Prabowo, Geopolitik Kekuatan, dan BRICS

Prabowo, Geopolitik Energi, dan BRICS+
(MI/Seno)

KOMPETISI kontrol transnasional terhadap mineral kritis (critical mineral) kian memanas dengan bertumbuhnya sentimen Kekuatan hijau dan digitalisasi. Raksasa industri dari Mendunia North–Tiongkok, AS, dan Eropa–menguasai teknologi, sementara SDA terkonsentrasi di Mendunia South. Potensi kemakmuran dunia promosi ‘praktik neo-liberalism‘ terbentur dengan nasionalisme SDA Mendunia South yang berupaya naik kelas menjadi negara maju.

Dari perspektif Indonesia, pertarungan para raksasa itu cekal asa industrialisasi mineral kritis dan SDA lainnya, sirnakan ambisi transisi Kekuatan hijau karena terpaksa puas dengan hilirisasi saja. Lantas, bagaimana Metode mendukung kemakmuran dunia dan kemajuan yang berimbang?

Indonesia belakangan jadi ujung tombak transisi Kekuatan hijau disokong oleh tingginya minat akan teknologi dekarbonisasi, terutama kendaraan listrik (EV) dan Kekuatan terbarukan. Nikel, tembaga, dan timah vital peranannya dalam Pengembangan produksi baterai lithium-ion, jaringan listrik, dan berbagai komponen elektronik.

Meski menguasai 42% cadangan nikel berkualitas tinggi dunia serta mineral kritis lainnya, industrialisasi sektor ini di Indonesia Lagi tertahan. Walaupun Eksis keuntungan dari nasionalisasi dan pembangunan smelter, Indonesia hanya menghasilkan produk Separuh jadi dan pasar utamanya hanya Tiongkok. Dengan 90% smelter didanai oleh Tiongkok, ketergantungan itu jadi titik lemah yang belenggu potensi keuntungan dan penurunan harga nikel Membikin operasinya merugi.

 

Hindari gaya OPEC+

Menentang monopolisasi mineral kritis Mendunia North dan Tiongkok, Indonesia berupaya membentuk institusi ala OPEC+, mungkin dengan dukungan Rusia. Strategi itu santer diviralkan Presiden Jokowi dan Menteri BKPM Bahlil Lahadalia dalam KTT G-7 dan G-20. Tetapi, langkah itu berisiko memicu boikot dari AS/Barat yang menudingnya sebagai kartelisasi rantai pasok.

Cek Artikel:  Transformasi Ide ke Produk Pelajaran di Industri Teknologi

Sejarah OPEC+ telah menunjukkan bahwa kartel semacam itu rentan terhadap konflik kepentingan dan intervensi eksternal Apabila Ingin sukses upaya renaissance mineral ini perlu disesuaikan dengan Ciri pasar komoditas.

Adapun persepsi positif terhadap OPEC+ sebagai kartel migas pengendali pasar/krisis minyak 1970-an kini semakin usang. Kontrol OPEC+ melemah karena dua Unsur Esensial: pertama, hambatan teknis dan finansial dalam regulasi Pengembangan/reduksi kuota produksi secara spontan dan inkosisten.

Fluktuasi kuota produksi menghambat skema investasi finansial jangka panjang dan pengembangan kapasitas cadangan migas berkelanjutan sehingga akibatnya arah regulasi kacau dan mekanisme kontrol harga Kagak tercapai dalam jangka pendek dan panjang. Selain itu, kapasitas cadangan berlebih Bahkan meningkatkan risiko intervensi politik dan revolusi, terutama di kawasan Timur Tengah yang rawan instabilitas.

Kedua, kolusi dan insidipliner member OPEC+. Manipulasi kuota dan Pengembangan produksi ilegal marak Demi kepentingan finansial dan Kendali regional, terutama antarnegara Timur Tengah yang ekonominya belum terdiversifikasi. Kurangnya kerangka regulasi dan Denda serta ketiadaan sistem pemantauan menyebabkan rendahnya kepatuhan tehadap alokasi kuota produksi dengan tingkat kepatuhan hanya 29% menurut CATO Institute.

Kelemahan teknis itu menjadikan OPEC+ sebagai model yang Kagak sempurna. Model kooperasi Spesial seperti OPEC+ Bahkan mempertajam polarisasi Mendunia dan menghambat koordinasi perdagangan berkelanjutan. Praktik monopolistik itu Kagak hanya memicu konfrontasi diplomatik ekstrem, tetapi juga berpotensi mengisolasi sektor industri mineral kritis Indonesia, khususnya nikel, Apabila diterapkan.

Cek Artikel:  Menggugat Independenitas Presiden

 

Nasionalisme SDA proporsional

Dalam konteks nasionalisme SDA Demi membentengi sektor mineral kritis, Indonesia harus Luwes. Belajar dari kebijakan Pelarangan ekspor bauksit 2014, upaya Perlindungan berlebihan Bahkan hambat foreign direct investment (FDI) masuk dan paksa asing danai pemasok lain (Republik Guinea) dan ciptakan produk alternatif tanpa bauksit.

Betul Indonesia untung besar dari hilirisasi Nikel Sokongan Tiongkok. Tetapi, kalau Ingin berdaulat ekonomi dan Kekuatan jangka panjang, visi keberlanjutan lingkungan harus jadi prioritas selanjutnya. Nikel memang kunci dekarbonisasi, tapi overeksploitasi dan standar smelter rendah Bahkan menciptakan paradoks hijau–merusak lingkungan atas nama Kekuatan Rapi.

Centre for Strategic and International Studies (CSIS) mencatat setidaknya 3.331 hektare lahan terdeforestasi hanya di Halmahera dan berkontribusi pada emisi 2,04 juta ton gas rumah kaca. Skala kerusakan itu jauh lebih besar Apabila dilihat secara nasional. Selain itu, pencemaran ekosistem dan kualitas air akibat manajemen limbah tambang yang sembarangan juga marak. Akibatnya, hal itu mengancam ketahanan pangan dan menimbulkan masalah kesehatan penduduk lokal. Kelonggaran standar lingkungan dimanfaatkan oleh konsorsium Tiongkok Demi menekan biaya produksi dan menghilangkan pesaing.           

Di sinilah pentingnya diversifikasi Kenalan investasi sebagai ‘polisi lingkungan alami’ Demi meningkatkan akuntabilitas perusahaan dalam mematuhi standar lingkungan. Perusahaan AS/Barat dan Rusia Mempunyai standar environmental, social, and governance (ESG) yang lebih ketat dengan sistem yang transparan dan tebuka pada Kesempatan audit eksternal independen terhadap peforma lingkungan mereka. Keterlibatan mereka menciptakan persaingan pasar yang lebih sehat dan memastikan mekanisme monitoring yang terkontrol dan akuntabel.

Cek Artikel:  Kepemimpinan Minus Kemaslahatan Publik

 

BRICS+ sebagai alternatif

Langkah diversifikasi Kenalan investasi itu juga krusial Demi lepaskan diri dari ketergantungan pada instrumen finansial Tiongkok, yang rentan jadi subjek Denda AS/Barat. Hal itu memperluas akses ke pasar modal Dunia dan alih teknologi/pengetahuan jangka panjang dengan Mendunia North. 

Lebih lanjut langkah itu juga mesti ditopang dengan kooperasi transnasional inklusif seperti BRICS+ yang berfungsi sebagai jembatan persahabatan dan bisnis. Kerangka regulasi perdagangan dan jaringan produsen-konsumen yang terintegrasi dalam BRICS+ dapat memastikan stabilitas rantai pasok hulu-hilir serta mempercepat perdagangan antar Personil. Dengan demikian, pemanfaatan peranan BRICS+ lebih efisien ketimbang menginisiasi kooperasi serupa ala OPEC+ dari Nihil.

Belajar dari kesalahan OPEC+, kebijakan kuota produksi serupa Demi mineral kritis dalam BRICS+ dapat diterapkan Demi mengontrol pasar dan mencegah overeksploitasi, tetapi periode penyesuaian kuota diperpanjang menjadi dua tahun, memberi kesempatan bagi industri Demi menyesuaikan kapasitas teknis dan finansial. Dengan melibatkan konsumen dalam penentuan kebijakan, itu akan Membikin proyeksi arah kebijakan berimbang/nonmonopolistik dan saling menguntungkan.

Apabila serius Ingin maksimalkan potensi nilai tambah mineral kritis melalui BRICS+, Presiden Prabowo Subianto harus memperkuat mekanisme penegakan alokasi produksi yang transparan dengan sistem pemantauan kuota dan regulasi yang ketat.

Penerapan Denda tegas bagi pelanggar dan Bonus bagi yang Taat akan stabilitas pasar dapat meningkatkan kepercayaan investor jangka panjang. Kepastian hukum dan stabilitas politik ialah kunci Demi keberlanjutan industrialisasi mineral kritis Indonesia dan Percepatan transisi Kekuatan hijau serta kemakmuran Mendunia.

Mungkin Anda Menyukai