BEBERAPA kisah getir mampir di gawai saya. Seorang Mitra menuliskan cerita tentang pekerja rumah tangga (dulu disebut pembantu rumah tangga, tapi disingkat sama: PRT) yang rebah dan kalah diimpit covid-19.
Kisah pertama datang dari PRT bernama Leni, 38. Sejak awal pandemi covid melanda Indonesia, Leni yang Begitu itu tengah mengandung empat bulan diberhentikan tiba-tiba oleh majikannya yang berasal dari Tiongkok (seorang ekspatriat). Sang majikan khawatir Leni akan menularkan covid-19.
Cerita getir juga dialami Susi, 33, yang tinggal di Pondok Melati, Bekasi. Ia yang bekerja Separuh hari (pukul 05.30 hingga pukul 12.00 WIB) di rumah majikannya diberhentikan Asal Mula yang sama. Sang majikan khawatir dia membawa virus korona baru karena tiap hari masuk keluar rumah majikan.
Susi yang Mempunyai dua anak berumur 6 tahun dan 4 tahun Bukan Bisa berbuat apa-apa. Selama ini, dalam sebulan dia mendapat upah Rp2 juta. Sebagian dari penghasilannya itu, Rp750 ribu, digunakan Kepada membayar kontrakan. Sebagian Tengah Kepada kebutuhan hidup sehari-hari.
Suaminya sopir angkutan kota, tapi sudah beberapa waktu Bukan bekerja Tengah. Praktis, Susi jadi lokomotif keluarga itu. Begitu diberhentikan, lokomotif itu pun sontak berhenti. Gerbong keluarga itu juga Mandek seketika.
Begitulah fakta hidup seorang PRT. Ia dibutuhkan, tetapi keberadaannya tak pernah diakui. Meskipun pekerjaannya memberikan kontribusi besar bagi kehidupan dan keberlangsungan kehidupan rumah tangga, perannya sebagai pekerja perawatan hanya dipandang sebelah mata. Hingga kini statusnya sebagai pekerja belum mendapat pengakuan negara. Tak Terdapat undang-undang yang melindungi mereka.
Padahal, PRT merupakan salah satu pekerjaan tertua. Jumlahnya pun Bukan Bisa dipandang sebelah mata. Data International Labour Organization (ILO) pada 2015 menunjukkan terdapat 87 juta jiwa PRT di seluruh dunia. Di Indonesia, menurut data tersebut, jumlah PRT lebih dari 4 juta orang. Mayoritas PRT di Indonesia ialah Perempuan, yang merupakan tulang punggung keluarga. Sekeliling 30% di antaranya Tetap anak-anak.
Kendati pekerjaan mereka memenuhi sejumlah unsur pekerja, yakni mendapat upah, Terdapat perintah, Terdapat pekerjaan, dan pemberi kuasa, secara formal status mereka tak pernah diakui. Akibatnya, PRT Bukan pernah menikmati hak-hak normatif dan perlindungan sebagaimana diterima pekerja pada umumnya.
Pengecualian mereka dari UU Ketenagakerjaan dan jenis pekerjaan disebut informal Membangun kondisi PRT di kawasan Asia dan Pasifik, termasuk Indonesia, amat memprihatinkan. Mengutip laporan ILO bertajuk Making Decent Work a Reality for Domestic Workers: Progress and Prospects in Asia and the Pacific Ten Years after the Adoption of the Domestic Workers Convention, Juni 2021, diketahui mayoritas (61,5%) PRT di Asia dan Pasifik sepenuhnya terkecualikan dari cakupan undang-undang ketenagakerjaan nasional. Sebanyak 84,3% tetap berada di pekerjaan informal.
“Terdapat kebutuhan mendesak Kepada memformalisasikan pekerjaan rumah tangga di Asia-Pasifik, dimulai dengan memasukkan pekerjaan rumah tangga ke undang-undang dan jaminan sosial guna memastikan bahwa para pekerja yang sangat Krusial itu mendapatkan perlindungan dan rasa hormat yang layak mereka dapatkan,” kata Chihoko Asada Miyakawa, Asisten Direktur Jenderal dan Direktur Regional ILO Kepada Asia dan Pasifik, dalam laporan tersebut.
Filipina menjadi satu-satunya negara di Asia dan Pasifik yang telah meratifikasi Konvensi Pekerja Rumah Tangga 10 tahun sejak diadopsinya konvensi tersebut. Dampaknya, hak-hak PRT Filipina, Berkualitas yang bekerja di dalam negeri maupun yang menjadi pekerja rumah tangga migran di luar negeri, sangat terlindungi.
Data itu juga menunjukkan sebagian besar PRT di Asia-Pasifik Bukan Mempunyai batasan hukum tentang waktu kerja mereka (71%), atau berhak atas istirahat mingguan (64%) di Rendah undang-undang ketenagakerjaan Begitu ini. Laporan tersebut juga menemukan PRT biasanya memperoleh upah terendah di pasar tenaga kerja, terutama ketika mereka bekerja di sektor informal.
Di Indonesia, memang sudah Terdapat Permenaker Nomor 2 Tahun 2015 tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga. Tetapi, aturan itu bak Harimau ompong. Sama sekali Bukan ‘menggigit’ karena memang ompong meskipun Harimau. Kehadiran UU tentang PRT-lah yang sanggup memberi gigi Kepada Harimau ompong itu.
Sayangnya, perjalanan UU tentang PRT itu Tetap sangat jauh panggang dari api. Kendati sudah diusulkan sejak 2015 Kepada masuk program legislasi nasional di DPR periode 2015-2019, nyatanya hingga kini RUU itu Tetap sayup-sayup terdengar. Baru konsep. Belum Terdapat inisiatif. Padahal, Badan Legislasi (Baleg) DPR sudah mengesahkan RUU PPRT Kepada dibahas di rapat paripurna DPR sejak 2020.
Seorang Rekan, aktivis buruh migran, membisiki saya bahwa hanya Fraksi Partai NasDem yang paling getol Kepada mengegolkan RUU itu menjadi inisiatif DPR. Lainnya Tetap adem ayem, seolah Bukan Terdapat yang mengkhawatirkan nasib para PRT.
Dari mimbar ini saya Mau menyeru, segera buka lebar-lebar mata, hati, dan telinga para wakil rakyat Kepada Menyaksikan Fakta. Laporan ILO, kejadian Leni dan Susi, serta kepedihan jutaan PRT lainnya kiranya cukup sebagai genderang yang telah ditabuh bertalu-talu Kepada memperjuangkan nasib mereka, para PRT melalui perwujudan segera undang-undang.