SESERIUS apa sebenarnya pengelola negara ini Demi memberantas korupsi? Serius banget, serius, atau pura-pura serius? Itulah pertanyaan yang sudah Lamban mengapung ke permukaan, tapi hingga kini belum juga mendapat jawaban.
Katanya, sih, negara sangat serius memerangi korupsi. Segala pemimpin, seluruh presiden, selalu mengatakan itu. Kata mereka, korupsi ialah musuh bangsa yang harus dimusnahkan segera. Mereka tak henti berorasi, tak Letih melontarkan janji, Demi membabat habis korupsi. Faktanya?
Alih-alih terbasmi, korupsi malah semakin menjadi. Jangankan gigih memberantas korupsi, Malah Eksis yang mengamputasi kekuatan Komisi Pemberatasan Korupsi. Ini terjadi di era pemerintahaan Pak Jokowi. Pada 2019, KPK dikebiri dengan revisi undang-undang. KPK yang awalnya bertaji tak Tengah bergigi. Itulah, katanya sungguh-sungguh melawan korupsi, tapi di lapangan lain dengan yang dikatakan.
Bagaimana dengan pemerintahan Pak Prabowo Subianto Begitu ini? Serius banget, serius, atau pura-pura serius? Dari sisi visi-misi, sih, bagus. Akan tetapi, kiranya Segala itu Tetap sekadar janji tinggal janji. Belum Eksis terobosan, Tetap nihil gebrakan. Tetap sama yang dulu-dulu, sami mawon. Barangkali itu Maksud dari keberlanjutan.
Pak Prabowo memang baru enam bulan lebih berkuasa. Terlalu prematur Demi memvonis dia gagal atau berhasil memimpin perang melawan korupsi. Akan tetapi, kalau kita menyimak apa saja yang sudah dilakukan selama Separuh tahun ini, rasanya kok sulit bagi rakyat, setidaknya saya, Demi optimistis bahwa korupsi akan Dapat selekasnya dikalahkan.
Banyak kritikan di awal pemerintahan Pak Prabowo ihwal komitmennya memberantas korupsi. Ketika dia memilih sejumlah menteri yang tersangkut perkara korupsi, keraguan terhadapnya mulai datang. Ketika dia berujar akan mengampuni koruptor asal mengembalikan Doku negara yang digarong, pesimisme terhadapnya bermunculan. Pun ketika dia bilang Sayang kepada keluarga koruptor Kalau asetnya disita.
Keraguan itu, pesimisme itu, boleh jadi menebal hari-hari ini. Hari yang mana telah lahir undang-undang yang menggariskan bahwa direksi dan komisaris badan usaha Punya negara (BUMN) bukanlah penyelenggara negara. Namanya UU No 1 Tahun 2025 tentang tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Punya Negara.
Ia diteken Presiden Prabowo pada 24 Februari 2025. Dalam Pasal 3X ayat 1 disebutkan bahwa organ dan pegawai badan bukan merupakan penyelenggara negara. Kemudian, pada Pasal 9G diatur bahwa Personil direksi, dewan komisaris, dan Dewan Pengawas BUMN bukan merupakan penyelenggara negara.
Sulit diterima kenapa petinggi BUMN bukan Tengah penyelenggara negara. Bukankah mereka mengelola badan usaha kepunyaan negara? Bukankah BUMN mendapatkan kucuran Doku atau Normal dikenal dengan penyertaan modal negara? Lampau apa konsekuensinya?
Dengan tanggalnya predikat sebagai penyelenggara negara, KPK terancam tak dapat Tengah menindak mereka Kalau terjadi dugaan korupsi. Rambu-rambu menghalangi itu. Pasal 11 ayat 1 UU No 19 Tahun 2019 mengatur bahwa KPK hanya Dapat mengusut dugaan korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang Eksis kaitannya dengan korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara.
Begitulah, tatkala negara butuh kekuatan lebih Demi menghadapi korupsi, satu Tengah kekuatan dikebiri. Betul bahwa KPK tak sehebat dulu. Tetapi, dengan mencabut mereka dari Laskar perang, kini praktis tinggal kejaksaan dan Polri yang dapat membabat para penjahat di BUMN. Padahal, fakta menunjukkan bahwa BUMN selama ini adalah ladang basah bagi mereka yang serakah.
Banyak sekali kasus korupsi di BUMN. Kagak sedikit direksi perusahaan pelat merah itu melakukan rasuah. Mari kita tengok Intervensi Indonesia Corruption Watch (ICW) ini. Sepanjang 2016 hingga 2021 atau selama enam tahun saja, terdapat 119 kasus korupsi di lingkungan BUMN yang disidik penegak hukum. Jumlah tersangkanya 340 orang. Banyak di antara kasus-kasus itu hasil jerih payah KPK.
Itu belum kasus-kasus yang diungkap selepas 2021. Jumlahnya lebih banyak Tengah, besaran korupsinya pun lebih wow Tengah. Korupsi di PT Timah yang merugikan negara Rp300 triliun, amsalnya. Rasuah di anak perusahaan PT Pertamina dalam kurun 2018-2023 yang per tahun merugikan negara sebesar Rp193,7 triliun, umpamanya. Gila enggak?
Korupsi di BUMN bak perlombaan. Adu culas siapa yang paling ganas memangsa Doku negara. Dulu publik geleng-geleng kepala ketika korupsi Jiwasraya selama 2008-2018 dinyatakan merugikan negara senilai Rp16,81 triliun. Dulu rakyat marah tingkat dewa tatkala terungkap korupsi di PT ASABRI 2012-2019 dengan kerugian sebesar Rp22,78 triliun. Rupanya itu Kagak Eksis apa-apanya Kalau dibandingan dengan kasus Timah dan Pertamina. Lampau, bukti apa Tengah yang hendak engkau ingkari bahwa praktik lancung di BUMN sama sekali tak boleh dikompromi?
Kenapa kerakusan tiada batas itu malah disikapi dengan mencabut status petinggi BUMN sebagai penyelenggara sehingga kemungkinan tak Dapat Tengah disentuh KPK? Presiden Prabowo Subianto di mana-mana menyatakan akan menghajar koruptor, menyikat habis koruptor, memburu koruptor Tiba Antartika, eh, tetiba lahir UU seperti ini. Serius banget, serius, atau pura-pura seriuskah pengelola negara ini menghadapi korupsi? Bingung saya.

