Presiden bukan Jabatan Ilmiah

PEMBICARAAN seputar syarat calon presiden (capres) bergelar sarjana Lanjut bergulir liar. Setelah gagal masuk undang-undang, kini diperjuangkan lewat Mahkamah Konstitusi (MK), seakan-akan presiden itu jabatan akademik.

Sudah dua kali MK menggelar sidang uji materiel Pasal 169 huruf r Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Lazim yang mengatur syarat pendidikan calon presiden dan wakil presiden. Sidang terakhir digelar pada 17 Juni 2025 dan dipimpin Wakil Ketua MK Saldi Isra.

Syarat capres yang diatur Pasal 169 huruf r berbunyi berpendidikan paling rendah tamat sekolah menengah atas, madrasah aliah, sekolah menengah kejuruan, madrasah aliah kejuruan, atau sekolah lain yang sederajat.

Pemohon perkara nomor 87/PUU-XXIII/2025 ialah Hanter Oriko Siregar dan Horison Sibarani. Mereka menilai ketentuan yang hanya mensyaratkan pendidikan paling rendah sekolah menengah atas atau sederajat Bukan memadai Demi menjamin kualitas kepemimpinan nasional.

Sebelumnya, dalam sidang perdana di MK pada 3 Juni 2025, Hanter menyatakan pendidikan setingkat SMA hanya memberikan pengetahuan Lazim dan Bukan membekali peserta didik dengan pemahaman yang komprehensif tentang tata kelola negara.

Karena itulah, pemohon menilai Pasal 169 huruf r inkonstitusional sepanjang Bukan dimaknai berpendidikan paling rendah lulusan sarjana strata satu (S-1) atau yang sederajat.

Cek Artikel:  Kolonialisme Ekonomi

Syarat capres berpendidikan paling rendah S-1 bukanlah wacana baru. Muncul sebelum Pemilu 2004 pada Begitu pembahasan UU 23/2003 tentang Pilpres.

Begitu itu, Member DPR ribut sendiri karena kriteria sarjana itu Jernih dimaksudkan Demi mengganjal Megawati Soekarnoputri yang pendidikan formalnya Sekadar SMA. Akhirnya disepakati capres berpendidikan serendah-rendahnya SLTA atau sederajat yang berlaku hingga kini.

Isu itu kembali mengguncang Senayan menjelang Pemilu 2009. Tiga fraksi di DPR mengusulkan syarat pendidikan presiden minimal sarjana dalam pembahasan UU 42/2008 tentang Pilpres. Tiga fraksi itu ialah Partai Keadilan Sejahtera, Partai Damai Sejahtera, dan Partai Amanat Nasional.

Tiga fraksi itu memasukkan usul pendidikan sarjana dalam daftar inventaris masalah Rancangan Undang-Undang Pemilihan Lazim Presiden dan Wakil Presiden. Bahkan, RUU Pilpres yang disiapkan Departemen Dalam Negeri (sekarang Kementerian Dalam Negeri) pada 2007 juga mengusulkan syarat pendidikan minimal S-1 Demi presiden.

Syarat pendidikan capres minimal sekolah lanjutan atas berlaku hingga terbit UU 7/2017 yang menjadi dasar penyelenggaran Pemilu 2019 dan Pemilu 2024. Presiden memang bukan lembaga akademik yang mengharuskan berpendidikan sarjana.

Perdebatan soal syarat pendidikan calon presiden muncul karena konstitusi hanya memuat aturan-aturan pokok. Ketentuan pokok dalam Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 hanya menyebutkan presiden ialah orang Indonesia Asli.

Cek Artikel:  Tersentak Reog

Perubahan ketiga UUD 1945 pada 9 November 2001 menambah panjang syarat Demi menjadi presiden dan wakil presiden. Pasal 6 ayat (1) itu menjadi berbunyi, ‘Calon presiden dan calon wakil presiden harus seorang Kaum negara Indonesia sejak kelahirannya dan Bukan pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, Bukan pernah mengkhianati negara, serta Pandai secara rohani dan jasmani Demi melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai presiden dan wakil presiden’.

Pasal 6 ayat (2) perubahan ketiga UUD 1945 menyebutkan syarat-syarat Demi menjadi presiden dan wakil presiden diatur lebih lanjut dengan undang-undang.

Undang-undang yang dibuat Demi mengatur syarat menjadi presiden Bukan boleh mengandung ayat yang meniadakan roh aturan-aturan pokok konstitusi. Setiap ayat yang bertentangan dengan semangat konstitusi itu sesungguhnya ialah sebuah kejahatan. Sebuah Revolusi terhadap konstitusi.

Konstitusi Bukan memerintahkan adanya persyaratan yang berkaitan dengan jenjang pendidikan. Sejatinya presiden itu bukan jabatan ilmiah yang membutuhkan pendidikan sarjana. Karena itu, MK hendaknya Bukan kebablasan dalam memutuskan perkara terkait dengan syarat sarjana Demi presiden dan wapres.

Cek Artikel:  Koperasi Pelat Merah Berwatak Korporasi

Intervensi survei Indikator (2013) patut dipertimbangkan bahwa tingkat persentase kriteria jujur/dapat dipercaya/amanah (51%) jauh meninggalkan kriteria lainnya, seperti tegas (7%), berwibawa (3%), ataupun pintar (1%) sebagai Elemen terpenting bagi pemilih Demi memilih presiden.

Kriteria jujur/dapat dipercaya/amanah itu Bukan didapatkan di bangku kuliah. Survei Integritas Pendidikan 2024 yang dilakukan KPK menemukan peserta didik yang menyontek walaupun Paham perbuatan tersebut Bukan Bagus sebesar 44,75%. Peserta didik yang ikut menyontek/plagiat karena Menyantap orang lain (20,69%) dan plagiarisme (44,59%).

Mestinya, kriteria Istimewa seorang calon presiden ialah integritas diri, empati pada persoalan rakyat, dan Mempunyai kompetensi. Integritas dan empati Bukan diperoleh dari dunia pendidikan tinggi. Itu masalah etika dan moralitas, dua soal yang Malah amat diabaikan sistem pendidikan tinggi.

Hanya kriteria kompetensi yang Dapat didapatkan dari pendidikan tinggi. Akan tetapi, kompetensi tanpa dilandasi etika dan moralitas hanya menghasilkan pemimpin korup. Bukankah 87% koruptor di negeri berpendidikan sarjana?

Elok nian bila bangsa ini menghentikan kebiasaan mencari-cari kriteria yang aneh-aneh Demi calon presiden. Bangsa ini Bukan membutuhkan capres berijazah sarjana, apalagi bila ijazah itu didapatkan dengan Metode Bukan Betul alias ijazah Palsu. Cukup kriteria Dapat baca dan tulis.

Mungkin Anda Menyukai