“THE worst disease in the world today is corruption. And there is a cure: Transparency (Bono#TED2013)”
Di penghujung akhir 2019 ini BUMN diberikan kado yang sangat pahit.
Upaya Menteri BUMN Erick Thohir melakukan transformasi mental BUMN dengan tagline Insan BUMN yang Berakhlak, dirusak oleh tindakan Dirut Garuda melalui upaya penyelundupan barang mewah. Ironisnya, itu dilakukan dalam ferry flight kedatangan pesawat baru Garuda A330 Neo dari pabrikan Airbus di Touluse ke Jakarta.
Skandal ini menambah daftar panjang direksi BUMN yang terkena kasus korupsi dalam beberapa tahun terakhir. Pada 2017, publik dikejutkan dengan kasus dugaan patgulipat suap mantan Dirut PT GIA (Tbk) yang dibongkar KPK berkat laporan intelijen Inggris. Kemudian menyusul OTT pihak KPK terhadap pimpinan puncak PT PAL (Persero).
Di 2019, kita juga dikejutkan dengan serangkaian penangkapan OTT KPK maupun Kejaksaan.
Di antaranya melibatkan direksi BUMN di AP2, Krakatau Steel, INTI, Perindo, dan Holding PTPN 3. Rentetan peristiwa itu terlihat kontras karena upaya Kementerian BUMN untuk menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance ) atau sering disingkat GCG sudah digaungkan sejak awal 2000-an.
Kewajiban BUMN untuk menerapkan GCG diatur lewat Keputusan Menteri BUMN KEP-117/M-MBU/2002 tentang Penerapan Praktik Good Corporate Governance. Kewajiban menjalankan GCG bagi BUMN Tbk lebih diperkuat dengan ketentuan pasar modal yang mewajibkan disclosure dan transparency bagi emiten.
Berbagai program edukasi, benchmarking study, kerja sama supervisi KPK-BUMN, serta kewajiban audit independen GCG bagi BUMN sudah kerap dilakukan. Tetapi, dengan terungkapnya beberapa kasus korupsi BUMN yang terjadi secara beruntun telah menyirnakan kepercayaan publik.
Tampaknya kredo GCG hanya sebatas ‘lipstick’ saja buat sebagian BUMN. Secara ekplisit mereka menyatakan compliance atas aturan ini dengan menetapkan charter GCG di setiap BUMN. Tetapi, dalam implementasinya terkesan aturan tersebut hanya sebatas untuk dicatat tanpa perlu diimplementasikan.
Fungsi pengawasan oleh Dewan Komisaris terhadap Dewan Direksi kelihatan mandul meskipun mereka sudah dibantu berbagai macam asisten ahli yang tergabung dalam Komite Audit, Komisi Risk Management, bahkan ada Komite GCG juga. Pelanggaran governance ini kelihatannya didasari atas rendahnya kesadaran pentingnya implementasi GCG terhadap kinerja perusahaan.
Rekanan implementasi GCG dan kinerja
Beberapa penelitian seperti yang dilakukan Abravanel (2006) menunjukkan, perusahaan publik yang menerapkan GCG dengan baik akan mendapatkan harga premium dari investor sampai dengan 20%. Tetapi, implementasi governance yang buruk akan langsung dihukum investor seperti yang terjadi pada kasus Enron (2001).
Sementara itu, riset dari Megginson, D Souza, dan Nash (2005) juga menunjukkan bahwa privatisasi BUMN telah mampu membangun praktik GCG lebih baik, yang pada akhirnya mampu memicu perbaikan kinerja. Kecenderungan utama yang terjadi setelah privatisasi ialah perubahan kepemilikan (ownership). Bila semakin besar saham pemerintah dilepas, manajemen BUMN lebih leluasa dan akan lebih fokus kepada tujuan profit maximization. Apabila privatisasi dilakukan dengan cara pencatatan (listing) di pasar modal, akan timbul kewajiban transparansi dan disklosur sehingga GCG semakin kuat dilaksanakan.
Menurut kajian Simon Wong (2005) tentang praktik GCG diungkapkan bahwa sebagian besar BUMN di negara berkembang memiliki kelemahan tata kelola. Kelemahan tersebut antara lain agency problem, yang mana intervensi pemerintah dalam pengelolaan BUMN dirasakan cukup tinggi. Di samping itu, hak manajemen BUMN untuk mengelola perusahaan dengan independen sering dikebiri karena kebanyakan pimpinan BUMN dipilih berdasarkan kedekatan politik sehingga tidak bisa tampil mandiri.
Di samping itu, terdapat masalah terkait dengan minimnya alat (tools) untuk memberikan insentif dan mendisiplinkan manajemen BUMN. Kelemahan dari sisi tata kelola ini membuat kinerja BUMN menjadi tidak kompetitif . Sementara itu, faktor budaya organisasi baru (new share values) yang diinternalisasi ke dalam organisasi dianggap mampu meningkatkan kinerja.
Sebagai komparasi bagaimana privatisasi BUMN mampu menumbuhkan praktik GCG dan memperkenalkan budaya baru yang lebih progresif dapat disampaikan pengalaman negara jiran Malaysia. Studi tentang privatisasi di Malaysia oleh Jomo K S dan Tan Woo Syn (2003) menunjukkan bahwa privatisasi memberikan hasil positif dan negatif terkait dengan pola ekonomi yang dikembangkan pemerintah.
Kebijakan New Economy Policy (NEP) yang dikembangkan sejak 1970 telah membuat kaum bumiputra semakin memiliki akses dan ownership ekonomi. Tetapi, di sisi lain juga menimbulkan praktik KKN yang kemudian menumbuhkan ekonomi semu (Ersatz Capitalism).
Penguasaan UMNO selama puluhan tahun telah menimbulkan patron Alibaba dan menguntungkan kelompok tertentu. Tetapi, kemudian pemerintah Malaysia membuat keputusan cukup strategis dalam mempersiapkan BUMN memasuki persaingan global.
Salah satunya ialah dengan membentuk superholding Khazanah Bhd pada 2003 sebagai holding company yang membawahi seluruh BUMN yang bersifat profit oriented. Sebagian besar kelompok bisnis yang bergabung dalam Khazanah telah go public.
Peraturan di Bursa Kuala Lumpur (KLSE) sangat ketat dalam hal kepatuhan (compliance) terhadap prinsip GCG dan hal itu mampu memicu kinerja BUMN yang bergabung dalam Khazanah berkinerja baik.
Hasilnya, saat ini Khazanah telah mampu memtransformasikan dirinya sebagai regional /global player dengan melakukan investasi di banyak negara, termasuk di Indonesia.
Perbaikan GCG ke depan
Perbaikan struktural tampaknya harus dilakukan Kementerian BUMN untuk menegakkan kembali compliance atas GCG oleh seluruh lapisan eselon di BUMN. Kesadaran harus difokuskan bukan hanya kepatuhan atas prinsip GCG secara formal, melainkan juga lebih pada kesadaran pentingnya implementasi GCG dalam meningkatkan value perusahaan. Karenanya, upaya melaksanakan internalisasi nilai-nilai GCG ke dalam corporate culture BUMN mendesak dilakukan. Hal ini akan lebih efektif sebagai langkah preventif jika dibandingkan dengan membuat regulasi baru.
Upaya penegakan hukum secara konsisten, misalnya, dengan langkah pemecatan terhadap direksi BUMN yang terlibat kasus pelanggaran GCG, juga diperlukan sebagai metode shock therapy yang efektif. Sistem monitoring pengawasan BUMN juga perlu diperbaiki. Berbagai indikasi praktik kecurangan di BUMN yang sudah dinotifikasi pihak BPK atau KAP yang ditunjuk perlu ditindaklanjuti dengan cepat dan lugas untuk mencegah kejadian berulang .
Perbaikan struktural GCG BUMN juga harus dimulai dari awal rekrutmen BOD/BOC yang melalui proses fit and proper yang ketat. Buat mendapatkan talent terbaik, sebaiknya sumber rekrutmen bisa diperluas. Bukan saja dari calon internal BUMN, melainkan juga dari kalangan profesional non-BUMN.
Sementara itu, fungsi Dewan Komisaris dianggap memiliki kelemahan karena pengawasan yang dianggap tidak efektif. Hal ini sesuai temuan ASEAN Governance Scorecard 2015. Salah satu kelemahan perusahaan Tbk di Indonesia ada pada aspek responsibilities of the board. Disebutkan perlunya upaya untuk perbaikan kinerja dewan pengawas (komisaris) dalam mengawasi dewan direksi.
Direkomendasikan juga upaya memperkuat struktur dewan komisaris dengan memperbanyak jumlah anggota komisaris independen. Ke depan, diusulkan supaya pemilihan Dekom melalui tahapan asesmen juga sehingga betul-betul didapatkan calon Dekom yang qualified.
Langkah tegas dan fundamental terhadap perbaikan kinerja GCG BUMN sudah mulai diimplementasikan Menteri Erick Thohir.
Dibutuhkan konsistensi atas langkah seperti itu sehingga kepercayaan publik tetap tinggi. Cita-citanya ke depan akan tumbuh trust yang semakin kuat terhadap BUMN sehingga kinerja mereka juga diharapkan akan meningkat.
Bukan ada kata terlambat. Go BUMN.