Rasisme di Negeri Para Nabi

Rasisme di Negeri Para Nabi
Hisnindarsyah(Dok pribadi)

PALESTINA, sebuah negara dengan wilayah yang tengah diperebutkan dengan Israel, keberadaannya memiliki sejarah panjang. Mulai dari penamaan wilayah tersebut sebagai Yudea Palestina pada zaman pendudukan Romawi, kolonialisasi Inggris, hingga perampasan wilayah secara bertahap dalam perang tak berkesudahan di antara Palestina dan Israel.

Label ‘tanah yang dijanjikan’ menjadi alasan perebutan wilayah yang pada masa klasik 2.500 tahun sebelum masehi, merupakan bagian tepi barat dari wilayah Ardhui Kan’an.

Area Ardhu Kan’an dulunya didiami oleh keturunan Nabi Nuh AS, yaitu dari garis keturunan Ham bin Nuh, nenek moyang dari bangsa Afrika. Keturunan Nabi Nuh AS yang lain adalah Sam yang menjadi nenek moyang bangsa Arab serta Yafet yang menjadi nenek moyang bangsa Romawi.

Dari keturunan Sam terlahir para nabi yang dikenal di dalam kitab suci agama samawi, mulai dari Ibrahim AS, Ishaaq AS hingga Isa AS, dan Ismail AS hingga Muhammad SAW. Nama Israel sendiri berasal dari gelar Nabi Yaqub, yang merupakan keturunan Ishaaq, yang berarti hamba Allah.

Ardhu Kan’an meliputi wilayah Syam yang subur, yang terbagi menjadi beberapa wilayah; al-Lubnan (Lebanon), al-Urdun (Yordania), Suriah, dan Filistin (Palestina). Nama Ardhu Kan’an kemudian diganti menjadi Filistin pada saat pendudukan bangsa Romawi, yang kemudian diserap ke bahasa Inggris menjadi Palestine (Indonesia: Palestina) pada masa kolonialisasi Inggris.

Cek Artikel:  Menahan Laju Kemunduran Demokrasi

Dari sejarah itu bisa dipahami bahwa wilayah Ardhu Kan’an yang kemudian berganti nama menjadi Palestina, merupakan tanah air dari bangsa Arab keturunan Sam dan Ham.

Penjajahan dan diskriminasi berkepanjangan

Kolonialisasi Inggris, pascajatuhnya kekhalifahan Utsmaniyah (Ottoman) mengeluarkan mandat untuk memberikan wilayah Palestina ke Zionis Yahudi secara bertahap. Kemudian menyematkan nama negara Israel kepada wilayah tersebut.

Eksodus bangsa Yahudi terjadi ke wilayah baru bernama Israel ini, yang berkaitan erat dengan insiden holocaust oleh Nazi pada Perang Dunia II. Demi menciptakan suatu negara baru, Zionis Yahudi tidak enggan mengorbankan saudara seimannya yang bermukim di Jerman sebagai ancaman untuk segera mempercepat pendudukan wilayah.

Bukan itu saja, Zionis Yahudi juga melakukan invasi-invasi pada rakyat sipil Palestina dalam bentuk teror penembakan rumah-rumah ibadah pada saat ibadah sedang berlangsung. Hal ini tentu saja membangkitkan keinginan untuk membela diri dan tanah air yang sudah mereka diami secara turun temurun.

Meskipun negara Palestina akhirnya berdiri pada 15 November 1988 dan pada 2023 ini sudah mendapatkan legalitas secara de jure dan de facto dari 71,5% negara-negara anggota PBB (138 negara dari 198 negara), tetap saja teror tentara Zionis Yahudi terus dilakukan.

Cek Artikel:  Ramadan dan Nyepi Dua Tradisi Satu Esensi

Hal ini bahkan memunculkan kecaman dari seorang penulis dan wartawan Israel, Gideon Levy. Dia menyatakan bahwa perlakuan bangsa Israel yang pro Zionis Yahudi terhadap bangsa Palestina, sesungguhnya adalah politik apartheid yaitu diskriminasi berdasarkan ras atau rasisme ekstrem.

Perilaku itu tak ubahnya perilaku para anggota Ku Klux Klan terhadap imigran kulit hitam yang berlangsung selama berpuluh tahun di Amerika Perkumpulan di masa lalu. Bahkan jejaknya masih terasa hingga sekarang dengan slogan white supremacy.

Para pelaku rasisme ini seolah tidak pernah menyadari bahwa sesungguhnya merekalah pendatang yang memorakporandakan suatu wilayah dan dan kedamaian di muka bumi. Misalnya nyata, kedatangan para imigran Inggris ke wilayah Amerika dengan melakukan pembantaian pada warga Indian.

Belum lagi segala bentuk kolonialisasi di berbagai belahan dunia, yang mana para pelakunya merasa sebagai pembawa peradaban (civilization) bagi wilayah yang mereka pikir tidak berbudaya.

Peranan Indonesia

Indonesia sebagai negara yang memiliki prinsip kedamaian dalam hubungan antarnegara, baik bilateral maupun multilateral, seyogyanya memiliki peranan penting dalam menghentikan bencana kemanusiaan ini. Terlebih lagi, Indonesia adalah salah satu anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB, yang sejatinya merupakan instansi garda terdepan dalam menjaga kedamaian dan keamanan antar negara.

Cek Artikel:  Menghidupkan Alarm Demokrasi

Kita seharusnya memiliki suara yang lantang untuk memaksa PBB berlaku adil pada setiap invasi antarnegara. Kemudian mengatur bahwa setiap pelakunya akan mendapatkan teguran hingga hukuman, bila merusak kedamaian antarnegara atau melakukan invasi ke negara lain.

Menlu Retno Marsudi dalam KTT ASEAN-GCC menyatakan kesepakatan dengan negara-negara ASEAN untuk memaksa gencatan senjata antara Palestina dan Israel, dan sementara itu melanjutkan pemberian bantuan kemanusiaan serta evakuasi warga asing.

Beliau juga menegaskan bahwa akar permasalahan konflik Palestina-Israel ini adalah mengenai invasi ilegal oleh Israel ke wilayah Palestina, yang ditingkahi dengan pelbagai teror dan perang bersenjata.

Indonesia kiranya dapat membawa bantuan secara resmi dari seluruh rakyat Indonesia, yang pada saat kemerdekaan di 1945 Indonesia  mendapatkan dukungan penuh dari rakyat Palestina. Sudah saatnya kita membalas dukungan tersebut demi eksistensi Palestina yang utuh.

Sudah semestinya kita mengejawantahkan pernyataan dasar kita dalam pembukaan UUD 1945, ‘bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan oleh karenanya penjajahan di atas dunia harus dihapuskan’.

Mungkin Anda Menyukai