisasi pangan lokal berbasis tepung-tepungan merupakan salah satu alternatif untuk menghasilkan produk-produk yang dapat diterima luas guna mengatasi inferioritas pangan lokal sumber karbohidrat khususnya.

Kelima, peningkatan konsumsi sumber protein hewani dengan harga terjangkau baik blue flood maupun produk peternakan. Konsumsi protein hewani penting untuk peningkatan kualitas gizi. Rendahnya asupan protein hewani merupakan salah satu penyebab rendahnya posisi Indonesia dalam Dunia Food Security Index. Ketika ini menurut KKP (2024) konsumsi ikan per kapita/tahun Indonesia pada 2022 mencapai 57,27 kg/kapita/tahun.

Sementara itu, konsumsi dagingnya pada 2023 baru sekitar 7,46 kg per kapita/tahun yang didominasi daging unggas. Pola konsumsi protein hewani tersebut perlu ditingkatkan, tetapi pada saat yang sama produksi lokal juga harus meningkat sehingga peningkatan konsumsi protein hewani bisa lebih hemat devisa, sekaligus ramah lingkungan.

Keenam, penguatan inovasi dan industri pangan nasional berkelanjutan. Eksis korelasi positif antara skor Dunia Innovation Index (GII) dengan PDB/kapita suatu negara. Dengan demikian, resiliensi pangan harus didukung riset unggul untuk bisa hasilkan inovasi. Peta jalan riset pangan harus melibatkan seluruh pemangku kepentingan sehingga seluruh isu pangan bisa diteliti untuk menghasilkan solusi. Penemuan tidak hanya di hulu (varietas unggul, pupuk, teknik budi daya) tetapi juga di hilir untuk meningkatkan nilai tambah, sekaligus mengembangkan bioekonomi dan ekonomi sirkular. Di sinilah investasi untuk membangun industri pangan berkelanjutan diperlukan.

Ketujuh, penguatan sistem logistik dan cadangan pangan berbasis kepulauan. Hal krusial dalam sistem pangan ialah soal sistem logistik dan cadangan pangan, apalagi Indonesia ialah negara kepulauan yang memerlukan pendekatan yang berbeda dengan wilayah kontinental.

Sejumlah pulau kecil di Indonesia tidak mampu memproduksi sendiri pangan pokok mereka sehingga diperlukan suplai dari wilayah lain. Membangun logistik pangan di kepulauan memerlukan pendekatan holistis transportasi laut, udara, dan darat serta pergudangan yang dilengkapi cold storage (rantai dingin) yang memadai dengan memanfaatkan teknologi canggih seperti blockchain untuk traceability pangan yang dipindahkan.

Kedelapan, mengatasi susut dan limbah pangan (food loss and waste/FLW), yang menurut Bappenas (2021) mencapai 115-84 kg/kapita/tahun (2009-2015). Kerugian timbulan FLW 2000-2019 diestimasikan mencapai Rp213 triliun-Rp551 triliun/tahun (4%-5% PDB). Juga diperkirakan total emisi timbulan FLW 2000-2019 (20 tahun) sebesar 1.702,9 Mt CO2 ek. Jumlah orang yang dapat diberi makan dari timbulan FLW sekitar 61-125 juta orang (29%-47% populasi). Dengan mengurangi susut pangan di tingkat pascapanen melalui mekanisasi pertanian dan perubahan perilaku konsumen, untuk menekan limbah pangan pada tingkat ketersediaan pangan.

Cek Artikel:  Anies Baswedan Suar Oposisi Masa Depan Indonesia

Oleh karena itu, susut pangan baik pada panen, distribusi, maupun penggilingan padi harus benar-benar diatasi. Indonesia ialah salah satu negara yang belum memiliki regulasi untuk melakukan penyelamatan pangan melalui redistribusi sisa pangan yang aman dan layak konsumsi sebagai donasi kepada masyarakat yang membutuhkan. Hal itu sekaligus penting untuk mendorong ekonomi sirkuler. Oleh karenanya, peraturan setingkat perpres atau lebih tinggi daripada itu perlu disusun dan ditegakkan.

Kesembilan, regenerasi petani, yang diperlukan untuk mengatasi aging society di kalangan petani. Menurut Sensus Pertanian 2023, petani milenial yang berumur 19-39 tahun 6.183.009 orang (21,93%) dari total petani di Indonesia 28.192.693 orang. Sementara itu, petani yang berumur lebih dari 39 tahun dan menggunakan teknologi digital sebanyak 10.595.434 orang (37,58%) dan yang tidak menggunakan teknologi digital sebanyak 11.408.638 (40,47%).

Eksispun petani yang berumur kurang dari 19 tahun dan menggunakan teknologi digital sebanyak 5.612 orang (0,02%). Jadi, petani yang berumur di atas 39 tahun sebanyak 78,05%. Upaya regenerasi perlu didesain secara sistematis melalui kolaborasi pemerintah, akademisi, sektor swasta, dan secara intensif melibatkan generasi muda dalam perumusannya.

Kesepuluh, program makan bergizi gratis merupakan salah satu terobosan untuk meningkatkan ketahanan pangan dan mewujudkan sumber-sumber pertumbuhan baru di perdesaan. Program itu memiliki kaitan multiplier effect ke belakang dan ke depan. Kaitan ke belakang akan terlihat dengan meningkatnya permintaan produk pangan sehingga mau tidak mau mendorong peningkatan produksi.

Upaya itu dapat diintegrasikan dengan pendirian dan revitalisasi koperasi perdesaan, perekat nilai kebangsaan melalui kebiasaan makan bersama, pembukaan usaha kreatif pengelolaan sampah sisa makanan untuk kompos, dan lainnya. Jadi, bukan hanya anak sekolah yang akan menikmati program itu, tetapi juga para petani, nelayan, dan peternak sebagai produsen. Kaitan ke depan terlihat dari peningkatan gizi, kecerdasan, dan produktivitas anak sekolah yang akan berdampak pada masa depan kualitas hidup mereka.

Guncangan-guncangan global sering kali tidak bisa diprediksi, yang tentu akan berpengaruh pada sistem pangan kita. Oleh karena itu, diperlukan gerakan resiliensi sistem pangan agar kita mampu bertahan ketika sejumlah krisis yang penuh ketidakpastian itu datang. Resiliensi itu semakin penting ketika kita bermimpi untuk menjaga stabilitas ekonomi dan politik untuk menuju Indonesia emas 2045.

Mungkin Anda Menyukai