Regulasi Batasi Hasrat Presiden

REGULASI selalu terlambat mengantisipasi perkembangan zaman. Undang-Undang Nomor 7/2017 tentang Pemilu termasuk regulasi yang tidak mampu menjangkau realitas politik terkini.

Realitas politik saat ini ialah putra sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka, menjadi calon wakil pesiden mendampingi calon presiden Prabowo Subianto. Fakta lainnya ialah Presiden Jokowi menyampaikan bahwa presiden dan menteri boleh berkampanye dan memihak saat pemilu. Presiden menyampaikan hal itu saat berada di Pangkalan TNI-AU Halim Perdanakusuma, Jakarta, Rabu (24/1).

Pembuat undang-undang tampaknya larut dalam tradisi politik yang baik selama ini. Tradisi dimaksud ialah presiden yang sedang menjabat dan tidak ikut dalam kontestasi pilpres, tidak tergoda untuk mengampanyekan salah satu pasangan capres-cawapres.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan contoh yang baik pada Pilpres 2014. Ketika itu, partai yang diketuai SBY mendukung capres-cawapres Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Posisi Hatta saat itu ialah besan SBY.

Selama masa kampanye Pilpres 2014, SBY sama sekali tidak ikut kampanye untuk Prabowo-Hatta. Ia hanya berkampanye untuk partai yang dipimpinnya, Partai Demokrat, setelah mengajukan cuti.

UU Pemilu memang membolehkan presiden untuk berkampanye asalkan tidak menggunakan fasilitas dalam jabatannya dan menjalani cuti di luar tanggungan negara. Dengan demikian, seandainya Presiden Jokowi berkampanye, ia tidak menggunakan fasilitas dalam jabatannya, dan menjalani cuti di luar tanggungan negara.

Cek Artikel:  Dokter di Balik Harga Obat Mahal

Persoalan lain muncul. Bagaimana kalau presiden yang sedang menjabat berkampanye untuk anaknya? UU Pemilu sama sekali tidak mengatur soal itu. Kagak ada pengaturan soal kampanye pilpres yang diikuti kerabat presiden berdasarkan hubungan darah, ikatan perkawinan, dan/atau garis keturunan.

Pasal 282 UU Pemilu hanya mengatur pejabat negara (termasuk presiden di dalamnya), pejabat struktural, dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri, serta kepala desa dilarang membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilu selama masa kampanye.

Selanjutnya, Pasal 299 ayat (1) UU Pemilu menyebutkan presiden dan wakil presiden mempunyai hak melaksanakan kampanye. Sama sekali tidak ada pengaturan terkait dengan boleh tidaknya presiden berkampanye untuk anaknya. Pasal itu sedang diujikan di Mahkamah Konstitusi oleh advokat bernama Gugum Ridho Putra.

Dalam petitumnya, pemohon meminta MK memaknai Pasal 299 ayat (1) menjadi berbunyi, “Presiden dan wakil presiden mempunyai hak melaksanakan kampanye sepanjang tidak terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan pasangan calon, calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, serta tidak memiliki potensi konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak jabatan masing-masing.”

Cek Artikel:  Makan Bergizi Gratis

Presiden berkampanye, dengan sejumlah pembatasan dalam UU Pemilu, belumlah cukup. Terdapat persoalan serius terkait dengan kepatutan dan etika karena susah memisahkan antara jabatan presiden dan pribadinya. Apalagi, masih berlaku hingga saat ini Ketetapan MPR Nomor XI 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Kampanye presiden untuk anaknya akan menimbulkan dugaan nepotisme.

Eloknya, agar tidak larut dalam kepentingan pribadi atau kelompoknya, perlu dibuatkan batasan dalam norma-norma hukum yang lugas dan rasional. Perlu segera dibuatkan Undang-Undang Lembaga Kepresidenan. Perlu diatur secara jelas posisi presiden sebagai kepala negara, kepala pemerintahan, kader partai, atau pribadi. Hasrat presiden harus dibatasi undang-undang.

Cek Artikel:  Amplop Merah di Rumah Ibadah

Sejak Indonesia merdeka, pengaturan lembaga kepresidenan masih tersebar di beberapa peraturan perundang-undangan, termasuk UU Pemilu. Loyalp undang-undang terkait dengan lembaga kepresiden ditafsirkan secara berbeda-beda sesuai kepentingan.

DPR pada 2001 sempat mengusulkan RUU Kepresidenan. Pada saat itu sedang berlangsung amendemen pertama UUD 1945 sehingga pembahasannya tertunda dan terlupakan sampai saat ini.

Draf RUU Lembaga Kepresidenan yang disiapkan DPR pada 2001 sudah mengatur sejumlah larangan bagi presiden dan wapres. Di antaranya larangan melakukan kegiatan bisnis langsung atau tidak langsung, dan larangan memberikan kemudahan bisnis untuk keluarganya.

Mestinya, perlu juga diatur larangan presiden untuk berkampanye bagi anggota keluarganya. Embargo itu sangat masuk akal karena

presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan ikut bertanggung jawab atas penyelenggaraan pemilu yang langsung, umum, bebas, dan rahasia, serta jujur, dan adil.

Apabila presiden tidak dilarang berkampanye bagi anggota keluarganya, dikhawatirkan terbuka lebar celah penyalahgunaan kekuasaan. Segala cara bisa dipakai untuk memuluskan dinasti politik. Hanya UU Lembaga Kepresidenan yang mampu membatasi hasrat presiden untuk menerabas etika dan perundang-undangan.

Mungkin Anda Menyukai