Regenerasi Petani Wafat Suri

ORANG kerap bicara tentang hikmah di balik musibah. Saya kira ada benarnya. Termasuk, hikmah di balik musibah naiknya harga beras dan harga pangan lainnya, akhir-akhir ini. Niscaya ada hikmah atau pelajaran yang bisa dipetik dari kemelut meroketnya harga itu.

Salah satu pelajaran penting ialah negeri agraris ini terlalu lama abai terhadap sektor pertanian. Bukti jelasnya, sudah satu dekade terakhir, pertumbuhan sektor pertanian secara nasional nyaris tidak pernah mampu mendekati pertumbuhan ekonomi nasional. Kalaupun pernah menyalip, itu disebabkan ada ‘kecelakaan’ bernama pandemi covid-19 yang membuat ekonomi tumbuh minus, sedangkan pertanian tetap plus.

Begitu pandemi berakhir, era ‘normal’ kembali terjadi, yakni sektor pertanian selalu kedodoran mengikuti pertumbuhan ekonomi. Ketika ekonomi nasional tumbuh 5,05% tahun lalu, misalnya, sektor pertanian secara nasional cuma mampu tumbuh 1,3%. Eksis ketimpangan, ada jurang yang menganga. Wajar bila jurang itu berimbas pada kian porak-porandanya manajemen perberasan kita.

Hikmah lainnya, kini kita kembali menemukan gairah untuk berbicara tentang urgensi regenerasi petani. Berbagai analisis menunjukkan bahwa menjadi petani saat ini bukan pilihan terbaik bagi banyak orang. Kalau ada pekerjaan yang lebih baik, banyak petani pasti lebih memilih bekerja di sektor lain itu.

Cek Artikel:  Timbunan Kegelisahan

Kok, bisa begitu? Jawabnya, bisa saja. Buat apa bertahan dan bergelut di lahan pertanian bila tidak menguntungkan? Sudah merogoh modal serupa pedagang, hasilnya jauh api dari panggang.

Petani perlu lahan yang kini harga sewanya sudah tinggi. Belum lagi biaya operasi buat pupuk dan ongkos kerja. Hanya mengandalkan pupuk bersubsidi, hasil panen pasti tidak memadai sebab pupuknya kurang. Mau beli pupuk nonsubsidi, kantong petani teramat tipis untuk menebus harganya.

Karena itu, yang bertahan tinggallah petani-petani berumur, yang mengolah lahan pertanian karena terpaksa. Terpaksa bekerja daripada menganggur walau gagal makmur. Ketika ini, berdasarkan analisis Golongan Tani dan Nelayan Andalan, hampir 60% masyarakat berprofesi sebagai petani padi karena memang tidak ada pilihan.

Selain itu, banyak generasi muda tidak melirik profesi pertanian karena tidak menguntungkan. Meski harga beras saat ini naik, misalnya, para petani belum bisa mendapat untung karena mereka baru memasuki musim tanam. Diperkirakan, pertanian mulai memasuki masa panen pada akhir Maret atau awal April. Tetapi, harga beras bisa jadi sudah turun saat musim panen tiba.

Cek Artikel:  Jokowi dan George Washington

Pada kondisi seperti ini, orang pun menagih janji keberpihakan pemerintah kepada petani. Karena keberpihakan yang tidak kunjung datang itu, petani padi seperti sedang menghitung hari untuk ‘mati’ karena sudah tidak punya harapan lagi. Kagak ada program yang jelas-jelas menguntungkan petani. Ketika jorjoran dana bansos, tempo hari, cuma secuil yang dipakai untuk tambahan subsidi pupuk. Padahal, bila sebagian anggaran bansos yang lebih dari Rp490 triliun itu dipakai untuk menambah subsidi pupuk, petani bakal bangkit.

Dengan pupuk yang kurang, produktivitas padi akan mentok di sekitar 5 ton per hektare. Amat sulit bagi kita untuk mengejar produktivitas padi seperti negara tetangga, Thailand dan Vietnam, yang sanggup menghasilkan panen hingga 10 ton per hektare. Ketika El Nino menyergap, ketika produksi padi kita tiarap hingga minus, baik Thailand maupun Vietnam tetap surplus.

Cek Artikel:  Kepala Daerah Tukang Stempel

Karena itu, jangan banyak berkhayal meraih swasembada beras dalam kurun lama bila regenerasi petani padi mandek akibat nihilnya keberpihakan. Dulu, di zaman Presiden Soeharto, negeri ini bisa swasembada beras karena penduduknya hanya 155 juta dan lahan pertanian luas. Sekarang, jumlah penduduk nyaris dua kali lipat, luas sawah semakin berkurang.

Ketika lahan semakin sempit, pertanian tidak memberikan jaminan kesejahteraan, regenerasi petani bakal terus bergerak seperti siput. Kalau begini terus, hidup, bagi petani, hanyalah hari-hari menunda kekalahan. Bahkan, bisa juga kematian seperti selalu siap menyergap setiap saat.

Karena itu, barangkali menjadi petani, apalagi petani kecil, sudah bukan lagi cita-cita yang agung dan menarik seperti judul lagu karya Ebiet G Ade. Penyanyi kelahiran Banjarnegara, Jawa Tengah, itu pada 1980 pernah merilis lagu yang diberi judul Cita-Cita Kecil si Anak Desa, saat bermimpi meraih kesejahteraan dan kedamaian sebagai petani. Juga, tidak relevan lagi lagu Ebiet yang lain, Doa Sepasang Petani Muda, karena sudah tidak ditemukan lagi petani muda sebab regenerasi petani mati suri.

Mungkin Anda Menyukai