Liputanindo.id – Seorang pria asal Singapura dijatuhi hukuman 20 bulan penjara karena menjalankan bisnis prostitusi online. Bisnis itu mempekerjakan istrinya yang menderita HIV akibat tertular dari pelaku.
Pelaku yang identitasnya dirahasiakan itu mengaku bersalah atas empat dakwaan berdasarkan Piagam Perempuan karena hidup dari peghasilan pekerja seks, mempekerjakan pacarnya untuk pekerja seks, dan menawarkan layanan seksual melalui Telegram, demikian dikutip CNA, Selasa (23/7/2024).
Berdasarkan putusan pengadilan, 14 dakwaan lainnya masih dipertimbangkan dalam hukuman.
Kasus prostitusi online yang melibatkan istri positif HIV ini bermula pada tahun 2014 ketika mereka masih berstatus pacaran. Pelaku mengaku bahwa dia positif HIV dan menyarankan wanita yang saat itu berstatus kekasihnya untuk menyediakan layanan seksual.
Layanan seksual itu diminta oleh pelaku agar mereka bisa menghasilkan uang dengan cara cepat. Hal ini karena mereka tinggal bersama dan tidak memiliki cukup banyak uang untuk menyewa rumah.
Semula, wanita itu tidak setuju dengan ide pelaku namun akhirnya mengikuti permintaannya dengan alasan uang.
Prostitusi online ini pun dijalankan mereka dari tahun 2014 hingga 2018. Pelaku menjual pacarnya di daerah Geylang, dan menunggu di sepanjang jalan sementara pelaku mencari pelanggan untuknya.
Setelah mendapat pelanggan, pelaku mengantar kekasihnya ke hotel dan menunggu di luar sampai mereka selesai. Pelaku akan meminta pacarnya untuk menelepon bila terjadi masalah.
Demi mencari pelanggan, pelaku memasang tarif sebesar 70 dolar Singapura (Rp843 ribu) hingga 90 dolar Amerika (Rp1 juta) tergantung pada jenis layanan yang diberikan.
Pacarnya positif HIV, tapi masih jadi pekerja seks
Pada bulan September 2017, wanita tersebut dirawat di rumah sakit dan didiagnosis mengidap HIV. Mereka berdua tahu dia tertular dari pelaku.
Meski mengetahui kondisinya positif HIV, bisnis prostitusi online itu masih terus dijalankan. Pelaku meminta kepada pacarnya untuk tidak memberi tahu pelanggan tentang kondisi kesehatannya.
Permintaan ini agar para pelanggan tidak menolak jasa seks yang ditawarkan oleh pelaku. Perempuan itu pun setuju meski tahu ada risiko menularkan HIV kepada pelanggan.
Di sisi lain, mereka berdua tahu bahwa mereka diwajibkan oleh hukum untuk memberi tahu pasangan seksualnya tentang risiko tertular infeksi HIV dari perempuan tersebut sebelum melakukan aktivitas seksual.
Selain itu, perempuan tersebut juga tidak mematuhi pengobatan antiretroviral (ART) dari Februari 2018 hingga Mei 2018.
Perempuan itu akhirnya berhenti menjalankan bisnis prostitusi online ketika dia tahu dirinya hamil anak pelaku pada tahun 2018.
Setahun melahirkan diminta jadi pekerja seks
Setahun setelah melahirkan anaknya, pelaku meminta perempuan itu yang kini berstatus istrinya untuk kembali bekerja menjadi pelayan seks. Hal ini karena biaya keluarga dengan anak membengkak. Keduanya menikah pada Juli 2018.
Setelah terpaksa, perempuan itu akhirnya menyetujui dan kembali menjadi pekerja seks. Meski tidak menyukai pekerjaan itu, perempuan itu menyadari bahwa mereka membutuhkan uang dengan tarif yang sama.
Kali ini pelaku mencari pelanggan dengan mengiklankan istrinya di Telegram. Dia menyamar sebagai istrinya dan berhubungan dengan calon pelanggan, memberi tahu mereka tentang tarif dan mengatur janji temu.
Perempuan tersebut akan memberikan layanan seksual di hotel atau ruang tamu kediaman mereka. Terkadang, anaknya tertidur di rumah saat pekerjaan seks sedang berlangsung.
Di lain waktu, pelaku akan membawa anak tersebut ke dek kosong ketika pelanggan datang.
Kekasih tersebut menyediakan kondom kepada pelanggan dan meminta mereka menggunakannya, sembari menyembunyikan fakta bahwa perempuan tersebut positif HIV. Tetapi, tidak semua pelanggan menggunakan kondom.
“Bahkan setelah perempuan tersebut pindah pada bulan Desember 2020 karena masalah rumah tangga, pekerjaan seks mereka tetap berjalan,” menurut dokumen pengadilan.
Istrinya buat laporan ke polisi
Pada 15 Maret 2022, pelaku mengirim pesan kepada istrinya untuk menceritakan tentang seorang pelanggan. Perempuan tersebut menolak melayaninya dan mengatakan dia tidak ingin lagi menjadi pekerja seks.
Selain itu, istrinya juga memberi tahu ayahnya soal pekerjaan yang dilakukan mereka selama ini. Tetapi pelaku meminta istrinya untuk tidak memberi tahu siapapun dan memintanya untuk memblokir ayahnya serta menghapus nomor teleponnya.
Tak terima dengan keputusan itu, istrinya memilih untuk membuat laporan ke kantor polisi.
Pelaku pun ditangkap oleh polisi dan menjalani pemeriksaan secara intens. Dari ponsel yang disita sebagai barang bukti, pelaku menghapus seluruh percakapan dengan pelanggan.
Meski demikian, penyidik mengungkap bahwa pelaku setidaknya sudah melakukan percakapan dengan calon pelanggan sebanyak 12 orang di Telegram antara Desember 2021 dan Maret 2022.
Selama persidangan jaksa meminta hukuman penjara 21 hingga 22 bulan bagi pelaku, dengan mengatakan bahwa jangka waktu pelanggarannya cukup besar, yaitu sekitar empat tahun.
Pelaku telah menggunakan properti perumahan untuk prostitusi dan menginstruksikan perempuan tersebut untuk melayani pelanggan meskipun mengetahui kondisinya dan kewajibannya untuk mengungkapkan status HIV-nya.
Mereka yang mengidap HIV tidak lagi diwajibkan secara hukum untuk mengungkapkan risiko tertular HIV kepada pasangan seksualnya selama mereka masih mempertahankan viral load tidak terdeteksi setidaknya selama enam bulan, berdasarkan RUU yang disahkan di Parlemen pada bulan Maret.
Sejauh ini tidak diketahui apakah ada pelanggan yang tertular HIV dari perempuan itu. Sementara pelaku menjalani hukuman 22 bulan penjara akibat perbuatannya.