Profesor Kehormatan

Profesor Kehormatan
(MI/Seno)

DULU profesor itu, ya, profesor. Sama artinya dengan guru besar. Begitu menurut Peraturan Pemerintah (PP) No 41 Tahun 2009 tentang Tunjangan Profesi Guru dan Dosen serta Tunjangan Kehormatan Profesor. Kemudian muncul kategori profesor tetap dan Enggak tetap.

LIPI, sebelum dilebur ke dalam BRIN, lewat Peraturan No 15 Tahun 2018 memunculkan istilah gelar ‘profesor riset’, sesuai dengan judul peraturan LIPI itu. Gelar itu diberikan Demi peneliti di lingkungan mereka sendiri.

Kemudian Kemendikbud-Ristek memunculkan Predikat ‘profesor kehormatan’.

Lantas apa beda profesor tetap dengan profesor Enggak tetap? Kalau profesor tetap itu mendapat tunjangan kehormatan dari pemerintah, artinya dari APBN. Jadi, yang kehormatan itu tunjangannya. Profesor Enggak tetap itu tunjangan kehormatannya dari perguruan tinggi yang mengangkatnya.

Jadi, yang Eksis itu ialah tunjangan kehormatan Demi profesor. Beda dengan dosen yang belum profesor; tunjangannya Enggak diberi embel-embel kehormatan. Ini bukan hanya karena nilai tunjangannya berbeda, melainkan juga Predikat itu sekaligus menunjukkan derajat seorang guru besar di tengah-tengah sejawat sesama dosen.

Kalau doktor kehormatan memang Eksis, doctor honoris causa atau Dr (HC), walaupun Eksis juga bahasa pelesetan, Yakni ‘doktor humoris causa‘. Dalam catatan saya, orang pertama yang Membangun pelesetan itu ialah seorang humoris juga, Yakni Arswendo Atmowiloto. Enggak menutup kemungkinan Eksis juga bahasa pelesetan yang dibuat Demi kata profesor.

Cek Artikel:  Sayantansi Berkelanjutan di Indonesia Bukan Sekadar Soal Fulus, Tapi Masa Depan

 

Professorship dan profesionalisme

Profesor beda dengan doktor. Bukan hanya beda istilah, melainkan juga substansi. Doktor itu ialah gelar. Gelar bagi yang berhasil menempuh jenjang pendidikan formal tertinggi. Sebaliknya, profesor itu ialah pangkat. Pangkat akademik tertinggi yang disandang seorang dosen.

Kalau di dunia militer Eksis pangkat tertinggi, Yakni jenderal, marsekal, atau laksamana. Cita-cita karier seorang perwira militer ialah menjadi jenderal, sedangkan cita-cita karier seorang dosen ialah menjadi profesor.

Profesor Mempunyai akar kata yang sama dengan kata profesi. Berasal dari kata Latin professio. Bahasa yang semula digunakan di lingkungan gereja. Artinya kurang lebih sama dengan ‘tahbis’. Di dalam tradisi Islam disebut baiat. Mirip dengan kata sumpah, tapi beda dengan sumpah jabatan.

Professio ialah sumpah yang lebih mengandung nilai sakral dan intrinsik. Professio ialah ritus ketika seorang calon biara atau biarawati, setelah melalui tahapan penempaan rohani yang panjang dan rumit akhirnya memutuskan, berjanji akan mempersembahkan seluruh hidupnya Demi melayani Tuhan.

Cek Artikel:  UU Nomor 172023 tidak Memberi Solusi Kesulitan Akses dan Antrean Panjang Rawat Inap Pasien BPJS

Mirip seperti itulah proses yang Sepatutnya dilalui seorang dosen, hingga pada akhirnya meraih predikat profesor. Kurang lebih sama bagi orang yang telah memilih karier di dunia militer, hingga akhirnya meraih pangkat tertinggi, Yakni sebagai jenderal.

Dalam hal pemberian pangkat kehormatan di dunia militer, setahu saya belum pernah Eksis orang yang Enggak meniti karier di bidang militer yang kemudian memperoleh pangkat jenderal kehormatan, kecuali di era Orde Lamban beberapa pejabat sipil diberi pangkat tituler jenderal.

Agak beda, kalau di dunia perguruan tinggi, karena kepentingan, Argumen, atau pertimbangan tertentu seseorang Bisa diberi pangkat profesor kehormatan sekalipun yang bersangkutan bukan seorang dosen.

Seorang profesor ialah orang yang telah melakukan ‘profes’ bahwa seluruh hidupnya akan diabdikan kepada ilmu pengetahuan yang telah begitu ia cintai dan ditekuni, termasuk membimbing sejawatnya yang lebih junior. Beda tipis dengan Definisi profesional. Seorang profesional ialah ia yang telah melakukan ‘profes’ Demi mengabdikan hidupnya kepada bidang keahlian yang telah ia kuasai dan geluti.

Hasil karya seorang profesor dan seorang profesional harus bermanfaat Demi masyarakat luas, dan berpantang keras atas hal yang sebaliknya, Yakni kepakaran atau keahliannya itu merugikan atau mengorbankan masyarakat luas. Itulah sebabnya syarat dari professorship dan profesionalisme sama. Berkualitas kepakaran dalam ilmu maupun keahlian dalam pekerjaan apa pun dituntut adanya tanggung jawab sosial.

Cek Artikel:  Konflik Militer-Etnik Karen di Myanmar dan Ancaman Instabilitas Regional

 

Ibarat dokter gadungan

Lebih lanjut, Kalau merujuk pendapat Prof Samuel P Huntington; Berkualitas professorship maupun profesionalisme menuntut adanya rasa kesejawatan (sense of corporateness). Di dunia militer disebut esprit de corps atau jiwa korsa. Sama dengan jalan menuju profesor, Demi meraih derajat profesional, kata Huntington, harus melalui pendidikan dan pemagangan yang Lamban, bertahap, berjenjang dengan tingkat kesulitan yang sangat tinggi. Juga mesti melewati uji kompetensi yang dilakukan sejawatnya yang lebih dulu meraih derajat keahlian dan lebih berpengalaman.

Dengan menempuh proses tersebut, pada akhirnya yang bersangkutan diakui sebagai Ahli di bidang pekerjaan tertentu sekaligus sebagai bagian dari sejawat. Dengan demikian, Bisa dipastikan Enggak Eksis orang yang Bisa menjadi Ahli tanpa melalui proses pendidikan dan pemagangan tersebut. Dia Niscaya juga Enggak akan memperoleh pengakuan karena dia bukan bagian dari sejawat.

Bandingkanlah dengan, misal, profesi dokter. Salah satu profesi yang tergolong Sepuh dan sangat mapan. Kalau Eksis dukun yang dapat menyembuhkan orang sakit, bahkan Bisa menghidupkan orang Tewas sekalipun; dia Enggak akan pernah diangkat menjadi dokter kehormatan. Kalau dia berani menyandang gelar dokter, dia akan disebut dokter gadungan alias dokter abal-abal.

Mungkin Anda Menyukai