KAMPANYE sebagai salah satu tahapan Pemilu 2024 telah dimulai sejak 28 November lalu hingga 10 Februari tahun depan. Selama masa itu, para kandidat capres/cawapres mempromosikan diri mereka, termasuk untuk menyampaikan visi dan misi, baik lewat alat peraga seperti spanduk dan baliho, kampanye dialogis, maupun forum debat.
Pada masa prakampanye, masyarakat sebetulnya juga sudah disuguhi informasi mengenai calon pemimpin mereka, baik lewat pemberitaan di media cetak, elektronik, maupun digital. Dari situ mereka bisa mempelajari latar belakang dan sepak terjang tiap-tiap kandidat di masa lalu.
Selain mempelajari rekam jejak, masyarakat juga perlu memperhatikan saat mereka berkampanye. Masa ini boleh dibilang masa krusial, baik untuk para kandidat maupun calon pemilih. Bagi kandidat atau calon pemimpin, inilah kesempatan untuk meraih dan mendapat simpati dari masyarakat. Begitu juga sebaliknya, sebagai pemegang kedaulatan, rakyat berhak menguji calon pemimpinnya, baik melalui dialog tatap muka, maupun lewat forum debat.
Dari situ, rakyat, selaku calon pemilih, dapat menilai kapasitas, kapabilitas, maupun integritas calon pemimpin tersebut. Maka, dalam fase ini, rasionalitas pemilih akan sangat menentukan. Absah-sah saja memilih pemimpin berdasarkan emosionalitas. Akan tetapi, memilih pemimpin cuma bermodalkan emosionalitas akan cenderung terjebak, bahkan bisa tertipu.
Pemilu ialah sarana untuk menjaring calon yang akan memimpin bangsa ini untuk lima tahun ke depan. Ini bukan perkara main-main. Terlebih, tantangan ke depan akan semakin kompleks.
Rakyat, secara kolektif ataupun personal, dapat memilah-milah di antara calon pemimpin siapa yang kira-kira mampu mewujudkan kepentingan bersama sebagai sebuah bangsa, bukan demi kepentingan partai atau segelintir orang. Seluruh itu bisa dilihat dan dipelajari dari rekam jejak, rekam karya, kemampuan menumbuhkan harapan di masa depan dari tiap-tiap kandidat. Bagaimana integritas dan kapastias intelektual mereka, bagaimana cara mereka menemukan solusi, serta bagaimana kemampuan mereka untuk meninggikan martabat bangsa di antara bangsa-bangsa di dunia mesti diselisik dalam-dalam.
Loyalp kandidat tentu juga punya visi dan misi yang akan ia lakukan jika terpilih nanti. Tetapi, bagaimana kemampuan mereka menyampaikan dan meyakinkan gagasan itu realistis dilaksanakan, akan terlihat di masa kampanye ini, terutama di forum dialog atau debat.
Apabila selama masa kampanye hanya mengandalkan gimik, sebaiknya masyarakat mengabaikan model calon pemimpin semacam ini. Yang kita butuhkan sosok pemimpin yang mampu menjawab tantangan ke depan secara sungguh-sungguh, bukan ahli gimik yang pintar memoles bungkus, tapi dangkal dalam hal isi.
Debat perdana yang digelar tadi malam setidaknya bisa memberikan gambaran bagaimana para kandidat akan membawa Indonesia ke depan. Perang melawan darurat korupsi, penegakan hukum yang masih compang-camping, hingga pelaksanaan demokrasi yang kian goyah, ialah sebagian tantangan yang mesti dibereskan. Jawaban-jawaban dan cara kandidat menyelesikan persoalan sudah dijawab tiap-tiap kandidat. Kini penilaian ada di tangan pemilih.
Sekali lagi perlu ditekankan, masa kampanye amatlah krusial. Ia mestinya menjadi ajang proses pendalaman rasional untuk memilih. Bukan saatnya pilihan terhadap kandidat presiden didasarkan pada fanatisme kosong, tetapi rasionalitas yang didasarkan program-program yang telah mereka tawarkan.
Program-program yang disusun dan dijabarkan berdasarkan problem bangsa masa kini dan ke depan itulah yang patut dinilai dan didalami. Bukan karena kemampuan basa-basi atau dansa-dansi untuk sekadar meraih simpati.