GURU Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia, Prof. Topo Santoso, menyoroti kelemahan dalam proses penuntutan dalam kasus Mardani Maming.
“Kesepakatan diam-diam tidak dikenal dalam hukum pidana. Ini hanyalah asumsi yang tidak didukung oleh bukti konkret,” tegas Topo dalam pernyataannya, Selasa (15/10).
Pendapat hukum yang sama disampaikannya saat bedah buku berjudul “Mengungkap Kesalahan dan Kekhilafan Hakim dalam Mengadili Perkara Mardani H. Maming” yang diadakan di Yogyakarta, pekan lalu. Kitab tersebut menyoroti proses persidangan yang dianggap penuh kekhilafan dalam kasus tindak pidana korupsi Mardani H. Maming. Topo merumuskan tiga isu hukum (legal issues) utama yang menjadi dasar kekhilafan tersebut pertama unsur “Menerima Hadiah” tidak tepat.
“Karena fakta-fakta yang dengan proses bisnis dan keperdataan seperti fee, dividen, dan hutang piutang ditarik seolah-olah sebagai keterpenuhan unsur ‘menerima hadiah” Hal ini lebih merupakan konstruksi dari Jaksa Penuntut Lazim (JPU) yang diterima oleh hakim,” jelasnya.
Kemudian, menurutnya penggunaan unsur “Sepatutnya Diduga” tidak tepat. Alasan unsur “sepatutnya diduga ” digunakan untuk menunjukkan culpa (kealpaan) terdakwa. Tetapi, menurut Topo, unsur ini tidak tepat diterapkan dalam konteks tindak pidana korupsi, yang seharusnya lebih menekankan pada opzet (kesengajaan).
Sementara itu, Guru Besar Hukum Tata Usaha Negara Undip, Yos Johan Penting, menyoroti dari sisi yang berbeda. Ia menegaskan salah satu elemen terpenting dalam tindak pidana korupsi adalah pembuktian kerugian negara. Hal ini yang ia tidak lihat dari kasus yang menimpa Mardani Maming.
“Dalam kasus ini, tidak ditemukan audit atau bukti yang menyatakan bahwa negara mengalami kerugian,” jelas Rektor Universitas Diponegoro periode 2015-2024 ini.
Lebih lanjut, Yos menyebut bahwa keputusan hakim dalam kasus ini terlalu dipaksakan. Ia menilai bahwa bukti yang ada tidak cukup kuat untuk mendukung dakwaan terhadap Maming. Menurutnya, tindakan Maming telah memenuhi seluruh persyaratan administrasi yang ditetapkan.
“Sistem peradilan kita harus memastikan bahwa setiap keputusan diambil dengan pertimbangan yang matang, berdasarkan fakta-fakta yang dapat dipertanggungjawabkan, sehingga keadilan bagi semua pihak dapat terwujud,” pungkasnya. (Nov)