BANYAK ahli yang menyebut dua pilpres terakhir sebagai ajang menguatnya kembali polarisasi ideologi lawas antara Islamis versus nasionalis. Polarisasi politik yang membelah sejak 2014 ini betul-betul mengagetkan banyak pihak. Karena, konsensus ilmiah selama ini mengatakan bahwa Indonesia memiliki identitas partisan yang lemah, partai politik yang cenderung kolusif dan nir-ideologis, serta dominasi ketokohan dalam fitur politik, yang akan mencegah munculnya polarisasi yang dalam.
Tetapi, rentetan peristiwa jelang 2019 menunjukkan makin meningkatnya peran kebencian terhadap agama dan etnik dalam opini publik (Mietzner dan Muhtadi, 2019), maraknya klaim politik identitas (Tapsell, 2021), dan misinformasi (Mujani dan Kuipers, 2020). Pertanyaannya, apakah polarisasi ini akan tetap mewarnai politik di Indonesia pasca-2019?
Kepada menjawab pertanyaan ini, kami melakukan survei nasional jelang Pemilu 2019 terhadap 1.520 responden untuk menguji hubungan antara polarisasi dan ketidaksukaan (resentment). Kami menggunakan teori resentment (Kinder dan Sanders 1996)—keyakinan bahwa kelompok lain dianggap tidak layak mendapat keistimewaan dengan mengorbankan yang lain—dan mengadaptasikannya dalam konteks Indonesia.
Teori resentment ini membantu kita menjawab pertanyaan mengapa polarisasi menguat di negara seperti Indonesia yang memiliki tingkat kedekatan terhadap partai (party ID) yang rendah, di mana perilaku politik partai tidak ditentukan oleh perbedaan ideologis, tapi lebih karena faktor perebutan akses ke kekuasaan.
Dengan menggabungkan aspek historis Indonesia dan keilmuan kontemporer, kami mengembangkan indeks psikometri untuk mengukur empat jenis ketidaksukaan yang mencakup ketidaksukaan (resentment) pertama, terhadap minoritas nonmuslim; kedua, terhadap etnik Tionghoa; ketiga, terhadap Jawa; dan keempat, terhadap daerah lain. Taatp dimensi ketidaksukaan ini mencakup beberapa pertanyaan dalam skala tingkat persetujuan dalam lima tingkat.
Ketidaksukaan terhadap nonmuslim diukur oleh penilaian responden terhadap dominasi politik dan ekonomi mereka. Resentment terhadap Tionghoa diukur oleh seberapa setuju bahwa etnik ini mendapat keuntungan dibanding suku lain dan prasangka terhadap Tionghoa. Pertanyaan kami tentang ketidaksukaan terhadap Jawa mencakup aspek politik, budaya, dan agama. Jadi, selain ketidaksukaan terhadap Jawa pada tataran struktural dan kultural, kami juga menanyakan pendapat responden mengenai Islam Jawa. Pertanyaan kebencian regional mengadaptasi pertanyaan serupa tentang kebencian regional yang telah digunakan dalam studi kasus di Amerika Perkumpulan.
Total, ada 19 pertanyaan dalam survei nasional yang membentuk indeks resentment. Sebagai langkah awal, kami melakukan uji validitas terhadap keempat dimensi resentment di atas. Hasilnya, terbukti bahwa ketidaksukaan terhadap Jawa jauh lebih besar di kalangan orang luar Jawa dibanding orang Jawa sendiri. Demikian pula, ketidaksukaan terhadap Tionghoa terutama datang dari kalangan etnik non-Tionghoa. Setelah itu, kami menguji apakah indeks resentment di atas berhubungan dengan preferensi politik pada Pilpres 2019 atau tidak.
Resentment dan dukungan politik
Seperti terlihat dalam grafik, kami menemukan bahwa ketidaksukaan (resentment) sangat bisa menjelaskan preferensi politik seorang
warga. Semakin tinggi tingkat ketidaksukaan terhadap nonmuslim, Jawa, dan etnik Tionghoa, maka probabilitas memilih Prabowo Subianto menjadi tinggi. Bahkan, kami juga menemukan hubungan positif dan signifikan antara resentment dan dukungan kepada partai-partai oposisi pada 2019: semakin besar sentimen negatif terhadap nonmuslim, Tionghoa, dan Jawa, semakin meningkat intensi memilih Gerindra, PKS, PAN, dan Demokrat.
Hasil ini tetap berlaku bahkan setelah kami kontrol dengan variabel agama, suku, usia, pendapatan, tingkat pendidikan, dan provinsi tempat tinggal responden. Kami menemukan bahwa kebencian regional kurang kuat dalam memprediksi pilihan suara dibanding tiga dimensi resentment yang lain, meskipun masih cukup prediktif.
Dari mana datangnya sikap ketidaksukaan ini? Literatur dalam studi kebencian dan polarisasi politik selama ini mengatakan, hubungan antara tingkat pendapatan dan kemarahan politik (Runciman, 1972). Wilson (2017), misalnya, berargumen bahwa mobilisasi agama dan etnik pada Pilkada Jakarta yang lalu tidak bisa dilepaskan dari faktor kelas yang dipicu oleh kebijakan penggusuran Ahok terhadap kawasan kumuh di Jakarta. Tetapi, kami tidak menemukan hubungan linier yang kuat: ketika tingkat pendapatan meningkat, tidak lantas mengurangi skor kebencian terhadap nonmuslim, etnik Tionghoa dan regional.
Dengan kata lain, kebencian terhadap nonmuslim, Tionghoa, dan daerah tidak berkorelasi dengan tingkat pendapatan. Pengecualian hanya terjadi pada dimensi ketidaksukaan terhadap Jawa, di mana semakin tinggi tingkat pendapatan seorang warga, maka semakin menurun tingkat kebencian terhadap Jawa.
Kalau faktor pendapatan kurang bisa menjelaskan resentment, lantas sejauh mana media sosial mengobarkan kemarahan politik? Kepada menjawab itu, pertama-tama kami membandingkan resentment berdasarkan tingkat penggunaan media sosial, terutama empat platform media sosial yang paling banyak digunakan di Indonesia.
Hasilnya, hubungan antara penggunaan media sosial dan kebencian bervariasi, tergantung dimensi resentment yang dipakai. Misalnya, ada hubungan positif yang kuat antara meningkatnya penggunaan Facebook, Instagram, Whatsapp, dan Youtube dan kebencian anti-Tionghoa. Dengan kata lain, media sosial bertanggung jawab atas maraknya narasi dan mobilisasi anti-Tionghoa. Sementara hubungan penggunaan media sosial dengan skor kebencian terhadap Jawa, nonmuslim atau regional bersifat tidak konsisten.
Intervensi utama dari studi-studi sebelumnya mengatakan bahwa Front Pembela Islam (FPI) memainkan peran utama dalam mobilisasi tahun 2017 bersama dengan organisasi Islamis lainnya (Mietzner, Muhtadi, dan Halida 2018). Studi kami ini mengonfirmasi riset sebelumnya bahwa tingkat kebencian anggota FPI terhadap Tionghoa, nonmuslim, dan regional lebih tinggi daripada rata-rata nasional.
Tingkat ketidaksukaan terhadap Jawa lebih tinggi di kalangan anggota forum kesukuan dan jemaat gereja—kelompok yang memiliki anggota yang sebagian besar tinggal di luar Jawa. Keanggotaan dalam ormas NU dan Muhammadiyah memiliki tingkat kebencian yang kurang lebih sama dengan rata-rata nasional.
Terakhir, kami menguji sejauh mana variabel usia berhubungan dengan indeks resentment. Kalau kebencian terhadap kelompok sosial yang lain terkonsentrasi di kalangan anak muda, alarm harus segera dibunyikan. Karena, generasi muda yang akan melanjutkan kepemimpinan bangsa dan mereka tumbuh menjadi populasi pemilih terbesar nantinya. Sayangnya, studi kami menemukan bahwa semakin muda usia responden semakin tinggi tingkat ketidaksukaan terhadap agama lain.
Memang, ketidaksukaan yang tinggi terhadap agama lain, juga kami temukan di kalangan pemilih yang berusia di atas 70 tahun. Ini membantu menjelaskan mengapa dalam model linier, usia tidak terkait kuat dengan kebencian agama responden termuda dan tertua memiliki tingkat kebencian yang sama. Tetapi, temuan yang menunjukkan tren ketidaksukaan terhadap pemeluk agama lain yang meningkat di kalangan generasi muda merupakan lonceng peringatan yang berbahaya karena mengganggu masa depan kebinekaan Indonesia.
Sesuai ekspektasi, studi kami menemukan bahwa kebencian terhadap Jawa jauh lebih banyak ditemukan di kalangan pemilih tua ketimbang anak muda. Hal ini menunjukkan bahwa sikap anti-Jawa bersifat laten sebagai akibat dari warisan konflik masa lalu, dan karenanya sentimen tersebut hanya berkembang di kalangan pemilih yang sudah senior. Terkait dengan sentimen anti-Tionghoa, meskipun konflik seputar ini merupakan warisan perseteruan masa lalu, riset kami menunjukkan bahwa kelompok termuda yang paling mungkin memiliki pandangan anti-Tionghoa.
Eksis dua alasan untuk menjelaskan ini. Pertama, periode di mana responden muda tersosialisasi dengan politik masa kini, diwarnai oleh maraknya teori konspirasi dan narasi anti-Tionghoa dan Republik Tiongkok. Yang kedua adalah bahwa kalangan muda inilah yang memiliki exposure terbesar ke media sosial, di mana narasi anti-Tionghoa ditemukan berlimpah.
Alarm berbahaya
Studi ini telah menunjukkan bahwa narasi kebencian terhadap kelompok sosial lain memiliki ‘pangsa pasar’ di kalangan warga tertentu. Sentimen negatif terhadap Jawa masih hidup di masyarakat, terutama di kalangan pemilih tua. Kami juga telah menunjukkan bahwa pemilih muda secara umum lebih resentful dibanding pemilih tua (kecuali untuk dimensi ketidaksukaan terhadap Jawa). Hal ini adalah lonceng berbahaya karena menunjukkan bahwa satu dekade terakhir, yang diwarnai polarisasi politik yang tinggi dalam fitur elektoral kita, telah berdampak negatif terhadap generasi muda.
Masalahnya adalah banyak politisi yang berpikir jangka pendek tanpa menghitung efek jangka panjang jika mereka menggunakan sentimen negatif di atas sebagai bahan bakar meraup dukungan suara. Ironisnya, studi ini juga menemukan korelasi antara tingkat kebencian terhadap kelompok sosial tertentu dan dukungan politik, baik dalam pilpres maupun pemilihan legislatif. Intervensi ini membuktikan bahwa polarisasi partisan tidak sekadar bersifat temporer, tapi berakar pada pembelahan sosial yang sudah berlangsung lama dan permanen.
Dengan demikian, polarisasi politik akan terus mewarnai politik elektoral kita ke depan. Masuknya Prabowo dan Gerindra ke dalam pemerintahan Jokowi beberapa waktu lalu tidak secara otomatis menghilangkan residu polarisasi pasca-pemilu. Dengan kata lain, polarisasi akan berlanjut meskipun Jokowi dan Prabowo tidak lagi bertarung di Pemilu 2024.
Oleh karena itu, semua pihak harus menghentikan eksperimen berbahaya yang menjadikan kebencian berbasis SARA sebagai amunisi untuk meraup dukungan elektoral. Pemerintah juga harus mengurangi kebijakan atau tindakan yang justru makin memicu polarisasi politik di tengah masyarakat.
Pendekatan institusi juga bisa dilakukan dengan menurunkan syarat pencalonan presiden dan wakil presiden serta kepala daerah yang
terlalu tinggi. Kalau syarat maju dalam dalam pilpres atau pilkada terlalu tinggi, akan memicu munculnya dua paslon, yang akan meningkatkan tensi politik dan polarisasi.
Ketika kompetisi elektoral hanya diikuti oleh dua paslon, maka kemungkinan tiap-tiap kubu akan mengeksploitasi sentimen primordial, yang pada ujungnya akan membahayakan konstruksi kebinekaan kita sebagai bangsa.