Resah Menyongsong Pemilihan Biasa

PEMILIHAN Biasa 2024 memasuki tahapan penting. Hari ini Komisi Pemilihan Biasa RI akan menetapkan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden.

Enggak ada kejutan atau suasana harap-harap cemas tentang siapa saja yang ditetapkan karena ini hanya meresmikan tiga pasangan calon yang sudah disebut KPU lolos verifikasi. Sekadar seremoni.

Meski begitu, progres hajatan demokrasi tampaknya semakin kuat memancing ungkapan keresahan sejumlah tokoh dan elite politik. Pada Sabtu (11/11), Ketua Biasa Partai NasDem Surya Paloh menilai bangsa ini berada di ujung tanduk dengan menghadapi kerusakan paling meresahkan sepanjang kehidupan berbangsa dan bernegara.

“Negara mengalami penurunan derajat kewibawaan pada tingkat yang paling rendah,” kata Surya dalam pidato pembukaan Hari Ulang Mengertin (HUT) Ke-12 Partai NasDem.

Surya mengemukakan masyarakat dipertontonkan perilaku negara dan aparaturnya yang melayani kepentingan kelompok tertentu. Buntutnya, lahir ketidakpercayaan sosial.

Cek Artikel:  Melawan Kecurangan dengan Hak Angket

Surya tidak sendirian merasa resah. Kemarin, mantan Menteri Religi Lukman Hakim Saifuddin, Budayawan Goenawan Mohamad, dan tokoh agama Benny Susetyo atau Romo Benny, menyambangi kediaman Kiai Ahmad Mustofa Bisri alias Gus Mus, di Rembang, Jawa Tengah.

Para tokoh nasional itu mengemukakan betapa tatanan negara telah mengalami kerusakan. Kondisi politik sedang tidak baik-baik saja bahkan sudah melenceng dari nilai-nilai luhur bangsa. Sejalan dengan keresahan Surya, Goenawan menilai kepercayaan saat ini sangat tipis yang disebabkan banyaknya kebohongan yang dilontarkan Presiden dan orang-orang terdekatnya.

Ungkapan keresahan juga dinyatakan Ketua Biasa PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri melalui pidato virtualnya, kemarin. Ia mengatakan berbagai manipulasi hukum kembali terjadi akibat praktik kekuasaan yang telah mengabaikan kebenaran hakiki hukum. Dengan adanya praktik tersebut, Megawati menilai kecurangan pemilu sudah dimulai.

Cek Artikel:  MA Kubur Mimpi Moeldoko

Rasa resah para tokoh nasional dan elite politik tersebut tidak bisa dimungkiri mencerminkan kecemasan publik. Masyarakat menyaksikan bagaimana anak dan mantu Presiden Jokowi mendapatkan karpet merah ke kursi-kursi kekuasaan.

Yang paling mengusik ketika sang putra mahkota Gibran Rakabuming Raka melenggang ke ajang pilpres dengan jalan yang tercipta oleh tangan Om Anwar Usman, Ketua Mahkamah Konstitusi. Sang Om terbukti melakukan pelanggaran berat kode etik, tetapi pencawapresan Gibran tetap sah.

Dengan orkestrasi politik yang mengandalkan segala cara, akankah pemilu Februari mendatang berjalan tanpa kecurangan? Wajar bila kemudian muncul kekhawatiran masih akan banyak cawe-cawe Presiden dan jajarannya. Hal itu mengingat segala manipulasi yang dijalankan tujuannya tentu untuk memenangkan Gibran yang dipasangkan dengan Prabowo Subianto.

Dalam ungkapan keresahan setiap tokoh selalu diselipkan pesan agar penguasa kembali ke rel demokrasi yang sehat, jujur, dan adil sebagaimana amanat Pasal 22E ayat 1 UUD 1945. Presiden Jokowi masih punya waktu untuk memperbaiki kesemrawutan politik dan hukum di sisa kekuasaannya.

Cek Artikel:  Bencana Tersebab Ulah Mahluk

Selama 9 tahun pemerintahannya, Presiden Jokowi telah menorehkan prestasi pembangunan yang luar biasa untuk kemajuan bangsa. Jangan sampai ternodai oleh nafsu kekuasaan dengan ngotot memperjuangkan kemenangan anak tercintanya tanpa peduli menabrak moral dan etika, hingga mengobrak-abrik hukum.

Kita berharap Presiden Jokowi mewariskan legasi yang akan dikenang sepanjang masa dan membanggakan bagi generasi penerus bangsa untuk menyongsong Indonesia maju, berdaulat, bermartabat, adil, dan makmur.

Dari pemilu ke pemilu bangsa ini seharusnya semakin dewasa berpolitik. Bukan politik kekanak-kanakan yang mengedepankan kepentingan anak dari pada kepentingan bangsa dan negara.

 

Mungkin Anda Menyukai