Resesi di Ruang Tamu

AKHIR bulan lalu, ekonomi terbesar Eropa dan terbesar keempat di dunia, Jerman, jatuh ke dalam resesi. Tak hanya Jerman, 19 negara lainnya yang merupakan bagian dari zona euro juga telah tenggelam ke dalam resesi ekonomi.

Sebagaimana dilansir India Times, awal pekan ini, data badan statistik Eurostat menunjukkan ekonomi zona euro jatuh ke dalam resesi teknis dalam tiga bulan pertama 2023. Tanda-tanda resesi itu muncul akibat kenaikan suku bunga bank sentral akan melemahkan prospek pertumbuhan masa depan kawasan itu.

IMF dan Bank Dunia telah berulang kali memperingatkan kemungkinan resesi global tahun ini. Resesi dunia memang sudah di ruang tamu, bukan lagi di depan pintu. Kondisi itu kian menguatkan prediksi berbagai analisis pada tahun lalu yang.menyebutkan ekonomi global akan dilanda kemurungan pada 2023.

Fakta terjadinya resesi dunia makin terkonfirmasi saat Presiden Joko Widodo diberi tahu IMF ihwal jumlah ‘pasien’ negara-negara di dunia di lembaga keuangan internasional tersebut.

Demi ini, ada 96 negara yang menjadi ‘pasien’ International Monetary Fund atau Anggaran Moneter Dunia. Presiden mengetahui hal itu ketika bertemu dengan Managing Director IMF Kristalina Georgieva dalam Konferensi Tingkat Tinggi G-7 di Hiroshima, Jepang, Mei 2023. Jumlah itu lebih dari separuh total anggota IMF yang mencapai 190 negara.

Cek Artikel:  Wasit Melempem

Bagi Indonesia, resesi ekonomi global dan sulitnya perekonomian dumia itu kian memukul ruang-ruang lapangan pekerjaan di dalam negeri yang masih sesak. Itu terjadi karena sejumlah industri manufaktur berbasis ekspor pasti kesulitan memasarkan produk mereka. Karena itu, perumahan pekerja hingga pemutusan hubungan kerja (PHK) bakal kian masif.

Apalagi, konfigurasi perekonomian kita masih kurang ramah terhadap tenaga kerja. Kontribusi dua sektor utama ekonomi kita, yakni pertanian dan manufaktur, terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional terus menurun dari waktu ke waktu. Padahal, dua sektor itulah yang mampu menyerap 44% total tenaga kerja.

Sebaliknya, kontribusi sektor pertambangan terhadap PDB nasional naik. Padahal, sektor itu hanya bisa menyerap 1% tenaga kerja. Itu menunjukkan betapa timpangnya ekonomi penyangga bagi tenaga kerja kita.

Cek Artikel:  Ampun Enggan, Mundur tak Hendak

Pada satu dekade lalu, kontribusi sektor pertanian terhadap PDB nasional masih 21%. Tetapi, kini, porsi pertanian terhadap PDB nasional tinggal 18,6%. Sektor manufaktur sami mawon. Sepuluh tahun lalu, sektor itu masih berkontribusi hampir 15% terhadap PDB nasional. Kini, kontribusinya ambles menjadi 11,8%.

Situasi itu berbeda dengan sektor pertambangan. Sektor itu kini sanggup berkontribusi 11,9% terhadap PDB nasional karena booming harga komoditas. Padahal, satu dekade yang lalu, sektor pertambangan berkontribusi kurang dari 10% terhadap PDB.

Setelah melihat situasi itu, wajar belaka banyak yang mengkritik Indonesia seperti terjebak dalam ekonomi ekstraktif untuk mendapatkan pendapatan negara dan jadi modal pembangunan. Strategi warisan pemerintah kolonial Belanda itu, selain membuat lingkungan jadi rusak dan memicu konflik tenurial yang mengorbankan masyarakat adat dan komunitas lokal, juga membuat sektor pertanian dan manufaktur tergerus. Alhasil, ruang pekerjaan menyempit.

Hasil ekonomi ekstraktif ialah krisis iklim dan ruang lapangan kerja yang sempit. Ekonomi ekstraktif ialah jenis pembangunan ekonomi dengan jalan mengeruk sumber daya alam: tambang, lahan, kayu, dan laut. Ekonomi ekstraktif membuat negeri ini juga terus-terusan berada dalam jebakan pendapatan menengah selama tiga dekade.

Cek Artikel:  Mulanya Pikiran Bulus, Kini DPR Negarawan

Karena itu, ruang transformasi ekonomi mesti segera dibuka lebar. Kurangi kemanjaan terhadap ketergantungan atas komoditas. Lakukan kebijakan radikal yang lebih mendorong tumbuhnya sektor pertanian dan manufaktur dengan beragam teknologinya. Kalau sekadar mengandalkan komoditas, apa bedanya pemerintahan saat ini dengan pemerintahan 30 tahun lalu?

Tugas pemangku jabatan ialah merumuskan masa depan agar anak-anak negeri ini punya mimpi indah. Bukan mengalir tak tentu arah. Seperti lagu Doris Day Que Sera Sera yang penggalan liriknya: ‘I asked my mother, what will I be. Here’s what she said to me. Que sera, sera whatever will be, will be. The future’s not ours to see (Diriku bertanya kepada ibuku, akan jadi apa aku kelak. Ibuku berkata, apa pun yang kan terjadi, terjadilah. Kita tak tahu yang kan terjadi di masa depan)’.

Mungkin Anda Menyukai