SEJAK Raja Salman atau lebih tepatnya Putra Mahkota Mohammed bin Salman (MbS) mencanangkan kebijakan emansipasi perempuan dan kesetaraan gender, khususnya di dunia pekerjaan dan pendidikan, beberapa tahun silam, banyak publik Saudi dan bahkan masyarakat internasional yang menyambutnya dengan gegap gempita. Sebagian bersukacita, sebagian lagi ‘berdukacita‘. Yang lain acuh dan biasa saja.
Di Arab Saudi, sejauh yang saya amati selama puluhan tahun tinggal, mengajar, dan riset di negara-kerajaan itu, gagasan dan praktik emansipasi perempuan disambut dengan pro-kontra karena sejumlah alasan yang mereka anggap fundamental. Jadi, ada kelompok yang menyambut positif dan riang gembira, tetapi ada pula yang kontra, mengkritik, dan mencemaskan kebijakan serta praktik emansipasi perempuan. Selain amatan atau observasi pribadi, tulisan ini juga berdasarkan informasi yang disampaikan oleh para kolega dan murid Saudi saya.
Baca juga : Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz Al-Saud Alami Peradangan Paru-paru
Golongan pro emansipasi
Di antara kelompok yang pro dan menyambut positif ialah kaum perempuan (khususnya pemudi). Kaum perempuan tentu saja menyambut gembira. Bidang pekerjaan yang dulu dibolehkan oleh pemerintah dan ‘rezim agama‘ hanya terbatas pada guru sekolah dan perawat (khususnya untuk pasien perempuan). Itu pun harus berkompetisi dengan pekerja ekspat (khususnya warga Arab non-Saudi, Filipina, India, atau Pakistan). Tetapi, kini nyaris tak terbataskan.
Muridku pernah berkisah, kalau dulu saudara perempuannya pernah mengantre pekerjaan guru SD selama lebih dari 10 tahun karena ketatnya persaingan kerja lantaran keterbatasan slot (jatah) atau sektor pekerjaan yang tersedia dan diperbolehkan bagi mereka untuk melamar.
Baca juga : Kartini dan Emansipasi bagi PRT
Tetapi, sekarang perempuan boleh melamar di hampir semua sektor pekerjaan, termasuk keamanan, transportasi, dan turisme. Karena itu, jangan heran kalau sekarang di banyak tempat umum seperti bandara, stasiun, tempat wisata, klinik, RS, toko, bank, mal, restoran, kampus, pabrik, kantor, dsbnya (termasuk di kampus tempat saya bekerja), banyak dijumpai para pekerja atau petugas perempuan yang dulu nyaris susah ditemui.
Para pengemudi angkutan umum, termasuk taksi, bus, dan KA, juga banyak dijumpai kaum perempuan. Dengan bekerja, perempuan akan mendapatkan gaji atau penghasilan untuk memenuhi sejumlah keperluan hidup mereka. Karena itu, wajar jika mereka menyambut emansipasi perempuan dengan riang gembira.
Selain perempuan, para orangtua, khususnya mereka yang mempunyai banyak anak perempuan, juga ikut senang. Mereka senang karena dengan diperbolehkannya bekerja di berbagai sektor publik, secara otomatis dapat mengurangi beban finansial dan belanja keluarga, setidaknya untuk anak perempuan mereka.
Baca juga : Hari Kartini jadi Momentum Pemerintah Tuntaskan Regulasi Perlindungan Perempuan
Dengan kata lain, emansipasi berdampak pada kemandirian perempuan secara finansial yang tidak lagi tergantung pada laki-laki, baik suami maupun ayah. Bahkan, menurut penuturan para muridku, orangtua yang dulunya menabukan perempuan bekerja di sektor publik karena alasan doktrin keagamaan tertentu ikutan berubah haluan setelah merasakan manfaatnya.
Selanjutnya, kelompok moderat agama juga menyambutnya dengan sukacita. Bagi mereka, kebijakan emansipasi perempuan akan membuat kaum hawa lebih otonom, bebas, dan merdeka (tidak selalu berada di bawah supremasi, kontrol, dan otoritas laki-laki dalam urusan sosial-ekonomi).
Selain itu, mereka berargumen bahwa perempuan sudah selayaknya mandiri dalam berekspresi karena para istri dan anak–anak nabi pun tidak dikekang dalam hal pendidikan dan mencari nafkah, misalnya berdagang. Bagi mereka, pembatasan dan pengekangan ruang-gerak kaum perempuan justru kontradiktif dengan praktik kenabian dan spirit Islam yang humanis, emansipatoris, dan membebaskan.
Baca juga : Mengenal Sosok dan Perjalanan Hidup Raden Ajeng Kartini
Golongan kontra emansipasi
Kelompok yang kontra emansipasi perempuan setidaknya ada tiga, yaitu kubu ultrakonservatif agama (Islam), ‘Saudis‘ (para penjaga identitas sejarah dan kultural Saudi), dan (sebagian) pemuda. Terdapat sejumlah alasan kenapa mereka cenderung kontra.
Pertama, alasan yang bersifat teologi-keagamaan. Misalnya, kebijakan emansipasi perempuan dianggap tidak sesuai dengan ajaran normatif Islam atau lebih spesifik lagi doktrin Salafi-Wahabi-Hambali sebagai faksi muslim dan mazhab pemikiran-hukum Islam dominan di Arab Saudi.
Bagi mereka, tempat dan ‘kodrat‘ perempuan ialah di ruang domestik (di dalam rumah untuk melayani suami, menyediakan makanan, merawat anak, dll) bukan di sektor publik (misalnya bekerja di luar rumah). Dunia publik adalah ‘dunia laki-laki’.
Kedua, alasan yang bersifat sosio-kultural. Misalnya, kebijakan emansipasi perempuan dianggap sebagai produk kebudayaan asing, khususnya Barat yang ‘kafir‘, dan tidak sesuai atau berlawanan dengan ajaran, doktrin, nilai, dan norma keislaman, kearaban, atau kesaudian.
Ketiga, alasan yang bernuansa psikologis seperti kekhawatiran terhadap proses perubahan dramatis masyarakat Saudi menjadi ‘lebih liberal-sekuler‘ sehingga ciri khas dan identitas Saudi selama ini sebagai negara dan masyarakat islami menjadi luntur atau bahkan musnah.
Keempat, bagi pemuda khususnya, kebijakan emansipasi perempuan membuka peluang semakin ketatnya persaingan (kompetisi), bukan hanya dalam memperebutkan lapangan pekerjaan, melainkan juga akses masuk ke perguruan tinggi atau kesempatan mendapatkan beasiswa. Bisa dimengerti kenapa kaum pemuda cemas karena jika dulu kompetisi hanya dengan sesama laki-laki, kini ditambah perempuan. Oleh karena itu, kesempatan atau peluang bagi pendaftar laki-laki untuk berhasil mendapatkan pekerjaan, beasiswa, atau masuk perguruan tinggi menjadi semakin kecil.
Kelima, menipisnya peluang membangun ikatan pernikahan pada masa depan. Dalih ini khususnya bagi pemuda yang belum menikah. Bagi pemuda Saudi, karena dipengaruhi oleh ajaran Hambali, laki-laki ialah mutlak kepala rumah tangga yang bertanggung jawab penuh terhadap segala urusan rumah tangga, termasuk masalah finansial. Karena itu. mereka tidak berani menikah jika belum mendapatkan pekerjaan layak.
Pada saat yang sama, mereka juga tidak berani menikahi perempuan yang sudah memperoleh pekerjaan layak, sedangkan mereka belum. Selain faktor gengsi, ‘pamali‘ juga bagi laki-laki Saudi karena dianggap bisa menurunkan martabat dan harga diri sebagai seorang lelaki yang seharusnya ‘memimpin‘ perempuan dalam segala hal, termasuk urusan keuangan dan kesejahteraan.
Sementara itu, kaum perempuan Saudi sendiri cenderung tidak mau menikahi laki-laki yang tidak mempunyai pekerjaan layak. Informasi itu saya dapatkan dari hasil perbincangan dengan murid-murid saya para mahasiswa (laki-laki) Saudi.
Elemen inilah, antara lain, yang turut memengaruhi penurunan angka pernikahan dini, penundaan pernikahan, serta meningkatnya populasi warga yang tidak menikah. Tren itu bisa dilihat dari data yang dikeluarkan oleh Saudi General Authority for Tetaptics, sebuah badan resmi pemerintah yang bertanggung jawab untuk mengumpulkan data dan melakukan survei secara nasional.
Misalnya, pada 2020, sekitar 66% pemuda/pemudi Saudi yang berusia antara 20-40 tidak menikah (hanya 32% yang menikah). Dari data itu, jika dibandingkan antara laki-laki dan perempuan, persentase laki-laki yang tidak menikah tampak lebih tinggi, sekitar 75%, sedangkan perempuan sekitar 56%.
Meski ada sejumlah faktor mendasar, persoalan tingginya biaya hidup dan mahalnya biaya pernikahan (dari pertunangan, mahar, hingga pesta/resepsi pernikahan) menjadi alasan yang utama. Menurut informasi dari murid-murid saya, biaya mahar sekitar SR50 ribu (sekitar Rp200 juta), sedangkan biaya pernikahan minimal sekitar SR100 ribu (sekitar Rp400 juta). Tentu saja itu sangat sulit dan berat bagi laki-laki yang belum mendapatkan pekerjaan layak.
Bahkan, terkadang ada dari anggota keluarga perempuan (orangtua, saudara) yang meminta ini-itu secara khusus pada calon mempelai laki-laki sehingga semakin memberatkan. Karena alasan itulah, kenapa di Arab Saudi ada para dermawan atau lembaga tertentu–meskipun terbatas—yang terkadang mensponsori pernikahan, membantu meringankan biaya.
Saya kadang bertanya kepada para murid saya, ‘jika menikah kelak, apakah Anda akan memilih poligami atau monogami?‘ Serentak mereka menjawab sambil berkelakar, “Jangankan beristri empat, satu saja belum tentu dapat“.
Pengaruh positif emansipasi perempuan
Terlepas adanya pro-kontra di masyarakat, kebijakan emansipasi perempuan dan kesetaraan gender membawa dampak baik dan positif bagi Arab Saudi. Misalnya, adanya penurunan angka pengangguran bagi perempuan serta surplus sarjana perempuan yang banyak berkiprah di masyarakat.
Kaum perempuan juga memberi kontribusi penting bagi tumbuhnya perekonomian nasional. Kini dunia publik Saudi, termasuk para elite masyarakat, pejabat, politisi, penasihat pemerintah, pengusaha, ilmuwan, anchor media, akademisi bukan hanya dipenuhi sosok laki-laki, melainkan juga perempuan.
Di universitas tempat saya mengajar (King Fahd University of Petroleum & Minerals), sejak beberapa tahun silam juga sudah banyak terlihat kaum perempuan yang bekerja sebagai peneliti, dosen, staf administrasi, atau sebagai mahasiswa, baik S–1, S–2, maupun S–3. Sebelumnya, kampus ini hanya berisi kaum lelaki.
Fenomena itu membuat pemandangan Arab Saudi masa kini betul-betul berubah dan berbeda 180 derajat dengan masa sebelumnya, khususnya sejak 1980–an, ketika negara-kerajaan monarki absolut ini mulai dikontrol oleh kelompok ultrakonservatif Islam yang sangat tertutup dan militan (dikenal dengan nama Absahwa) yang membatasi secara ketat ruang gerak kaum perempuan di sektor publik, termasuk dalam hal profesi dan mendapatkan akses pekerjaan dan pendidikan.
Overdosis penyerapan dan internalisasi doktrin, teks, dan wacana keagamaan memang sering kali membuat para pelakunya ‘kebablasan’ dalam menjalankan ajaran keagamaan mereka serta dalam batas tertentu kehilangan akal sehat. Padahal, seperti laki-laki, bukankah sudah selayaknya kalau perempuan juga mendapatkan hak dan kesempatan yang sama sebagai sesama makhluk Tuhan?