Raja Kecil dan Efgede

AWAL pekan ini, Presiden Prabowo Subianto banyak memberikan angle Informasi kepada awak media. Dari sebuah pidato di satu Perhimpunan, pernyataan Kepala Negara Enggak saja layak kutip, tapi juga layak jadi headline atau Informasi Esensial di berbagai platform media massa.

Pernyataan paling hot dari pidato Presiden Prabowo Subianto tentu ialah Demi ia menyebut Eksis ‘raja kecil’ yang mencoba melawannya terkait dengan kebijakan pemotongan anggaran yang ia canangkan. Itu sebetulnya pernyataan lanjutan dari pidato dan pernyataan Presiden dalam wawancara cegat pekan sebelumnya.

Dalam pidato di peringatan hari lahir Nahdlatul Ulama dan wawancara cegat seusai acara itu, Prabowo menyatakan Enggak segan-segan Kepada ‘menyingkirkan’ pejabat atau pembantunya yang dablek alias bandel. Media pun ramai memberitakan itu. Para analis politik Lampau bicara kemungkinan reshuffle kabinet.

Rupanya, pernyataan itu baru ‘pemanasan’. Belum ‘titik’. Tetap ‘koma’. To be continued kalau dalam drama seri. Karena itu, Prabowo seolah ‘memenuhi ekspektasi’ banyak orang Kepada melanjutkan pernyataan yang kian Membangun penasaran banyak kalangan itu. Saya sebut ‘banyak’ karena sejumlah siniar politik yang membahas itu mendatangkan banyak penonton.

Cek Artikel:  Menggagas Pemilu Pendahuluan

Karena itulah, Demi memberikan pidato dalam pembukaan Kongres XVIII Muslimat Nahdlatul Ulama (NU), awal pekan ini, Prabowo memberi mereka yang penasaran itu ‘peluru’ Tengah. “Eksis yang melawan saya Eksis. Dalam birokrasi merasa sudah kebal hukum, merasa sudah menjadi raja kecil, Eksis,” ujarnya.

Konteks ‘melawan’ yang disebutkan Prabowo itu terkait dengan instruksinya kepada para jajarannya Kepada serius menjalankan efisiensi. Lampau, ‘raja kecil’ itu pun dikaitkan dengan keengganan menjalankan efisiensi. Di situlah frasa ‘raja kecil’ dan ‘kebal hukum’ masuk konteks yang dituju.

Setelah menyebut itu, Prabowo menjelaskan ihwal efisiensi hingga lebih dari Rp300 triliun di awal pemerintahannya itu. Menurut Prabowo, tujuan penghematan anggaran ialah masyarakat Indonesia, khususnya memberikan makan Kepada anak-anak dan memperbaiki sekolah. “Enggak Eksis itu seminar, FGD. Apa itu Perhimpunan group discussion?” kata Prabowo dengan gestur menggoyang-goyangkan kepala dan tersenyum kecut.

FGD yang dimaksud Prabowo tentu bukan singkatan dari Perhimpunan group discussion, melainkan focus group discussion, atau Percakapan Grup terarah. Bagi Prabowo, terlalu banyak seminar dan FGD Bahkan menghambur-hamburkan anggaran. Lebih Krusial langsung beraksi mengatasi kemiskinan, mewujudkan ketersediaan pangan yang cukup, dan aksi-aksi langsung lainnya.

Cek Artikel:  Survei Abal-Abal

Lampau, Eksis yang menggerutu dengan pernyataan berbau ‘anti-FGD’ dari Presiden. Mereka yang menggerutu itu menilai Prabowo termasuk orang yang kurang menyukai teori, konsep, atau perencanaan yang jelimet.

Bagi mereka, FGD Terang merupakan metode yang Krusial. Dari FGD, akan terkumpul data yang siap digunakan Kepada mendapatkan wawasan mendalam tentang pandangan dan pengalaman. FGD Enggak hanya menjadi alat Krusial dalam pengumpulan data, tetapi juga sebagai elemen integral guna menggali pemahaman mendalam terkait dengan berbagai aspek keilmuan.

Bagi pemerintah, begitu penjelasan dari para pegiat FGD yang menggerutu itu, FGD ialah ajang Krusial Kepada mendapatkan masukan dari masyarakat. Juga, Dapat mencari solusi Berbarengan atas permasalahan; menyusun kebijakan, perencanaan, dan program pemerintah; meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah; serta memberikan kontrol sosial terhadap kinerja pemerintah.

FGD juga diyakini akan mendorong terciptanya masyarakat yang cerdas dan kritis serta memberikan Panduan yang Terang bagi seluruh pegawai di lingkungan pemerintah. Pokoknya bermanfaat banget, Bagus bagi pegawai pemerintah maupun pemerintahan secara institusional.

Cek Artikel:  Dari Alal Bahalal ke Halal Bi Halal

Kini, setelah Presiden menganggap bahwa seminar, Percakapan, dan FGD Enggak sepenting aksi langsung di lapangan, berbagai pihak, khususnya di pemerintahan, sangat takut melakukan itu. Mereka tak mau disebut pembangkang, lebih-lebih dianggap sebagai ‘raja kecil’.

Pihak yang mengkritisinya menilai itu Sekalian sebagai kesalahpahaman tentang Interaksi antara teori dan praktik. Selama ini, banyak orang beranggapan seakan-akan ‘berteori’ itu kurang unggul ketimbang mereka yang ‘praktik’, yang terjun langsung. Anggapan bahwa teori terpisah sama sekali dari praktik atau aksi Terang kurang Cocok. Praktik yang Bagus, dan yang dilakukan dengan sadar, membutuhkan teori. Setiap kita mempraktikkan sesuatu dengan sadar, pada dasarnya kita Sekalian berteori.

Kata Spesialis psikologi sosial Jerman, Kurt Lewin, “There is nothing more practical than a good theory.” Enggak Eksis yang lebih praktis (praktik terbaik) daripada teori yang Bagus. Jadi, jangan takut efgede, asal bukan sekadar tempelan.

Mungkin Anda Menyukai