Regresi Judicial Leadership MK

Regresi Judicial Leadership MK
(Dok. FH UII)

MAJELIS Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) pada hari ini dijadwalkan memutus dugaan skandal etik dan moralitas pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas usia minimum calon presiden dan wakil presiden. Dari 18 laporan yang diadukan, Ketua MK Anwar Usman (AU) tercatat paling banyak menerima aduan dari masyarakat.

Sungguh ironis, memang, Ketua MK diduga terlibat skandal conflict of interest (CoI) terhadap penentuan batas minimum usia calon wakil presiden Gibran Rakabuming yang saat ini telah diajukan sebagai pendamping Prabowo Subianto pada kontestasi pemilu di trimester awal 2024. Sebagai Ketua MK, AU diduga terlibat konflik kepentingan dan turut serta memberikan pengaruh pada pengambilan di rapat permusyawaratan hakim (RPH) sehingga berdampak pada konklusi putusan yang dibacakan pada sore itu.  

 

AU & judicial leadership

Dua puluh tahun silam, MK dibentuk dengan imajinasi yang besar. Bahkan dalam memorie van toelechting, seluruh fraksi saat itu sepakat bahwa hakim-hakim konstitusi ialah para negarawan yang diharapkan justru menjaga konstitusi kelak dari ancaman tirani kekuasaan.

Istilah negarawan yang disematkan sebagai syarat untuk menjadi hakim konstitusi dalam Undang-Undang Dasar (UUD) memiliki tiga konsekuensi besar. Pertama, hakim konstitusi dalam memeriksa dan mengadili perkara wajib mengesampingkan kepentingan yang bersifat sektoral seperti preferensi politik, agama, ras, atau etnik tertentu. 

Cek Artikel:  Pemilu dan Pengerdilan Intelektualitas

Kedua, hakim konstitusi dapat bersikap independen dan imparsial agar putusannya akuntabel atau dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan asas hukum dan konvensi ketatanegaraan. 

Ketiga, tentu ialah hal paling penting, mengingat para hakim konstitusi diusung lembaga politik di antaranya presiden, DPR, dan Mahkamah Mulia (MA), ketika disumpah dan ditetapkan sebagai hakim konstitusi, loyalitas terhadap partai atau lembaga pengusul dengan sendirinya terputus. Sebagai negarawan, hakim-hakim tunduk terhadap prinsip-prinsip hukum dan konstitusi.

Sayangnya imajinasi yang besar itu tidak cukup terlihat gagah pada kepemimpinan AU. Studi Stefanus Hendrianto (2018) lima tahun lalu cukup memvisualisasikan kondisi MK saat ini. Metode mahkamah dalam menafsirkan konstitusi tampaknya cukup bergantung pada keberanian dan independensi hakim-hakim dalam memutus perkara, khususnya yang berkaitan dengan kepentingan kekuasaan.

Demikian halnya studi Roux (2018) menunjukkan 10 tahun berdirinya MK, peran kepemimpinan Jimly Asshiddiqie berhasil membangun citra mahkamah yang kuat dan responsif. Salah satunya dipengaruhi dengan kualitas kepemimpinan (leadership). Bahkan studi Dixon (Rosalind Dixon: 2022) menyatakan putusan-putusan responsif dalam judicial review

sangat ditentukan dengan figur Ketua MK.

Semakin independen ia maka akan menghasilkan putusan-putusan strategis yang akuntabel. Kepemimpinan Jimly Asshiddiqie meninggalkan legasi yang sangat kuat terhadap fondasi kehormatan institusi MK. Kepemimpinan Ketua MK akan sangat berpengaruh pada independensi lembaga dan anggota hakim konstitusi lainnya.

Ironis, memang, sebab di era kepemimpinan AU mahkamah terlihat membuka jalan kematian mereka sendiri. Eksis tiga sikap kepemimpinan AU yang sama sekali tidak memperlihatkan sikap leadership sebagai pucuk pimpinan MK dalam menjaga kehormatan institusinya.  Pertama, kita bisa berkaca pada peristiwa perusakan independensi jabatan hakim yang dilakukan pemerintah terhadap Aswanto. Peran ketua sama sekali tidak terlihat dalam menjaga kemerdekaan independensi kelembagaan dan jabatan hakim-hakim konstitusi.

Dalam momen krusial seperti itu, AU bisa melakukan komunikasi politik secara kelembagaan dengan pemerintah, untuk menegaskan bahwa melakukan re-call

hakim di tengah masa jabatan hakim konstitusi merupakan tindakan inkonstitusional. Sikap militansi itu sama sekali tidak terlihat di pucuk pimpinan mahkamah sehingga institusi MK dijadikan sebagai komoditas politik yang sama sekali tidak dapat dibenarkan.

Kedua, imbas perusakan itu semakin menebalkan ketidakpercayaan publik terhadap MK. Ketika hakim pengganti Aswanto, Guntur Hamzah, terbukti melakukan skandal terhadap perubahan frasa di dalam salinan putusan Mahkamah Konstitusi. Pada poin ini Ketua MK tidak bisa dimaknai hanya sebagai simbol kepemimpinan, tetapi juga memerankan fungsi pengawasan terhadap hakim anggota dan kepaniteraan untuk memastikan putusan yang dibacakan kepada publik benar-benar dapat dipertanggungjawabkan.

Ketiga, dalam permohonan usia capres dan cawapres, AU diduga terlibat dalam skandal konflik kepentingan. UU Kekuasaan Kehakiman pada dasarnya menyediakan hak ingkar dengan hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan jika memiliki kepentingan langsung atau tidak langsung terhadap perkara yang sedang diperiksa.

 

Momentum MKMK

Bentangan empiri di atas sekali lagi menegaskan bahwa kita akan berada pada satu titik persepsi kesimpulan, bahwa pemulihan mahkamah perlu dilakukan dengan cara-cara cepat dan terukur. MKMK yang dinakhodai Jimly Asshiddiqie seharusnya bisa menjadi momentum perbaikan kepemimpinan dan kelembagaan MK.

Dengan melihat peran MK yang begitu strategis, putusan MKMK diharapkan mampu memulihkan citra dan kehormatan MK di hadapan publik. Termasuk juga mempertimbangkan alternatif sanksi berat kepada pihak-pihak yang terbukti dalam dugaan skandal konflik kepentingan pada putusan minimum usia capres dan cawapres.

Mungkin Anda Menyukai