DALAM sebuah obrolan santai minggu lalu seorang kawan yang sudah tiga kali menjabat anggota legislatif tingkat salah satu kabupaten di Jawa Barat mengeluhkan kekalahannya dalam Pemilu 2024.
Dirinya mengaku bukan tidak siap kalah, melainkan dadanya merasa sesak lantaran dikalahkan pesaingnya, caleg sesama partai dan partai lain, karena serangan fajar.
Politik uang di daerah pemilihannya gila-gilaan tanpa tedeng aling-aling. Keyakinan kawan yang berpenampilan kalem tapi necis itu bahwa dirinya akan terpilih sebagai wakil rakyat kandas. Hatinya hancur berkeping-keping.
Keyakinannya akan terpilih kembali sebagai petahana bukan halusinasi karena tiga pemilu sebelumnya kerja-kerja politiknya sangat nyata di masyarakat.
Dia mengawal dana aspirasi atau dana pokok pikiran anggota dewan Rp1 miliar setiap tahun untuk membuat proyek yang memiliki kemaslahatan umum, seperti membuat jalan, jembatan, perbaikan sekolah, rumah ibadah, majelis taklim, fasilitas MCK dan air bersih, dan pemagaran tempat pemakaman umum.
Penduduk di dapilnya mengetahui bahwa dialah yang memperjuangkan dan mengawal proyek dana aspirasi. Loyalp kali peresmian proyek di kampung yang berada di dapilnya dia pasti memberikan sambutan. Penduduk pun semringah, mereka bertepuk tangan dengan penuh sukacita setelah anggota dewan pujaan memberikan sambutan.
Ibarat pepatah, air susu dibalas air tuba. Dalam pemilu kali ini suara petahana itu jeblok. Bunyinya yang terlihat solid saat dia mengunjungi dapil dan menyapa warga menjelang masa pencoblosan 14 Februari lalu mendadak lenyap tak berbekas.
Tak sedikit warga yang berkumpul di sebuah warung atau kedai menyapanya dengan hangat dalam bahasa Sunda. “Singgah heula atuh Pak Dewan, ngopi di dieu (mampir dulu Pak Dewan, ngopi dulu di sini),” ujar seorang warga sembari melambaikan tangan.
Tetapi, keramahan warga selama ini tidak tecermin pada hasil pemilu. Penduduk kebanyakan memilih caleg yang memberikan fulus, sembako, telur, dan sebagainya. Penduduk utamanya memilih caleg yang memberikan uang paling besar.
Sistem pemilu sebenarnya sudah menyadari bahaya politik uang dalam percaturan demokrasi di Tanah Air. Karena itu, regulasi melarang praktik politik haram tersebut.
Menurut Pasal 523 Undang-Undang Nomor 7 Mengertin 2017 disebutkan bahwa ‘Loyalp pelaksana, peserta, dan/atau tim kampanye pemilu yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta kampanye pemilu secara langsung ataupun tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 ayat (1) huruf j dipidana dengan pidana penjara selama dua tahun dan denda paling banyak Rp24.000.000’.
Politik uang dalam pemilu menyebabkan biaya tinggi (high cost) dalam politik. Apabila terpilih sebagai anggota dewan, tentu mereka akan berpikir bagaimana mengembalikan modal, apalagi jika modal nyaleg berasal dari pinjaman yang jumlahnya tidak sedikit. Modal politik semakin besar jika mencalonkan diri dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) baik tingkat kabupaten/kota, provinsi, hingga pencapresan.
Belum lagi dana untuk mahar politik atau ‘uang perahu’ sehingga sang calon bisa mendapatkan dukungan partai politik. Biaya politik untuk nyalon pilkada, katakanlah tidak berstatus pinjaman, tetapi donasi dari pengusaha, hal itu juga akan membuat repot di belakang hari bagi calon yang terpilih. Mereka akan meminta jatah proyek APBD/APBN.
Dari sejumlah survei diketahui kisaran biaya minimal caleg untuk DPR RI dari Rp2 miliar-Rp6 miliar, DPRD provinsi dari Rp500 juta-Rp1 miliar, dan DPRD kabupaten/kota Rp250 juta-Rp500 juta. Sementara itu, untuk pilkada provinsi, survei KPK dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 2022 menyebutkan sekitar Rp100 miliar dan pilkada kabupaten/kota sekitar Rp20 miliar-Rp30 miliar.
Politik uang ialah racun demokrasi. Pelakunya menunggangi pesta demokrasi untuk kepentingan dirinya. Politik uang juga melemahkan mental masyarakat dalam menentukan pilihan mereka sekaligus melemahkan kedaulatan rakyat. Mereka juga menciptakan masyarakat permisif terhadap rasuah.
Elite politik seperti itu memandang suara rakyat bisa dibeli untuk mengantarkan mereka ke singgasana kekuasaan. Biaya politik yang tinggi ialah akar dari korupsi. Alhasil, praktik rasuah di negeri ini tak pernah surut, bahkan terus tumbuh subur dengan ‘wajah-wajah baru’ pencoleng uang negara.
Sejak KPK berdiri hingga Agustus 2022 sebanyak 310 anggota DPR dan DPRD, 154 bupati atau wali kota, dan 22 gubernur tersandung oleh kasus korupsi. Tak aneh skor indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia terus ambyar.
Pemberantasan korupsi di Tanah Air akan tetap jalan di tempat, bahkan mundur ke belakang jika hulunya diwarnai dengan praktik politik kotor. Politik yang menjauhkan diri dari etika dan hukum. Mereka sejatinya bukan pemimpin. Mereka ialah maling. Tabik!