Rasuah Timah

BERLIMPAHNYA sumber daya alam di Indonesia tentu pada akhirnya akan habis juga. Bagus itu sumber daya kebumian beserta flora dan fauna di atasnya maupun juga sumber daya kelautan dan sumber daya lainnya.

Yang tidak ada habis-habisnya di bumi Indonesia ialah kasus korupsi. Ditangkap satu koruptor, tumbuh seribu koruptor. Regenerasi koruptor terus berjalan. Pola-pola, modus, dan sandi praktik rasuah terus berkreasi untuk menyiasati aparat penegak hukum (APH).

Secanggih apa pun jurus mencoleng uang negara, di tangan APH yang berkompeten, profesional, dan independen, bukan perkara sulit untuk membongkar dan membuktikannya di meja hijau. Affirmanti non neganti incumbit probatio.

Berbeda jika kasus hukum berkelindan dengan orang dekat kekuasaan atau berada dalam lingkar kekuasaan, pergerakan APH akan melingkar-lingkar pula, berputar-putar, hanya mengulur waktu sampai media lelah memburunya karena jawaban APH selalu normatif bahwa kasusnya masih dalam proses hukum atau pendalaman.

Selain memberikan jawaban normatif, sang penegak hukum juga bilang, “Lebih baik membebaskan seribu orang yang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah.” Memang benar, siapa pun yang waras dan punya hati nurani sepakat dengan adagium hukum itu.

Cek Artikel:  Kemerdekaan dan Peradaban

Tetapi, strategi mengulur waktu dari penegak hukum apabila kasus terkait dengan kekuasaan bukan perkara baru. Pada akhirnya, kasus itu lenyap dari muka bumi bukan karena dihentikan penyelidikan atau penyidikannya secara hukum, melainkan hilang dengan sendirinya tersapu oleh angin politik. Padahal, justice delay, justice denied. Keadilan yang tertunda sama halnya dengan menyangkal keadilan.

Publik terus dikejutkan dengan kasus-kasus korupsi di Tanah Air dengan potensi atau nilai kerugian negara yang fantastis alias megakorupsi. Sebelumnya, kita terkejut dengan kasus bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Dalam kasus yang terjadi pada 1997-1998, pemerintah memutuskan untuk memberikan bantuan likuiditas Bank Indonesia terhadap korporasi atau perseorangan karena badai krisis moneter melanda Indonesia. BLBI diberikan sebesar Rp147,7 triliun kepada 48 bank. Penanganan kasus BLBI yang dimulai sejak 2000 terseok-seok. Satgas Penanganan Hak Tagih Negara aset eks BLBI bak macan ompong.

Kini, publik dikejutkan kasus dugaan tindak pidana korupsi tata niaga komoditas timah wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah Tbk periode 2015-2022. Kerugian perekonomian negara atas kerusakan lingkungan dalam kasus itu mencapai Rp271,06 triliun. Kasus itu ditangani Kejaksaan Akbar.

Cek Artikel:  Ambang Bimbang Masuk Senayan

Kerugian itu berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 7 Pahamn 2014 tentang Kerugian Lingkungan Hidup akibat Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup. Itu belum kerugian negara yang sekarang sedang dihitung Badan Pemeriksa Keuangan.

Kejagung menetapkan 16 tersangka. Dua tersangka terakhir ialah pesohor ‘crazy rich dari PIK’ Helena Lim dan suami aktris Sandra Dewi, Harvey Moeis. Dalam penggeledahan di kediaman Helena Lim, petugas Kejagung menyita Rp10 miliar.

Patgulipat bisnis pertambangan timah di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, menurut seorang kawan yang dekat elite di Babel, berjalan sudah lama. Setidaknya satu dekade. Eksis ‘orang-orang kuat’ di belakang layar yang mengendalikan bisnis pertimahan di daerah tersebut. Mereka yang ditetapkan sebagai tersangka diduga ialah aktor-aktor lapangan, belum menyentuh aktor intelektual yang mampu bergerak di segala lini.

Melenggangnya bisnis haram timah di Babel melahirkan banyak pertanyaan, ke mana otoritas perizinan, pengawasan, dan penegakan hukum, baik level daerah maupun pusat.

Cek Artikel:  Nathan, Hereenveen, dan Netizen

Tetapi, tak ada kata terlambat untuk melakukan perbaikan (taubatan nasuha). Terkuaknya kasus rasuah bisnis timah menjadi momentum membongkar mafia sumber daya alam lainnya.

Sejak berdirinya Komisi Pemberantasan Korupsi, sektor SDA masuk skala priotas. Lembaga antirasuah itu menginisiasi Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam Indonesia (GNP-SDA) sejak 2009 dengan menggandeng kementerian/lembaga. Tetapi, seiring dengan berjalan waktu, gerakan nasional itu semakin redup ditelan kasus-kasus korupsi di sektor SDA.

Pemerintah harus benar-benar hadir menjaga SDA sesuai dengan Pasal 33 yang berbunyi, ‘Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat’.

Pemerintahan Joko Widodo beserta aparatur di bawahnya harus berkomitmen menjaga anugerah besar Sang Khalik itu. Aparatur pemerintah jangan ‘pagar makan tanaman’. Etika pemerintahan dan etika lingkungan laksana dua sisi mata uang. Saling melengkapi dan menguatkan.

Korupsi SDA ialah korupsi masa depan Indonesia. Berbagi waktu dengan alam, kata Soe Hok Gie, kau akan tahu siapa dirimu yang sebenarnya. Tabik!

Mungkin Anda Menyukai