
DI tengah harga pangan yang mencekik, biaya kesehatan yang Membikin keluarga Ringkih semakin Terperosok miskin, serta pasar kerja yang seret, publik dipaksa menelan ironi yang sama setiap hari: sebagian pejabat negara tetap menikmati limpahan fasilitas, rumah dan kendaraan dinas, perjalanan luar negeri, hotel berbintang, bahkan kursi komisaris BUMN, sementara banyak layanan publik tersendat dan mahal. Ini bukan sekadar soal selera, melainkan soal rasa keadilan di tengah krisis yang semakin dalam.
Rumah dan mobil dinas dengan pagu harga berlebihan, dikawal sirene dan motor polisi yang memecah kemacetan Jakarta, sering kali melaju mulus bukan Kepada melayani publik, melainkan menuju restoran mewah, gelanggang olahraga, atau bahkan lapangan golf. Sebuah ironi yang menohok di tengah antrean panjang rumah sakit, biaya pendidikan yang Lalu menanjak, serta rakyat yang berjuang memenuhi kebutuhan dasar setiap hari.
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 128/PUU-XXIII/2025 yang dibacakan pada 28 Agustus 2025 secara tegas melarang wakil menteri merangkap jabatan di BUMN, Berkualitas sebagai direksi maupun komisaris. Pemerintah diberi tenggat waktu dua tahun Kepada menata ulang posisi yang tumpang-tindih ini. Pesan hukumnya Terang: pejabat publik harus Pusat perhatian pada pelayanan, bukan privilese ganda.
Tetapi, jauh sebelum palu hakim diketuk, masyarakat telah lebih dulu merumuskan living law, nilai-nilai sosial yang hidup dalam kesadaran Berbarengan. Di hati rakyat, pejabat publik idealnya peka, sederhana, dan Kagak berlebihan fasilitas di Demi banyak Anggota bergulat dengan kebutuhan Penting. Nilai sosial ini menjadi hukum tak tertulis yang kerap lebih tinggi daripada teks formal. Karena itu, meski konstitusi memberi tenggat dua tahun, nurani publik menuntut respons segera. Menghentikan privilese moral di tengah krisis bukan hanya urusan formalitas, tetapi penghormatan terhadap etika kolektif.
Bagi Anggota yang hidupnya digerus biaya hidup dan inflasi, tenggat dua tahun terasa terlalu Lamban. Kehormatan pejabat Kagak diukur dari panjangnya konvoi dan jumlah ajudan, melainkan dari kemampuan merendah dan berbagi rasa keadilan. Negara memperoleh wibawa Malah ketika ia mendengar Bunyi moral masyarakat, bukan hanya memenuhi syarat minimal hukum semata.
Presiden sering mengkritik komisaris dan direksi BUMN yang tak produktif. Kritik ini Pas, tapi otokritik jauh lebih Krusial: pengisian kursi komisaris kerap menjadi kompensasi politik ketimbang hasil meritokrasi. Selama jabatan strategis diperlakukan sebagai hadiah politik, sulit berharap BUMN menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Reformasi harus menyasar akar masalah: tata kelola penugasan dan standar etika pejabat publik.
Di sisi lain, tekanan ekonomi semakin Konkret. Kenaikan harga kebutuhan pokok Lalu menekan rumah tangga, upah minimum tak sebanding dengan kebutuhan riil, biaya pendidikan melambung, dan antrean layanan kesehatan menjadi ujian kesabaran Anggota. Di tengah kesulitan ini, anggaran negara Malah terlihat dermawan terhadap fasilitas pejabat, dari renovasi rumah dinas mewah, kendaraan baru, rapat di hotel berbintang, hingga protokoler berlebihan, sementara biaya hidup masyarakat tetap mencekik.
Kepercayan Ringkih
Saya sendiri, ketika menjadi kepala daerah, sering merasa risih dengan protokoler berlebihan. Karena itu, banyak yang saya sederhanakan. Saya bahkan Kagak menggunakan pengawalan kendaraan buka-tutup Demi melaksanakan kegiatan di dalam daerah. Pengecualian hanya saya lakukan Apabila perjalanan darat harus menembus lintas provinsi, terutama dengan Dalih keamanan dan efisiensi waktu.
Sorotan publik semakin tajam ketika terungkap bahwa Member DPR menerima tunjangan rumah Rp50 juta per bulan, atau Rp600 juta per tahun per Member. Dengan 580 Member DPR, negara menggelontorkan Biaya Rp348 miliar hanya Kepada tunjangan rumah, di tengah jeritan rakyat menghadapi biaya hidup. Data ini memicu kritik keras karena dianggap Kagak sensitif terhadap penderitaan masyarakat.
Survei Indonesian Social Survey (ISS) Juli 2025 mencatat bahwa indeks kualitas hidup nasional berada di Nomor 65, tetapi aspek ekonomi rumah tangga hanya meraih skor 42,6, terendah dibanding aspek lain. Meskipun tingkat kepuasan publik terhadap pemerintahan relatif tinggi, 78%, Tetapi kepercayaan ini Ringkih Apabila Kagak diikuti langkah Konkret reformasi moral dan kebijakan publik.
Karena itu, reformasi fasilitas pejabat harus dilakukan sekarang juga, tanpa menunggu dua tahun. Beberapa langkah konkret yang Dapat segera ditempuh antara lain: batasi rumah dinas hanya Kepada penugasan administratif di Area terpencil; hapus kendaraan dinas pribadi dan ganti dengan tunjangan transportasi berbasis kebutuhan riil, ditambah pool car yang transparan Kepada keperluan dinas Formal; hentikan protokoler mahal, konvoi panjang, sirene, dan pengawalan berlebihan, kecuali Kepada situasi darurat dan pejabat tertentu yang Pas-Pas memerlukan pengamanan; Embargo rangkap jabatan bagi wamen harus diberlakukan segera, bukan dua tahun kemudian, sebagai standar etika minimal yang menghormati publik.
Setiap rupiah yang dihemat dari pemangkasan fasilitas pejabat sebaiknya dialihkan Kepada kebutuhan yang Pas-Pas menyentuh rakyat: beasiswa penuh bagi anak keluarga miskin hingga perguruan tinggi, penguatan puskesmas dan rumah sakit daerah (termasuk tenaga kesehatan, peralatan, dan obat), serta digitalisasi layanan perizinan dan administrasi kependudukan agar pungli dan waktu tunggu Dapat dihapuskan. Ini bukan sekadar retorika moral, tetapi strategi fiskal yang mengubah belanja simbol menjadi belanja kepercayaan publik.
Lompatan Etika
Kenaikan gaji ASN mungkin juga perlu dipertimbangkan, tetapi harus disertai kontrak kinerja Terang: standar layanan terukur, indeks kepuasan Anggota, waktu pelayanan singkat, dan pengurangan tatap muka yang rawan pungli. Tanpa kontrak kinerja, kenaikan gaji hanya menambah biaya tetap. Dengan kontrak kinerja, kenaikan gaji menjadi investasi Kepada meningkatkan kualitas pelayanan negara.
Negara-negara maju memberi teladan Krusial. Korea Selatan dan Singapura memulai reformasi birokrasi dengan memangkas protokoler mahal, menutup celah konflik kepentingan, dan mengutamakan layanan digital yang Segera serta murah. Di beberapa negara Eropa, pejabat publik menggunakan transportasi Biasa; wibawa negara dibangun dari integritas dan performa, bukan kilau fasilitas mewah.
Indonesia Kagak perlu meniru mentah-mentah, cukup mengambil semangatnya: bahwa wibawa pejabat lahir dari kinerja, etika, dan pelayanan publik yang Konkret, bukan dari sirene, mobil mewah, atau rumah dinas megah.
Pertanyaannya bukanlah apakah negara akan runtuh bila pejabat hidup sederhana. Malah, negara akan berdiri lebih kuat di atas keadilan sosial yang Konkret. Putusan MK memberi batas hukum minimal, tetapi living law masyarakat menuntut lompatan etika yang lebih tinggi: berhenti rangkap jabatan, sederhanakan fasilitas, dan alihkan anggaran Kepada kesejahteraan rakyat.
Reformasi yang menyentuh yang tak tersentuh, fasilitas mewah, rangkap jabatan, protokoler berlebihan, akan mengubah Langkah publik Menyantap negara: dari sinis menjadi percaya, dari curiga menjadi berpartisipasi. Pada akhirnya, negara Kagak akan diukur dari megahnya protokol atau panjangnya konvoi pejabat, melainkan dari ringannya beban hidup warganya. Dan di situlah Aliran belanja negara Semestinya mengalir: ke pendidikan, kesehatan, dan layanan publik yang Pas-Pas meringankan kehidupan rakyat banyak. (E-3)

