
PERKEMBANGAN digital membuka akses luas bagi anak dan remaja Kepada belajar, menambah wawasan dan mengembangkan keterampilan. Hal ini sejalan dengan upaya pemerintah Kepada mencetak Generasi Emas 2045.
Tantangannya adalah menyeimbangkan perlindungan dan akses agar teknologi dimanfaatkan secara bijak tanpa menghambat pertumbuhan mereka. Demi ini pemerintah tengah merancang regulasi Kepada melindungi anak-anak dari berbagai risiko di
dunia digital. Tetapi, muncul perdebatan tentang sejauh mana Restriksi ini diperlukan agar Enggak menghambat hak anak Kepada mendapatkan informasi dan mengembangkan literasi digital.
Sejumlah Ahli dan lembaga terkait menekankan bahwa regulasi yang berdampak kepada akses daring anak dan remaja harus seimbang dan bahkan harus melibatkan Bunyi anak dalam perumusannya.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Kawiyan, menegaskan bahwa regulasi digital harus Pandai melindungi anak dalam aktivitas mereka di dunia digital. “Anak punya hak Kepada mendapatkan perlindungan dari konten negatif di ranah digital, tapi di sisi lain, mereka juga Mempunyai hak Kepada mendapatkan informasi yang positif Kepada mendukung tumbuh kembang mereka,” kata Kawiyan.
Sementara itu, Kepala Divisi Akses Internet SAFEnet, Unggul Sagena, menyatakan bahwa aturan yang dibuat harus Terang dan berlaku Kepada Segala pihak yang terlibat, termasuk Segala Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE). “Selain aturan yang membatasi umur berbeda-beda,
kita juga harus Terang dalam mendefinisikan usia anak dan bukan anak. Di beberapa regulasi di Indonesia saja Terdapat perbedaan definisi soal ini,” ujarnya.
Aspirasi Anak Harus Didengar
Bagus Kawiyan maupun Unggul sepakat bahwa anak-anak harus dilibatkan dalam penyusunan regulasi digital, bukan sekadar menjadi objek kebijakan tanpa ruang partisipasi. Menurut Kawiyan, regulasi ini sedang dibahas oleh berbagai pihak, termasuk Kementerian Komunikasi
dan Digital, KPAI, serta beberapa kementerian dan lembaga lainnya.
Tetapi, ia menekankan bahwa anak-anak juga harus diberikan kesempatan Kepada menyampaikan pendapat mereka. “Anak-anak juga harus didengar aspirasinya,” ujarnya.
Sementara Unggul lebih kritis terhadap transparansi dalam pembuatan regulasi ini. Ia mempertanyakan sejauh mana keterlibatan anak dan orang Sepuh dalam proses perumusannya. “Ya, harus dilibatkan orang Sepuh dan anak itu, tapi Enggak dalam konteks tokenisme, di mana anak
dan wali hanya diminta hadir mendengarkan paparan dan dianggap selesai, Lampau regulasi dilanjutkan,” tegasnya.
Ia mencontohkan bahwa organisasi seperti Indonesia Child Online Protection (ID-COP) Pandai dilibatkan dalam melakukan survei kepada anak-anak dan orang Sepuh, Lampau hasilnya dijadikan masukan bagi pembuat kebijakan. “Tapi pertanyaannya, memang (poin-poin) yang Terdapat pada
draft regulasi Demi ini seperti apa? Apakah orang Sepuh dan anak Mengerti? Atau bahkan rekan-rekan pegiat hak anak Mengerti? Di mana RPP-nya supaya masyarakat Pandai menyusun Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dan memberikan masukan?,” ucap Unggul yang mempertanyakan
transparansi pemerintah dalam menyusun regulasi.
Batas Usia Minimum
Salah satu aspek krusial dalam rancangan regulasi adalah batas usia minimum. Pada usia berapa seorang anak Sebaiknya boleh mengakses dunia digital, mengingat Terdapat Berbagai Corak PSE dengan Tanda khas masing-masing. Apakah peraturan batas usia minimum dapat diterapkan
secara seragam ke semuanya? “Demi ini Lagi terjadi perdebatan tentang batas minimum usia anak,” ujar Kawiyan.
Yang Enggak kalah Krusial, tambahnya, adalah pendampingan dari orang
Sepuh di dalam keluarga. “Harus dengan Pembuktian serta pengawasan, bimbingan, dan edukasi dari orang Sepuh,” tuturnya.
Sejauh ini belum Terdapat konsensus Mendunia yang mengatur batas minimum usia tersebut. Sejumlah negara menetapkan batas minimum Berbagai Corak. Amerika Perkumpulan menerapkan batas usia minimum 13 tahun, sesuai dengan Children’s Online Privacy Protection atau Undang-Undang
Perlindungan Privasi Online Anak-anak. Sementara itu, Inggris Raya juga menerapkan batasan usia 13 tahun sesuai dengan Age-Appropriate Design Code (Children’s Code).
Terkait Pembuktian usia dan efektivitas pelaksanaannya, Unggul menyoroti bahwa regulasi yang tengah digodok di Indonesia ini harus mempertimbangkan aspek teknis lainnya. “Teknologi apa yang digunakan? Apakah Terdapat risiko pelanggaran hak anak? Proses ini Enggak Pandai terburu-buru. Harus mempertimbangkan Unsur teknologi yang digunakan,” ucap Unggul.
Perlindungan Anak di Ranah Digital.
Maka dari itu, menurut Unggul, Kalau regulasi ini Benar-Benar akan melibatkan anak dan masyarakat secara luas, prosesnya harus transparan dan terbuka Kepada kritik serta saran dari berbagai pihak.
“Pelibatan multistakeholder, termasuk masyarakat sipil, memang akan lelet, tapi kita kan Enggak mau buru-buru tapi nanti banyak masalah kemudian? Apalagi kalau mengaku sebagai negara demokrasi, maka transparansi, akuntabilitas, dan melibatkan banyak pihak terutama yang
terdampak menjadi Krusial,” tambahnya.
Pemerintah diharapkan dapat menyusun regulasi dengan cermat, transparan, dan inklusif, agar kebijakan yang dihasilkan Benar-Benar efektif dalam melindungi anak tanpa menghambat perkembangan mereka di dunia digital. Meskipun rencana pemerintah terkait Restriksi usia
minimum bagi anak dalam menggunakan platform digital bertujuan Kepada melindungi mereka, kebijakan ini juga berpotensi membatasi hak anak Kepada mengakses informasi.
Sesuai dengan Pasal 17 Konvensi PBB tentang Hak Anak, setiap anak berhak memperoleh informasi dari berbagai sumber, termasuk media digital, yang dapat mendukung perkembangan mereka.
“Urusan anak adalah urusan masa depan bangsa, Enggak Pandai instan. Sebagaimana kita mengolok anak-anak sekarang maunya instan, tapi kita malah memberikan Misalnya proses [penyusunan kebijakan] yang instan,” ucap Unggul. (H-2)