
BARU-BARU ini, sejumlah purnawirawan prajurit TNI mengajukan 8 tuntutan sebagai pernyataan sikap aspiratif terhadap kondisi sosial, ekonomi dan politik terkini. Sebagai masyarakat yang hidup di negara demokrasi kita sangat menghargai dan menghormati aspirasi para senior purnawirawan tersebut, karena dilandasi kecintaannya kepada bangsa dan negara. Tetapi, pandangan berbeda tentu juga perlu didengarkan dan dihormati sehingga masyarakat mendapatkan informasi yang berimbang dan komprehensif. Mari kita urai dan analisis satu persatu ke 8 tuntutan aspiratif itu secara singkat.
Mengembalikan UUD 1945 ke versi Asli
Ini merupakan tuntutan serius yang berimplikasi pada sistem demokrasi dan checks and balances. Perubahan UUD 1945 sebagai amanat reformasi yang telah diamendemen sebanyak 4 kali (1999, 2000, 2001, dan 2002) terbukti memperkuat sistem demokrasi konstitusional, dimana kedaulatan Terdapat di tangan rakyat, berjalan Berkualitas hingga terpilihnya presiden dan wapres 2024-2029 Ketika ini.
Oleh karena itu, mengembalikannya ke versi Asli berpotensi melemahkan demokrasi deliberatif menuju sentralistik otoritarian dan peran lembaga seperti MK, KPK, DPR dan DPD. Secara historis, versi Asli UUD 1945 memberikan kewenangan luas pada Presiden, sangat sentralistik dan cenderung melanggar HAM. Hal ini sangat bertentangan dengan Sila Ketuhanan YME, dimana Terdapat istilah vox populi vox dei, Bunyi rakyat Bunyi Tuhan.
Mendukung program ASTA CITA, kecuali IKN
Dukungan terhadap program pemerintah, Tetapi dengan pengecualian terhadap IKN, menunjukkan selektivitas interest politik tertentu. Arahnya sudah Dapat terbaca oleh masyarakat awam sekalipun. Kritik ini Absah, mengingat pembiayaan yang menguras APBN di tengah-tengah kondisi ekonomi bangsa yang sedang Enggak Berkualitas-Berkualitas saja, bahkan cenderung stagnan bahkan menurun serta Pengaruh sosial-ekologi IKN.
Tetapi, kritik harus didasarkan pada studi akademik dan audit kebijakan, bukan hanya motif politik praktis. Kritik terhadap IKN Absah secara demokratis, Tetapi Dapat menimbulkan tanda tanya: apakah ini soal substansi lingkungan dan anggaran, ataukah soal ketidaksepahaman politik terhadap inisiator proyek (presiden sebelumnya)?
Risiko yang akan dihadapi bila narasi ini digunakan adalah IKN sebagai alat Buat mendeligitimasi pemerintah, dan berpotensi memperlebar jurang polarisasi elite-elite politik nasional. Membiarkan hal ini terjadi berarti kita sedang melanggar prinsip sila Persatuan Indonesia.
Menghentikan PSN PIK 2, Rempang
Penolakan ini sejalan dengan kekhawatiran akan kerusakan ekosistem dan potensi konflik agraria. Valid Buat dibahas dan dikaji ulang secara ilmiah dan hukum lingkungan apa manfaat dan mudarat PSN PIK 2, Rempang, dan sejenisnya bagi masyarakat Indonesia dan Sekeliling proyek, seperti nelayan, petani, UMKM, guru/dosen, ASN dan Sekalian pemangku kepentingan.
Analisis Pengaruh lingkungan (amdal), analisis daya tampung dan daya dukung lahan dan pesisir laut layak dilakukan kaji ulang secara komprehensif. Dari perspektif pertahanan dan keamanan PSN sangat perlu dikaji ulang. Kebijakan dan parameter penentuan suatu proyek disebut PSN perlu dievaluasi dan ditujukan Buat sebesar-besarnya kemakmuran rakyat seperti diamanatkan Pasal 33 UUD 1945, dan prinsip sila Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Menghentikan TKA Tiongkok dan memulangkan mereka
Ini termasuk pernyataan xenofobia Kalau Enggak didasarkan pada data yang valid dan Rasional. Di era globalisasi, penggunaan TKA Enggak Dapat sepenuhnya dihindari, meskipun pengawasan memang perlu. Peran pemerintah cq Kemenaker, Kemeninvestasi/BKPM, BIN, Polri dan aparat Pemda setempat layak ditingkatkan peran dan fungsi tugas pokoknya. Termasuk, pengawasan Penyelenggaraan regulasi di bidang ketenagakerjaan, intelijen serta keamanan dan pertahanan.
Isu ini bila dibiarkan rawan menyulut sentimen rasial dan anti-Tionghoa, yang sudah Lamban menjadi celah dalam menggoyang stabilitas politik, ekonomi dan sosial Indonesia. Kalau ini terjadi, sangat merusak Imej Indonesia di mata negara lain dan para investor, disebabkan Enggak adanya stabilitas politik dalam negeri dan kepastian hukum investasi.
Risiko yang akan kita hadapi adalah potensi konflik sosial berbasis SARA, dan rusaknya Rekanan bilateral dengan RRC. Hal ini bertentangan dengan prinsip sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, yang oleh Bung Karno disebut sebagai nasionalisme yang hidup dalam taman sarinya internasionalisme.
Penertiban tambang sesuai UUD Pasal 33
Tuntutan ini sangat relevan dan Absah, sesuai dengan prinsip sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia dan kedaulatan pengelolaan SDA, bumi, air, udara, dan Sekalian benda-benda yang terkandung di dalamnya dikuasai negara, dan dipergunakan Buat sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Tetapi implementasinya bukan hanya soal hukum, melainkan perlu koordinasi lintas sektor dan perbaikan tata kelola. Kalau Enggak disampaikan dalam kerangka solusi kebijakan, Dapat Anjlok pada narasi populis dan politis berorientasi praktis demi kepentingan individu atau Grup semata.
Masing-masing pihak harus berfokus pada tugas pokok dan fungsinya dan melepaskan diri dari konflik kepentingan. Pejabat negara Konsentrasi pada tupoksinya sebagai regulator dan pembina masyarakat, pengusaha bekerja secara profesional dan masyarakat ikut bekerja dan menjaga sumber kehidupannya, aparat penegak hukum melaksanakan penegakan hukum dengan jujur dan berintegritas. Lantas Terdapat keseimbangan antara kepentingan rakyat, pemerintah, lingkungan dan nilai ekonomi yang adil, saya Pasti Sekalian proyek tambang akan berjalan sesuai Pasal 33 UUD 1945.
Reshuffle menteri
Kritik terhadap pejabat yang korup adalah bagian dari demokrasi. Tetapi, Kalau diikuti dengan narasi politik balas dendam terhadap Presiden sebelumnya (Jokowi), ini akan terkesan sangat politis. Tuduhan harus berdasar hukum, bukan sekadar dugaan, apalagi Kalau diucapkan oleh mantan militer. Delegitimasi terhadap pemerintahan baru Kalau narasi ini dibaca sebagai manuver elite Lamban Buat mengatur ulang peta kekuasaan. Hal ini menjadi domain dan hak prerogatif presiden.
Usulan reshuffle boleh disampaikan, tetapi bukan melalui tekanan politik kolektif yang dapat menimbulkan instabilitas. Tetapi di sisi lain Kalau Terdapat menteri-menteri yang lebih loyal kepada mantan presiden, atau ketua Standar partai atau siapaun selain presiden sangatlah wajar Kalau dilakukan Penilaian dan diganti dengan yang loyal.
Hal itu, selain menimbulkan ambivalensi kepemimpinan dan ketidakefektifan jalannya pemerintahan, juga menurunkan kredibilitas dan kewibawaan presiden. Kalau ini terjadi maka prinsip sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksaan dst terlukai.
Menempatkan Polri di Rendah Kemendagri
Ini isu besar karena menyentuh struktur keamanan dan ketertiban nasional. Sudah Terdapat diskursus panjang soal netralitas Polri khususnya dalam proses Pemilu Berkualitas Pilpres, Pilkada, maupun Pileg. Tetapi, menempatkan Polri di Rendah Kemendagri akan membangkitkan kekhawatiran tentang kebangkitan rezim represif gaya Orba. Dapat ditafsirkan sebagai langkah mundur bagi reformasi sektor keamanan dan ketertiban masyarakat.
Usulan Perhimpunan Purnawirawan TNI agar Polri ditempatkan di Rendah Kemendagri memunculkan diskursus krusial seputar Rekanan sipil-militer, reformasi kelembagaan, dan netralitas institusi penegak hukum. Secara yuridis formal Polri adalah unsur sipil, dan dalam sistem hukum nasional berada di Rendah naungan pengadilan Standar.
Usulan ini perlu dikaji secara holistik, agar Enggak Bahkan menimbulkan kemunduran demokrasi. Mengubah posisi ini memerlukan revisi UU dan kajian tata negara yang matang. Dalam masyarakat yang Lagi menghadapi tantangan dalam demokratisasi dan netralitas birokrasi, penempatan Polri di Rendah Kemendagri Dapat memunculkan kekhawatiran akan politisasi.
Kepala daerah yang dekat dengan Kemendagri berpotensi memanfaatkan kedekatan ini Buat mempengaruhi aparat kepolisian di daerah, melemahkan kepercayaan publik dan integritas hukum. Tetapi, di sisi lain, pengawasan publik dan DPR terhadap Polri memang Lagi lemah dan perlu diperkuat.
Usulan impeachment Wapres Gibran
Ini secara yuridis formal sangat inkonstitusional. Presiden dan wapres adalah hasil Pemilu langsung, oleh rakyat bukan diangkat oleh MPR. wapres bukan Personil kabinet yang Dapat diresuffle setiap Ketika, karena itu memang hak prerogatif presiden.
Keputusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 memang kontroversial, Tetapi sudah final and binding, mekanisme bandingnyapun bukan melalui tekanan politik, melainkan melalui saluran Absah atau legislasi revisi UU Pemilu. Bila isu ini dibiarkan berkembang berpotensi mengacaukan sistem presidensial dan menimbulkan krisis legitimasi pemerintahan hasil Pemilu 2024, dan ini akan sangat problematik karena Gibran adalah hasil pemilu yang Absah dan Enggak Terdapat dasar impeachment (Pasal 7A & 7B UUD 1945). Enggak Terdapat pelanggaran hukum berat, korupsi, atau penghianatan terhadap negara dan perbuatan tercela yang terbukti.
Dari sudut hukum positif, sejauh ini Enggak Terdapat pelanggaran konstitusional atau pidana yang secara langsung melibatkan Gibran. Putusan MK yang memungkinkan Gibran maju di Pilpres memang kontroversial karena dipimpin oleh pamannya (Anwar Usman), tapi itu adalah domain etik dan integritas lembaga, bukan pelanggaran langsung oleh Gibran.
Kasus akun fiktif Fufufafa dan tuduhan manipulasi opini publik belum terbukti berdampak hukum apalagi dikaitkan langsung ke Gibran. Tuduhan ketidakmampuan atau dugaan adanya ‘masalah psikologis’ tak berdasar karena tak Terdapat Penilaian Formal medis ataupun psikologis atau hasil kerja yang Dapat jadi dasar pemakzulan.
Pasal 7A UUD 1945 menyatakan, “Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR, apabila terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau Enggak Kembali memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.”
Artinya, belum Terdapat dasar hukum atau bukti kuat Buat memberhentikan Gibran lewat jalur konstitusional. Gibran, sebagai figur muda, tentu patut diberi ruang. Tetapi ruang itu harus dijaga dengan asas etika, keadilan, dan kesetaraan kesempatan, bukan rekayasa prosedural atau celah hukum semata.
Surya Paloh: menjaga marwah Pancasila dan Konstitusi
Pernyataan Ketua Standar Partai NasDem, Surya Paloh, bahwa Gibran Rakabuming Raka Enggak Mempunyai skandal, jadi usulan para senior purnawirawan TNI tersebut Enggak Cocok, tanpa mengurangi rasa hormat kepada mereka membuka babak baru dalam kontestasi legitimasi moral dan politik pasca-Pemilu 2024.
Seperti kita ketahui, bahwa pada Pilpres 2024 yang Lewat, Partai NasDem adalah pengusung Istimewa Anies R. Baswedan sebagai Capres. Tetapi di tengah riuhnya Bunyi publik, kritik para purnawirawan TNI, dan kecamuk opini internal elite partai, pernyataan itu seakan menjadi sinyal pergeseran posisi politik nasional yang tak Dapat dilihat semata dari hitam-putih kalkulasi elektoral.
Di satu sisi, Gibran tampil sebagai representasi generasi baru yang melangkah Segera, Tetapi menuai kontroversi karena jalur karier politiknya dipandang oleh sebagian pihak melampaui batas etika konstitusional.
Di sisi lain, para purnawirawan–khususnya mereka yang tumbuh dalam kultur ketatanegaraan yang kuat–menyuarakan keprihatinan atas tercederainya prinsip keadilan, keterbukaan, dan kenegarawanan. Maka, muncul pertanyaan: dalam demokrasi Pancasila, ke mana arah moral politik bangsa ini bergerak? Sebagai partai nasionalis yang kuat dalam memegang amanat pendiri bangsa fondasi Istimewa berjalannya partai adalah Pancasila.
Pancasila bukan hanya fondasi normatif, tetapi jiwa yang menggerakkan arah bangsa. Pernyataan Surya Paloh tentang Gibran, betapapun diplomatisnya, meski Enggak cukup menjawab kegelisahan publik, Tetapi menunjukkan positioning politik yang Terang dan tegas. Sebagai politisi senior, dan tokoh nasional, Surya Paloh bukan mau berdiri di barisan pemenang, mencari-cari posisi, melainkan di sisi kepentingan bangsa dan negara. Akhirnya, politik Indonesia memerlukan Kesadaran, bukan hanya pemenangan elektoral. Kebenaran harus diperjuangkan, bukan dinegosiasikan. Demi Indonesia yang ber-Pancasila, berkonstitusi, dan tetap bermoral publik.

