Puasa dan Transformasi Kuasa

Puasa dan Transformasi Kuasa
Puasa dan Transformasi Kuasa(MI/Seno)

BULAN puasa datang berpulang, mengajak kita jeda kerutinan. Ibarat musim gugur memberi pepohonan saat meranggas. Dedaunan jatuh luruh, gugur-tafakur, pulang ke akar, dan menyuburkan kehidupan. Sesungguhnya bejana kehidupan yang penuh jemu, susah menerima pengisian. Perut yang terus-terusan kenyang jadi biang penyakit. Hati yang mengejuju jenuh jadi perigi depresi. Organ yang tunak bergerak jadi mudah lapuk.

Sosok memerlukan jeda pengosongan, penyegaran, dan pengasoan. Sela puasa menjadi momen hibernasi untuk untuk memulihkan kesehatan jasmani-rohani. Sedemikian vitalnya, hingga Tuhan pun mengajak seluruh manusia melakukannya; menghargainya sebagai kado spesial buat-Nya.

Maksud puasa mengurangi kepenuhan perut, janganlah diisi gairah konsumsi dengan ritual melambungnya harga-harga. Maksud puasa melepas tekanan hati, janganlah disesaki asap pergunjingan dan permusuhan. Maksud puasa mengistirahatkan organ tubuh, janganlah ditambah beban pencernaan.

Pengurangan konsumsi bisa menurunkan kolesterol jahat dalam tubuh; berbagi gizi-kenikmatan pada sesama. Pengosongan perut bisa mengistirahatkan pencernaan; memberi efek detoksifikasi dan peremajaan sel-sel otak. Pelepasan tekanan hati, lewat zikir dan aneka ibadah, membebaskan jiwa dan penjara rutinitas masalah.

Dengan mengendalikan diri dari gravitasi syahwat bumi, roh manusia bisa mikraj ke langit tertinggi. Dengan melesat ke langit suci, mental manusia terbang dari kesadaran personal menuju transpersonal; dari kesadaran keseharian, menuju kesadaran terluhur.

Dari ketinggian penglihatan mata burung, kehidupan tampak sebagai pola interkoneksi yang menautkan segala sisi kehidupan. Horison penglihatan meluas dari pernik-pernik eksistensi sehari-sehari menuju eksistensi kosmik yang tak terhingga.

Dalam keluasan kesadaran kosmis, manusia menyadari betapa kesatuan tak bisa dipisahkan dari keragaman. Satu dalam semua, semua dalam satu. Dengan kesadaran transpersonal, timbul kehendak untuk membuka ruang berbagi. Ketabahan untuk menghadapi cobaan-ketidakpastian. Kesanggupan berdamai dengan misteri kehidupan. Riset pun membuktikan, orang-orang yang melakukan puasa, zikir, dan meditasi secara teratur pada saatnya akan lebih sadar, kurang stres, lebih positif, dan lebih sehat.

Dengan puasa sejati, derajat manusia ditinggikan kembali melampaui nilai kebendaan-kekuasaan. Bahwa nafsu menimbun harta, memperluas pengaruh, dan eksploitasi pengetahuan telah melalaikan manusia hingga membiarkan dirinya sekadar menjadi faktor produksi, budak kekuasaan, dan alat percobaan.

Dalam perbudakan nafsu duniawi ini, kehadiran agama yang mestinya pengemban misi keadilan, cinta kasih, dan kewarasan justru acap kali menjadi penasbih atau setidaknya membiarkan permusuhan dan kerusakan. Di manakah misi penyempurnaan akhlak jika agama hanya dijadikan kemasan pemasaran, pangkal pertikaian, dan dalih kekuasaan?

Keyakinan pun tak henti dijadikan sengketa interpretasi dalam persaingan pendakian kebenaran, sebagai amunisi dalam perebutan kuasa. Sedemikian rupa sehingga kita tak sempat menyaksikan perwujudan lain dari akhlak keagamaan selain dari nafsu ‘amarah’. Apabila agama sebagai landasan kritik terhadap berhala dan korupsi kebendaan, kekuasaan, dan pengetahuan telah menjadi fosil; sedangkan sumur moralitas lain pun mengering; bagaimana bisa yakin bahwa segala percobaan reformasi politik bisa berhasil tanpa basis etis yang menopangnya.

Cek Artikel:  Menuju Kualitas Demokrasi yang Lebih Tinggi

Epos demokrasi selama era reformasi memperlihatkan, betapa politik sebagai teknik mengalami kemajuan, tetaoi politik sebagai etik mengalami kemunduran. Etika dan politik bak minyak dengan air yang tak bisa dipersatukan. Elite politik lebih mengedepankan syahwat kepentingannya ketimbang kemaslahatan umum. Akrobat demi akrobat politik yang dipertunjukkan elite politik semakin jelas menunjukkan kelunturan moral kepemimpinan.

 

Momen reflektif

Jarak Ramadan memberi momen refleksi diri, memulihkan tenaga rohani untuk membakar benalu yang mengerdilkan moralitas. Ramadan memberi kesadaran bahwa hasrat menimbun, berkuasa, dan berpengaruh tak pernah ada puasnya kecuali dengan puasa. Pengendalian dirilah akar tunggang pengendalian sosial. Terdapatpun ibadah puasa bak kawah candradimuka pelatihan kendali diri.

Ibadah puasa, merupakan suatu usaha pengosongan diri dari kekenyangan dan kejumudan, dengan mengajak setiap individu untuk berjarak dari tarikan rutinitas duniawi demi memulihkan realitas dunia. Situasi pengosongan merupakan pangkal pemulihan adikrisis sebab tantangan terberat dalam situasi krisis tanpa kepemimpinan yang kuat adalah bagaimana menemukan basis spiritualitas yang mendorong ke arah penyehatan politik. Dari momen transendensi, yang meluluhkan sekaligus memperkuat diri, berturut-turut diharapkan bisa terengkuh pengetahuan/visi baru, ketegaran asketik, kemampuan empati, kelapangan altruistik, dan akhirnya kesadaran bahwa semua adalah satu.

Apabila rasa sensibilitas dan sosiabilitas itu telah tertanam, tantangan selanjutnya ialah menghidupkan kembali jiwa politik. Menambatkan kembali politik pada jangkar moralitas–sesuatu yang pada mulanya terintegrasi tetapi saat ini seperti air dengan minyak–merupakan hal yang fundamental untuk mentransformasikan kehidupan politik kita.

Di balik permukaan krisis ekonomi, sosial-budaya dan politik yang mendera, kita sesungguhnya tertanam penyakit spirit dan moralitas yang melanda jiwa bangsa. Kehidupan publik kita merefleksikan nilai-nilai moralitas kita, demikian pula sebaliknya. Sebegitu jauh, kehidupan politik selama ini lebih merefleksikan nilai-nilai buruk. Oleh karena itu, kehidupan politik baru memerlukan pengukuhan sumber daya spiritual yang berakar pada tradisi luhur keagamaan dan kebudayaan.

Dalam hal ini, kita dituntut untuk menyelamatkan pesan moral agama dalam kehidupan publik dari pengerdilan yang dilakukan dua ekstremis. Pertama, kaum revivalis lewat politisasi agama yang kerap mengklaim bahwa Tuhan berada di pihaknya–yang mengarah pada formalisme, triumphalisme, merasa benar sendiri, teologi kekerasan, dan memenjarakan Tuhan sebagai sesuatu yang partisan, yang akan membenarkan apa pun pilihan politiknya. Kedua, kaum ekstrem sekularis yang mengenyahkan Tuhan dari ruang publik, dengan berpretensi untuk memenjarakan agama di ruang privat yang memisahkan moralitas agama dari kehidupan politik.

Cek Artikel:  Guru Jadi Presiden

Kita harus menekankan keterpautan yang erat antara spiritualitas dan politik, dengan tetap mempertahankan batas-batas otoritas agama dan negara sehingga terhindar dari kehidupan keagamaan yang dikontrol negara serta kehidupan kenegaraan yang didikte agama. Tantangan ke depan, bagaimana mendukung diferensiasi agama dan negara tanpa memisahkan nilai-nilai moral dan spiritual dari kehidupan politik.

 

Transformasi kuasa

Kedatangan bulan puasa kali ini membersitkan makna khusus selepas bangsa Indonesia menjalani pesta demokrasi yang memecah, yang menandai retakan dalam imaji sejarah bangsa. Dalam tradisi Islam, ibadah puasa adalah tanda kemenangan; diwajibkan setelah pertempuran Badar, saat pasukan kecil dengan komitmen kebenaran dan keadilan bisa mengalahkan pasukan besar dengan jiwa penindasan dan keangkuhan. Puasa sebagai tanda kemenangan juga mewarnai sejarah bangsa. Kemerdekaan Republik Indonesia sebagai tanda kemenangan atas penjajahan diproklamasikan pada bulan puasa.

Berbeda dengan imaji puasa di awal kemerdekaan yang memijarkan harapan, bulan puasa tahun ini membiaskan imaji kegalauan. Politik yang mestinya menjadi katalis bagi integrasi sosial, dengan mentransendensikan warga dari irasionalitas komunalisme ke rasionalitas publik, malah menjadi sumber disintegrasi dan irasionalitas. Sepanjang masa kampanye pemihan umum, nilai-nilai etika agama dan Pancasila berulang kali ‘dibunuh’ serangkaian kampanye hitam.

Setelah 15 tahun reformasi digulirkan, politik menjadi berisik sebagai ‘ujaran kebohongan dan kebencian’ di sepanjang gonta-ganti peraturan dan prosedural dalam skala masif. Sebegitu jauh, belum ada tanda bahwa pelbagai perubahan itu kian mendekatkan bangsa ke jalur kemenangan. Berbagai perubahan yang terjadi tidak membawa transformasi dalam watak kekuasaan. Watak elite politik secara umum masih tetap bersifat narsistik; lebih melayani kepentingan sendiri dan kelompoknya ketimbang kepentingan bangsa secara keseluruhan.

Unsur pemimpin memang selalu memainkan peran penting dalam transformasi watak kekuasaan. Di masa krisis, pemimpin harus bisa mengatasi kelemahan institusional lewat kekuatan personal. Pemimpin harus menyadari pentingnya merawat harapan dan optimisme, dengan mengorbarkan tekad, kehendak, dan tindakan bersama, melalui keteladanan yang memberi inspirasi kepada rakyatnya untuk meraih kemuliaan hidup lewat kesediaan bergotong-royong merealisasikan kebajikan bersama.

Yang diperlukan memang pemimpin kuat yang berani mengambil keputusan yang sulit. Tetapi, tidaklah berarti bahwa kita harus memalingkan imaji kita kembali ke kepemimpinan yang bersifat represif. Yang diperlukan ialah pemimpin transformatif yang mengandalkan kekuatannya pada keteguhan menjalankan hukum dan etika kekuasaan.

Gerak lurus keteguhan kememimpinan dalam mengemban nomokrasi (rule of law) tidak hanya bergantung pada kualis kudanya, tetapi juga kekuatan pelananya. Rekayasa pelana institusional harus dirancang secara ketat untuk memastikan agar kuda bisa bergerak terus di jalan yang benar. Prinsip-prinsip pemilu yang mudah (simple) dan murah, rekrutmen kepemimpinan yang lebih menekankan daya otoritatif ketimbang daya beli, penyelenggaraan pemerintahan yang melayani publik secara transparan dan akuntabel, harus diinkorporasikan ke dalam desain institusi politik. Dalam buku Why Nations Fail (2012), Daron Acemoglu dan James A Robinson menunjukkan bukti-bukti yang meyakinkan, betapa pentingnya rancangan institusi politik dalam membentuk perekonomian, perilaku kolektif (budaya) dan watak kekuasaan, yang pada gilirannya menentukan keberhasilan dan kegagalan suatu bangsa.

Cek Artikel:  Program Dokter Asing Kebutuhan atau Kebingungan

Tetapi, betapa pun kuatnya pelana kendali yang kita siapkan, tidak ada jaminan pemimpin dapat mengemban tugasanya secara benar. Banyak di antara krisis dan kesulitan yang kita hadapi menyembunyikan krisis spiritual yang dalam. Kita menghadapi ancaman krisis lingkungan, ketika bumi tak lagi dipandang sebagai sesuatu yang suci, tetapi sekadar ‘sumber daya’ untuk dieksploitasi.

Keyakinan yang seharusnya membantu manusia untuk menyuburkan rasa kesucian, kasih sayang dan perawatan (khalifah) justru sering kali memantulkan rasa keputusasaan dan kekerasan zaman dalam bentuk terorisme, permusuhan, dan intoleransi.

Buat itu, selain menyiapkan pelana yang kuat, kita memerlukan transformasi spiritual yang mengarahkan warga bangsa pada kehidupan etis penuh welas-asih. Dalam proses transformasi ini, seperti ditekankan oleh Karen Armstrong dalam The Great Transformation (2006), persoalan agama bukan soal apa yang kita percaya, melainkan apa yang kita perbuat. Buat itu, agama tidak perlu meninggalkan kepercayaan dan ritualnya, tetapi perlu lebih menekankan pentingnya komitmen etis dengan menempatkan moralitas pada jantung kehidupan spiritualitas, bahwa satu-satunya cara untuk meraih kasih ‘Yang di Langit’ adalah dengan cara mengasihi ‘apa-apa yang ada di bumi’.

Kuasa dan agama harus ditransformasikan dari alat perampasan dan kekerasan menjadi wahana belajar melayani dan mengasihi. Ali bin Abi Thalib mengatakan, “Rakyat tidaklah akan menjadi baik kecuali penguasanya juga baik. Pun penguasa tidak akan baik kecuali dengan kelurusan rakyat. Maka, jika rakyat menunaikan kepada penguasa haknya, dan penguasa menunaikan kepada rakyat hak mereka, maka akan kuatlah kebenaran di antara mereka, dan berdiri tegak prinsip-prinsip agama dan rambu-rambu keadilan.”

Instrukturan puasa semoga menjadi momen restorasi mental menuju transformasi kuasa. Sekiranya semua warga mampu berpuasa sungguhan, gumpalan lemak yang berlebih di satu kelompok bisa disalurkan menjadi energi hidup bagi kelompok lain, tidak menjadi kolesterol keserakahan yang memicu kelumpuhan sosial.

Seperti dedaunan yang jatuh di musim gugur bisa memupuk rerumputan di bawah dan seketarnya. Sesekali kita pun perlu meranggas; membiarkan keakuan terbakar, tersungkur sujud; menginsafi kefanaan yang menerbitkan hasrat untuk berbagi, membuka diri penuh cinta untuk yang lain.

Mungkin Anda Menyukai