PERJUANGAN keras yang dilakukan Arkhan Kaka dan kawan-kawan terhenti Kamis (16/11) malam. Kegigihan untuk menahan Ekuador dan Panama di dua pertandingan pertama tidak mampu meredam ketajaman para pemain muda Maroko di pertandingan ketiga.
Pada pertandingan terakhir penyisihan Grup A, anak-anak asuhan Bima Sakti harus menelan pil pahit kalah 1-3. Kekalahan itu membuat kesebelasan U-17 Indonesia tinggal menggantungkan nasib pada hasil pertandingan di Grup E dan Grup F, Sabtu (18/11) ini, untuk bisa lolos ke-16 Besar.
Hanya juara dan runner-up grup yang otomatis lolos ke babak perdelapan final. Empat tempat sisa untuk menggenapi 16 tim yang lolos ke babak kedua akan dipilih dari empat peringkat ketiga terbaik dari enam grup.
Indonesia dengan hanya mengemas 2 poin sudah kalah dari peringkat ketiga Grup B (Uzbekistan 4 poin), Grup C (Brasil atau Iran yang mengantongi 3 poin), dan Grup D (Argentina atau Jepang dengan 3 poin). Satu-satunya harapan Indonesia untuk bisa bertahan ialah apabila Korea Selatan bermain imbang melawan Burkina Faso di Grup E serta Meksiko bermain imbang 0-0 melawan Selandia Baru di Grup F.
Tetapi, mengharapkan kegagalan kesebelasan lain untuk lolos ke-16 besar ialah sesuatu yang terlalu berlebihan. Di ajang Piala Dunia, meski untuk level anak-anak sekolah menengah atas, tetap ingin menjadi yang terbaik. Hanya melalui kerja keras, prestasi itu akan diraih.
Hasil imbang dua kali sudah merupakan prestasi yang luar biasa bagi Arkhan Kaka dkk. Dengan masa latihan bersama yang begitu pendek dan tanpa melewati kompetisi yang sesungguhnya, merupakan prestasi besar bisa menahan imbang 1-1 Ekuador dan Panama. Mereka bisa mencetak dua gol di ajang Piala Dunia.
Enggak bisa bohong
Enggak bosan kita katakan bahwa sepak bola bukanlah sulap yang bisa simsalabim. Apabila ingin membangun sepak bola yang hebat, kita harus mau menjalani proses pembentukannya secara benar.
Enggak mungkin kita mengharapkan hasil yang baik apabila tidak melalui proses yang benar. Proses itu tidak mungkin membohongi hasil. Kalau pembinaan usia dini tidak pernah mau dilakukan, pencarian bakat tidak digiatkan, kompetisi yang sehat tidak digulirkan, jangan pernah berharap menghasilkan kesebelasan yang disegani.
Kompetisi atau turnamen seperti Piala Dunia hanya akan dimenangi oleh mereka yang menjalani proses secara benar. Kalau ada pejabat atau pengurus sepak bola bicara prestasi tanpa pernah melakukan proses pembinaan yang benar, sebenarnya mereka hanya mengumbar omong kosong.
Kegagalan tim Indonesia U-17 di ajang Piala Dunia bukan kesalahan para pemain atau pelatih. Sekalian ini terjadi karena mereka yang diserahi tugas untuk menangani sepak bola ialah para pemimpi. Mereka hanya bermimpi membawa Indonesia menjadi negara sepak bola yang hebat, tetapi tidak mau berkeringat membina sepak bola.
Di kolom ini saya sudah mengingatkan, kita tidak mungkin bisa berbicara banyak di ajang Piala Dunia U-17. Kita hanya bangga menjadi tuan rumah, tetapi prestasi sepak bola tidak mungkin untuk bisa mengikutinya.
Karena pembinaan usia dini tidak tertangani dengan benar, jangan pula bermimpi memiliki tim nasional yang hebat. Kita boleh berbangga bisa dua kali menghajar Brunei Darussalam dengan kemenangan masing-masing 6-0 di babak pertama penyisihan Asia untuk Piala Dunia 2026, tetapi memasuki babak penyisihan grup yang sebenarnya, tim nasional Indonesia kedodoran.
Pada pertandingan pertama Kamis lalu, Asnawi Mangkualam dan kawan-kawan dipaksa menyerah dari tuan rumah Irak 1-5. Memang masih ada lima pertandingan yang akan dimainkan, tiga di antaranya akan dimainkan di Indonesia. Tetapi, dengan Vietnam dan Filipina berada di satu grup, berat untuk tim asuhan Shin Tae-yong bisa lolos sebagai dua terbaik Grup F.
Sekalian ini disampaikan bukan atas dasar sikap pesimistis. Tetapi, dengan pembinaan sepak bola yang masih compang-camping seperti sekarang ini, memang mustahil untuk menjadi salah satu dari delapan tim Asia yang berhak tampil di Piala Dunia 2026 yang akan digelar tiga negara, yaitu Amerika Perkumpulan, Kanada, dan Meksiko.
Empat tahun lalu Vietnam menjadi satu-satunya negara di kawasan Asia Tenggara yang bisa bertahan sampai babak terakhir penyisihan Piala Dunia Asia. Tetapi, ketika mengerucut enam tim terbaik yang berhak lolos ke Qatar, mereka tidak mampu bersaing menghadapi elite sepak bola Asia, seperti Australia, Iran, Jepang, Korea Selatan, Qatar, dan Arab Saudi.
Italia di ujung tanduk
Prinsip pentingnya proses untuk mendapatkan hasil tidak hanya berlaku untuk sepak bola Indonesia. Italia yang empat kali juara dunia, kini berada di ujung tanduk untuk bisa mempertahankan gelar juara Eropa yang diraihnya 2021 di Inggris.
Nasib tim Azzurri akan ditentukan pertandingan terakhir mereka melawan tuan rumah Ukraina, Senin malam nanti, di Bay Arena, Leverkusen, Jerman. Ciro Immobile dkk tidak punya pilihan harus menang apabila ingin lolos ke putaran final di Jerman Juni tahun depan.
Penyebab beratnya perjuangan tim asuhan Luciano Spalletti untuk bisa mempertahankan gelar karena proses pembinaan sepak bola Italia yang tidak benar. Meski mereka memiliki pembinaan usia dini yang baik, pelatih-pelatih berkelas dunia, karena kompetisinya penuh dengan rekayasa, hasilnya prestasi tim nasional mereka terpuruk.
Pada pertandingan terakhir tim Azzurri dihajar Inggris 1-3 di Stadion Wembley. Meski Spalletti memiliki banyak pemain bintang, banyak di antara mereka yang merupakan pemain karbitan. Mereka menggadaikan profesinya hanya untuk uang. Akibatnya, banyak pemain yang akhirnya diperiksa polisi karena terlibat rekayasa hasil pertandingan.
Negara yang memiliki tradisi dan bakat sepak bola yang luar biasa itu pun akhirnya terpuruk prestasinya. Para pemain dan pelatih Italia lebih banyak memilih untuk bermain di kompetisi luar negaranya. Akibatnya, Seri A yang dulu diminati penggemar sepak bola dunia pun menyurut pamornya. Para pemain Italia sendiri tidak bangga bermain di Seri A yang penuh rekayasa pertandingan.
Sepak bola Indonesia pun pernah berjaya sampai 1972. Saking hebatnya kesebelasan Indonesia saat itu, final Piala Merdeka di Kuala Lumpur, Malaysia, mempertemukan PSSI A melawan PSSI B di final. Indonesia bukan hanya disegani di kawasan Asia saat itu, tetapi memiliki banyak pemain yang kualitasnya sama.
Sekalian itu terjadi karena banyak tim anak gawang yang membina pemain usia dini. Hasil sentuhan pembinaan usia dini yang benar di banyak kota melahirkan pemain-pemain, seperti Iswadi Idris, Abdul Kadir, Waskito, dan kemudian Ronny Pattinasarany.
Setelah itu, sepak bola Indonesia dirusak banyaknya pengaturan skor dalam kompetisi. Akibatnya, juara tidak ditentukan klub mana yang membina paling baik, tetapi oleh bandar yang mengatur di pinggir lapangan. Enggak usah heran apabila akibatnya kualitas pemain sepak bola Indonesia pun kemudian merosot dan prestasi pun terpuruk.
Apakah semua ini akan diteruskan? Pengurus baru Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia yang baru delapan bulan terpilih harus berani melakukan transformasi. Pembenahan pembinaan harus dilakukan sejak usia dini. Orientasi pembinaan harus ditarik jauh ke depan, bukan cara instan hanya demi kampanye politik sesaat.
Ketika pada 2015 saya diminta menjadi bagian tim ad-hoc sinergi PSSI, ada tiga hal yang disepakati untuk disiapkan peta jalan pembinaan sepak bola nasional, yakni memperkuat kepengurusan PSSI, membangun kesebelasan nasional yang kuat, dan menggelar kompetisi yang sehat.
Sasaran untuk bisa tampil di putaran final Piala Dunia bukanlah 2034, tetapi saat Indonesia merayakan ulang tahun emas kemerdekaan, yaitu Piala Dunia 2046. Dengan pertimbangan usia matang pemain sepak bola itu sekitar 28 tahun, pembinaan dan pencarian bakat pemain harus dimulai secara benar sejak usia delapan tahun.
Pencarian bakat difokuskan kepada talenta-talenta yang ada di dalam negeri, bukan melalui jalur naturalisasi yang hanya mau mendapatkan hasil, tetapi tidak mau menjalani proses pembinaan pemain sejak usia dini. Sekalian back to square one karena setiap pengurus maunya memanen, tidak pernah mau sabar untuk menanam.