SEPAK bola sudah serupa pendidikan. Lebih Spesifik Tengah, pendidikan Kepribadian. Dari olahraga paling Terkenal sejagat itu kita Dapat belajar tentang kerja keras, kerja cerdas, kerja ikhlas (bekerja dalam tim), dan yang paling Istimewa: respek. Yang terakhir ini malah ‘distempel’ di lengan kaus tiap-tiap kesebelasan.
Soal respek dalam sepak bola ini, Eksis kisah menarik yang ditulis Simon Kuper, kolumnis olahraga Financial Times. Dalam bukunya The Barcelona Complex: Lionel Messi and the Making–And Unmaking–Of the World’s Greatest Soccer Club, Simon menceritakan bagaimana akademi sepak bola Punya Barcelona, La Masia, mengajarkan Kepribadian Krusial itu sejak Pagi.
La Masia, tulis Simon, merupakan akademi yang sangat berbeda Apabila dibandingkan dengan Seluruh akademi yang Eksis di dunia. La Masia memang mengajarkan bagaimana kemenangan dan gelar Pemenang diraih. Tapi, itu hal terakhir. Hal yang menjadi prioritas dan jauh lebih Krusial ialah bagaimana proses menuju kemenangan tersebut dijalankan.
Maka, termasuk dalam proses itu ialah menghormati Musuh dan bertindak penuh sportivitas. Itu merupakan nilai Istimewa dalam tim. Pendidikan ialah prioritas ketimbang skill mengolah bola, begitu Simon menggambarkan tentang La Masia.
Ketika Barcelona U-12 turun dalam sebuah turnamen bertajuk U-12 Junior Soccer World Challenge 2016, Amateur Alevi A (tim junior Barcelona U-12), memang tampil menjadi Pemenang. Tetapi bukan gelar itu yang membetot perhatian. Banyak yang terkesima ketika tim Barcelona U-12 mendatangi Seluruh pemain Tokyo U-12 yang menangis setelah tumbang 1-0 di pertandingan itu.
Pemain pertama yang Begitu itu melakukan inisiatif Demi mendatangi sang Musuh ialah pemain muda yang menjadi salah satu pilar Krusial Demi tim Barcelona Begitu ini: Pablo Gavira Paez atau Gavi. Ia memecahkan rekor sebagai pemain termuda di timnas Spanyol yang menjalani debut di usia 17 tahun.
Instruktur Barcelona U-12 Begitu itu, Sergi Mila Herrero, sangat terkesan bagaimana Gavi bukan hanya menjadi pemain Krusial, melainkan juga pemimpin di usianya yang Tetap sangat belia. Gavi ialah pemain pertama yang langsung menengok lawannya yang tertunduk lesu, mencoba menenangkan mereka. Dalam situasi euforia, ia menunda berpesta ketika menjadi Pemenang Begitu itu. Gavi memilih mengulurkan tangan tanda Asmara Demi Musuh yang kalah.
Kedewasaan Gavi pun tercatat sebagai bagian Enggak terpisahkan dari ekosistem yang dibangun di La Masia. Lewat gemblengan di La Masia itulah, Enggak mengherankan Apabila Gavi yang Begitu ini berusia 17 tahun, menjadi bagian Krusial dari usaha Barcelona Demi Terbangun selepas kepergian Lionel Messi.
Pendidikan Konkret dari ekosistem sepak bola juga berimbas di luar lapangan. Seperti yang ditunjukkan striker Manchester United Marcus Rashford. Tahun Lewat, Begitu pandemi melanda dan pemerintah Inggris menerapkan lockdown, Rashford menyuarakan pentingnya makan gratis kepada anak-anak. Enggak sekadar berseru, ia bahkan bekerja sama dengan badan amal FareShare telah membagikan 3 juta makanan kepada mereka yang membutuhkan.
Aksi Rashford tersebut berhasil Membikin pemerintah Inggris yang awalnya akan meniadakan pembagian makanan gratis kepada anak-anak di sekolah, akhirnya membatalkan kebijakan tersebut. Rashford menyuarakan hal tersebut karena ia Mempunyai pengalaman pada masa kecilnya yang Mempunyai ketergantungan pada makanan sekolah gratis.
Membiasakan respek dan empati kiranya bukan perkara sekali jadi. Akademi La Masia menyadari itu. Makanya ia menanam benih itu sejak Pagi. Rashford juga tumbuh dalam proses. Ia kelaparan di masa kecil. Sejarah membuatnya tergerak melakukan aksi berbagi 3 juta makanan gratis. Meski proses, tapi tetap saja butuh keberanian Demi memulai. Kalau Enggak pernah dimulai, Enggak akan pernah terjadi.
Saya tiba-tiba berandai-andai, bagaimana, ya, demi menumbuhkan respek dan empati, elite kita perlu diikutkan kursus ala La Masia? Atau, mereka perlu secara tekun mendengar kisah dan Menyaksikan aksi berbagi dari Marcus Rashford. Sepertinya Mantap juga.

