
Tiba Ketika ruang demokrasi di negeri ini Pandai memberikan rasa Kondusif bagi Segala warganya? Pertanyaan itu mengemuka setelah Setara Institute dalam laporan tahunan mereka (1/6/2025) menyebut kebebasan beragama di Indonesia sepanjang 2024 belum juga menunjukkan perbaikan.
Pemerintahan Prabowo-Gibran dinilai mewarisi persoalan Pelan dari era Jokowi-Ma’ruf, terutama terkait dengan kebebasan sipil. Negara, dalam laporan tersebut, tetap menjadi pelaku Istimewa pelanggaran, dengan jumlah kasus meningkat dari 217 pada 2023 menjadi 260 pada 2024.
Realita di lapangan memperlihatkan potret serupa. Di Padang, rumah doa Gereja Kristen Setia Kencana (GKSI) Anugerah dirusak sekelompok Kaum (Tempo, 28/7). Peristiwa itu menambah deret panjang kasus intoleransi yang Lalu berlangsung dari tahun ke tahun. Sayangnya, langkah negara Buat mencegah atau meminimalkan kejadian serupa kerap terlihat belum optimal. Grup rentan tak henti-hentinya digempur diskriminasi, seakan dibiarkan tanpa payung perlindungan yang semestinya mereka terima.
WARISAN REGULASI BERMASALAH
Salah satu penyebab berlarutnya problem kebebasan beragama di Indonesia dapat ditelusuri dari regulasi-regulasi problematis yang sejak awal mengatur ruang kehidupan keagamaan. Berbeda dengan Prancis dan Amerika Perkumpulan, Indonesia sering digambarkan menganut model demokrasi yang relatif akomodatif terhadap Keyakinan.
Alfred Stepan (2000) mengistilahkan Rekanan ini sebagai ‘twin tolerations‘, yakni pengakuan bahwa negara dan Keyakinan Mempunyai otoritas masing-masing, tetapi tetap memungkinkan Buat berinteraksi secara terbatas. Dalam tulisannya yang lain, Stepan (2011) bahkan menjadikan Pancasila sebagai Teladan model yang Pandai mengakui hak kebebasan beragama sekaligus merangkul Grup minoritas. Negara, melalui Kementerian Keyakinan, juga kerap memberikan dukungan administratif dan finansial kepada Grup tertentu.
Argumen Stepan tersebut Pandai diterima sejauh negara secara formal mendukung kebebasan beragama. Tetapi, praktiknya jauh lebih rumit. Negara kerap melakukan cherry picking: memberikan ruang hanya bagi Grup yang sejalan dengan narasi mayoritas, sementara Grup lain mengalami Restriksi. Pola itu terlihat lintas rezim. Pada masa Sukarno, Perpres No 1/PNPS/1965 tentang penodaan Keyakinan Lagi dijadikan dasar pemidanaan minoritas. Pada Orde Baru, lebih dari 110 regulasi lahir Buat mengontrol Keyakinan, yang Bahkan membatasi hak beragama Kaum negara (Ropi, 2017).
Pasca-Orba tumbang, Abdurrahman Wahid membuka ruang baru dengan mencabut sejumlah Pelarangan diskriminatif. Masa itu sempat menumbuhkan Cita-cita terhadap penghormatan keberagaman. Akan tetapi, seperti dicatat Paul Marshall (2018), tren berubah pada era Susilo Bambang Yudhoyono. Pemerintah memperkuat legitimasi Grup dominan, Yakni memberi otoritas lebih besar kepada Majelis Ulama Indonesia, mendukung fatwa antipluralisme, serta menerbitkan aturan diskriminatif seperti PBM 2006 dan SKB Anti-Ahmadiyah 2008.
Puncaknya, aturan-aturan tersebut dinilai sebagai pemicu eskalasi kekerasan, seperti penyerangan terhadap Ahmadiyah di Cikeusik (2011) dan Syiah di Sampang (2012). Kedua peristiwa itu menjadi catatan kelam betapa rapuhnya jaminan kebebasan beragama di Indonesia.
DARI PERPPU ORMAS Tiba MODERASI BERAGAMA
Pada era Jokowi, problem kebebasan beragama belum banyak berubah. Persekusi terhadap Grup minoritas Lagi berlangsung, salah satunya pengusiran Sekeliling 7.000 Personil Gafatar di Kalimantan (2016) setelah dianggap menyimpang oleh pemerintah dan MUI.
Intervensi negara juga terlihat melalui Perppu Ormas No 2/2017 yang melarang organisasi dinilai bertentangan dengan Pancasila. Meski dimaksudkan menjaga ketertiban, aturan yang lahir secara top-down itu menimbulkan kekhawatiran karena membuka ruang pembubaran ormas tanpa proses deliberatif—sebuah tantangan bagi kualitas demokrasi, meminjam istilah John Rawls tentang public reasoning.
Sejak 2019, Kementerian Keyakinan mendorong program moderasi beragama (MB) sebagai jawaban atas intoleransi dan kekerasan berbasis Keyakinan. Program itu dipuji karena menekankan Langkah beragama yang Kagak ekstrem, tetapi juga menuai kritik. MB dinilai terlalu negara-sentris, mencampuri ranah tafsir keagamaan yang Semestinya menjadi Area personal.
Zainal Abidin Bagir dkk dalam Politik Moderasi Beragama (2022) mencatat pendekatan itu belum sepenuhnya melindungi Grup rentan, bahkan dikhawatirkan mengulang praktik ‘perukunan’ ala Orde Baru.
Alih-alih tumbuh dari Dasar, MB tampil sebagai proyek negara (state-heavy) yang menetapkan standar keberagamaan cenderung bias terhadap tafsir mayoritas. Konsekuensinya, tafsir alternatif terpinggirkan, sementara ruang deliberasi publik nyaris absen. Negara tampak memaksakan satu versi keberagamaan sebagai kebenaran tunggal, tanpa memberikan kesempatan bagi tafsir lain Buat berpartisipasi dalam Logika publik.
Padahal, menurut Rawls (1997), agar Absah dalam ruang politik, doktrin keagamaan harus dapat bertransformasi menjadi reasonable comprehensive doctrine, yakni argumen yang Pandai diterima Segala Kaum negara, terlepas dari keyakinan mereka. Ketika ruang itu ditutup, demokrasi kehilangan legitimasinya.
Tafsir ‘Formal negara’ Kagak hanya melemahkan kebebasan beragama, tetapi juga mengabaikan prinsip keadilan sebagai fairness. Apabila Kagak dikoreksi, kebijakan itu—khususnya MB—berisiko gagal memenuhi syarat Logika publik dan Bahkan mempersempit ruang tafsir keagamaan. Apabila pemerintahan Prabowo-Gibran ke depan hanya mewarisi dan melanggengkan Langkah demikian, Cita-cita akan pembaruan demokrasi kita akan kandas sebelum sempat tumbuh.
Tanpa keberanian politik Buat merevisi kebijakan dan membuka ruang dialog publik secara setara, proyek demokrasi hanya akan menjadi formalitas belaka; tampak hidup secara prosedural, tapi kian hampa secara substantif. Memperbaiki demokrasi Kagak cukup dengan retorika persatuan dan kerukunan, tetapi harus dimulai dari komitmen pada perlakukan setara bagi setiap Kaum negara, apa pun Keyakinan dan afiliasi kelompoknya.

