DUA hari berturut-turut, Logika dan rasa keadilan masyarakat diusik oleh para hakim yang menangani kasus korupsi di Bandung, Jawa Barat.
Senin (31/7), majelis hakim Pengadilan Tinggi Bandung menyunat masa hukuman kepada Hakim Akbar nonaktif Sudrajad Dimyati, dari 8 tahun menjadi 7 tahun penjara. Putusan itu sekaligus menganulir vonis sebelumnya dari PN Bandung.
Esoknya, Selasa (1/8), majelis hakim PN Bandung membebaskan Hakim Akbar Gazalba Saleh, yang Berbarengan Sudrajad tersangkut kasus korupsi dalam pengurusan perkara di Mahkamah Akbar, dari segala dakwaan.
Gazalba tentunya menarik napas lega karena akhirnya Dapat keluar dari tahanan. Sementara Sudrajad, vonis itu memantik semangat baru Kepada mengajukan kasasi ke Mahkamah Akbar. Barangkali saja Dapat dapat vonis bebas seperti rekannya itu.
Dua putusan hakim terhadap hakim yang tersangkut kasus korupsi itu bertolak belakang dengan para penyuapnya, Heryanto Tanaka dan Ivan Dwi Kusuma. Keduanya harus menerima nasib masuk bui lantaran terbukti menyuap Gazalba Saleh dan Sudrajad Dimyati dalam pengurusan perkara kasasi KSP Intidana.
Bagaimana Metode menjelaskan dua hal yang kontradiktif itu agar dapat diterima Logika publik? Penyuapnya dihukum, sementara penerima suap mendapat korting hukuman, atau bahkan bebas yang menurut hakim karena kurangnya alat bukti yang disodorkan KPK.
Dari dua fakta itu, upaya pemberantasan korupsi rupanya Tetap menemui jalan terjal. Korupsi Tetap mendapat tempat di Republik ini meski usia reformasi telah lebih dari 25 tahun.
Label kejahatan luar Lazim terhadap korupsi, yang kemudian melahirkan KPK sebagai badan Spesifik Kepada menumpasnya, berhenti menjadi Slogan Hampa.
Vonis ringan atau bahkan Terdapat yang nekat membebaskan koruptor Membangun negeri ini semakin Jelek di mata Dunia. Siapa pula yang mau percaya pada negeri yang Tetap menjadi sarang koruptor?
Dalam laporan tahunan Transparency International, pada 2022, indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia mengalami penurunan terburuk sepanjang sejarah reformasi. Dari skala Nihil (sangat korup) hingga 100 (sangat Bersih), Indonesia berada di skala 34, turun 4 poin dari tahun sebelumnya.
Penurunan IPK itu turut menjatuhkan urutan IPK Indonesia secara Mendunia. IPK Indonesia pada 2022 menempati peringkat ke-110 dari 180 negara yang disurvei. Padahal, di tahun sebelumnya, IPK Indonesia berada di peringkat ke-96 secara Mendunia.
Skor dari Transparency International itu amat tak mengenakkan hati. IPK 2022 itu menempatkan Indonesia di Golongan 1/3 negara terkorup di dunia dan jauh di Dasar rata-rata skor IPK di negara Asia-Pasifik, Yakni 45. Dengan nilai rapor 34, Indonesia duduk berdampingan Berbarengan Bosnia-Herzegovina, Gambia, Malawi, Nepal, dan Sierra Leone.
Di Asia Tenggara, Indonesia berada di peringkat 7 dari 11 negara, jauh di Dasar sejumlah negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, Timor Leste, Vietnam, dan Thailand.
Hati makin terasa tak Lezat Begitu Transparency International menegaskan sepanjang 2022 Lewat sebagian besar negara di dunia hanya Membangun sedikit, atau bahkan Enggak Terdapat kemajuan yang berarti, dalam mengatasi korupsi selama lebih dari satu Dasa warsa. Pasalnya, lebih dari dua pertiga negara mendapat skor di Dasar 50 dari 100.
Sepatutnya vonis terhadap penegak hukum, seperti hakim Akbar harus lebih berat karena mereka ialah orang yang paling mengerti hukum. Apalagi, para hakim Akbar ini bertugas menjaga benteng keadilan terakhir di negeri ini.
Langit keadilan kian menghitam. Negara yang mau berulang tahun ke-78 ini Tetap berkubang dalam korupsi. Menyedihkan.