RAMADAN akan segera berakhir. Banyak kenangan pada bulan yang penuh keistimewaan ini. Bulan yang memiliki ganjaran yang berlipat sehingga apa pun kebaikan, terutama peribadatan yang dilakukan, bernilai pahala yang tinggi. Sebanyak 70 kali lipat.
Puasa Ramadan ialah ibadah yang unik. Puasa ialah ibadah yang sangat rahasia (sirriyah) karena yang mengetahui seseorang berpuasa atau tidak ialah orang yang bersangkutan dan Allah SWT. Berbeda dengan ibadah-ibadah lainnya, terlihat aktivitas fisik, seperti salat, zakat, dan menunaikan ibadah haji ke Tanah Kudus.
Ramadan ialah kawah candradimuka untuk mengasah diri. Puasa menguji kekuatan fisik dan mental. Ketahanan fisik sangat penting bagi manusia untuk menjalani kehidupan. Terlebih lagi kekuatan mental menjadi faktor determinan bagi seseorang apakah merasa kuat atau lemah.
Banyak orang mempunyai kekuatan fisik, gagah perkasa, tetapi ketika dihinggapi mental yang rapuh, akan lemah pula fisiknya. Tiba-tiba loyo, tak berdaya, ciut dan mundur dari gelanggang pertarungan.
Puasa Ramadan melatih mental yang kuat. Madrasah untuk melatih kejujuran (self–assesment) dan kesabaran. Proklamator Bung Hatta memandang sangat penting aspek kejujuran pada diri seseorang. Menurutnya, kurang cerdas dapat diperbaiki dengan belajar, kurang cakap dapat dihilangkan dengan pengalaman, tetapi tidak jujur sulit diperbaiki.
Munculnya kejujuran pada diri seseorang banyak dipengaruhi pendidikan di keluarga sejak kecil sehingga kejujuran menjadi habituasi dalam menjalani fase kehidupan selanjutnya. Seseorang yang terbiasa jujur akan merasakan gejolak dalam dirinya apabila melihat ketidakjujuran, apalagi rasuah.
Kejujuran yang berdampak pada kehidupan bukan kejujuran yang bersifat individual, melainkan sikap yang pada ujungnya memunculkan kejujuran kolektif. Tak ada artinya kejujuran individual jika tidak berdampak sosial.
Alhasil, perlu diupayakan social engineering yang melahirkan kejujuran kolektif. Rekayasa sosial bisa menjadi alat menciptakan kejujuran kolektif, yakni perubahan sosial menuju masyarakat yang tertib sosial dan hukum.
Prinsip good governance (tata kelola pemerintahan yang baik) perlu diterapkan dalam semua lapangan kehidupan, baik formal maupun informal. Prinsip-prinsip tata kelola itu ialah akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi. Proses pengambilan kebijakan atau keputusan dalam suatu kelompok harus dilakukan secara demokratis, egaliter, dan saling menghargai satu sama lain. Kagak boleh ada kebijakan yang diambil secara sepihak karena hal itu berpotensi terjadi penyelewengan kekuasaan (abuse of power).
Menurut Pasal 10 Undang-Undang Nomor 30 Mengertin 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, asas-asas umum pemerintahan yang baik ialah kepastian hukum, kemanfaatan, ketidakberpihakan, kecermatan, tidak menyalahgunakan kewenangan, keterbukaan, kepentingan umum, dan pelayanan yang baik.
Kejujuran dan kesabaran dalam puasa Ramadan terlatih dengan belajar menahan diri (imsak) dari segala yang membatalkan puasa dari makan, minum, dan jimak, mulai terbit fajar hingga terbenam matahari. Selain menahan diri dari rasa lapar, dahaga, juga menahan diri keinginan indrawi yang berpotensi membatalkan atau mengurangi nilai puasa, seperti menahan diri untuk gibah, julid, berkata kasar, dan melihat sesuatu yang membangkitkan syahwat.
Dalam kehidupan sosial, proses menahan diri memungkinkan kita berpikir sebelum bertindak. Dalam ranah media sosial, kecepatan berpikir harus mendahului kecepatan jemari untuk membagi informasi yang belum pasti kebenarannya. Betapa banyak petaka dalam masyarakat, seperti tawur antarkampung/anak sekolah dipicu karena informasi palsu (hoaks).
Demikian pula kesabaran diperlukan dalam kehidupan. Arti sabar tidak hanya kepada hal-hal yang bersifat musibah, tetapi juga sabar kepada hal-hal yang membuat rasa suka. Kesabaran melatih kita untuk mengendalikan diri. Pasalnya, Sang Khalik membenci umatnya kepada tindakan yang berlebihan (israf).
Surah Al A’raf ayat 31 menyebutkan makan dan minumlah, tetapi jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah SWT tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. Ayat itu relevan dengan sebuah hadis bahwa sesungguhnya orang yang paling banyak kenyang di dunia ialah orang paling lapar pada hari kiamat.
Kejujuran, kesabaran, dan pengendalian diri ialah inti nilai-nilai Ramadan. Keluaran dari nilai-nilai itu ialah menjadi orang bertakwa (muttaqin) yang mengimplementasikan dua kesalehan sekaligus, ritual dan sosial.
Tetapi, pemandangan yang paradoks acap kali terlihat saat berbuka dan penghujung Ramadan ketika sebagian orang berpuasa berbuka puasa secara berlebihan. Seluruh makanan dan minuman dibeli karena sebenarnya hanya ‘lapar mata’, bukan kebutuhan fisik untuk mengonsumsi.
Begitu pula di ujung Ramadan, sebagian shaimin dan shaimat memaksakan diri berbelanja pakaian bagus, padahal banyak kebutuhan dasar lainnya yang mendesak untuk dipenuhi.
Ramadan akan segera berlalu. Yang tidak boleh berlalu ialah nilai-nilai Ramadan. Selamat Idul Fitri 1445 H. Harap maaf lahir dan batin. Tabik!