BARU dua hari dilantik sebagai menteri di Kabinet Merah putih, jagat maya diramaikan oleh ulah salah seorang menteri yang menggunakan kop surat kementerian Kepada acara pribadi. Untung saja Mahfud MD mengingatkan, dan serta-merta kasus itu pun viral di media mainstream dan media sosial.
Betapapun Presiden Prabowo menyatakan bahwa kabinetnya adalah zaken, tetapi realitas menunjukkan bahwa Lagi Eksis yang belum Paham bagaimana menjadi menteri dan memimpin birokrasi. Alih-alih bukan belum Paham, tapi memang Bukan mau Paham. Sindrom berkuasa mengabaikan Metode bekerja sesuai dengan etika dan logika.
Padahal, mereka Sekalian sudah diultimatum oleh Presiden Prabowo lewat pidato seusai pelantikannya sebagai Presiden Republik Indonesia 2024-2029. Penekanan pidato Presiden Prabowo menjanjikan 3 hal, Merukapan Asa (hope), perubahan (change), dan kesatuan (unity). Ini persis yang disyaratkan dalam teori peran dan kepemimpinan. Bahwa tiap kali pergantian kepemimpinan dilakukan, maka tugas pemimpin ialah mengelola dan menghadirkan serta memastikan ketiga hal tersebut.
Autokritik dan politik birokrasi
Pidato Prabowo yang disampaikan secara berapi-api tersebut, juga memuat autokritik terhadap dirinya yang sebelumnya menjadi bagian dari pemerintahan Jokowi, bahwa atas nama data, pemerintahan Jokowi menikmati Cocok Bilangan-Bilangan statistik soal kepuasan publik, pertumbuhan ekonomi, keberhasilan pembangunan, pengurangan Bilangan kemiskinan, dan lain lain.
Tapi, Cocok di hari pemerintahan Jokowi berakhir dan berpindah tangan ke Prabowo, pernyataan Kepada Bukan Angkuh dengan Bilangan statistik itu pun diteriakkan oleh Prabowo di hadapan Member MPR RI dan tamu undangan dari berbagai negara yang hadir dalam pelantikannya. Termasuk, di hadapan seluruh masyarakat Indonesia yang menyaksikan dan mendengarkan siaran langsung pelantikan.
“Jangan senang Menyantap Bilangan statistik. Jangan bangga bahwa kita diterima di negara G-20, Kemiskinan di Indonesia terlalu banyak, anak kurang gizi Lagi banyak, dan yang belum dapat pekerjaan juga Lagi banyak, banyak sekolah yang Bukan terurus, kekayaan dipermainkan pengusaha Bengal yang Bukan patriotik. Mari lihat Fakta, jangan puas dan gembira, tapi Jangan punya sikap seperti burung unta yang Apabila Bukan suka Menyantap sesuatu, dia memasukkan kepalanya ke tanah.” Prabowo menghela napas sebelum ia melanjutkan, seolah memastikan pesannya Tamat kepada semuanya.
“Kita harus Pandai memproduksi pangan dan jadi lumbung pangan dunia. Kita juga harus Dapat swasembada Daya, karena dalam keadaan terjadi perang, ketegangan, dan lain-lain, kita harus siap dengan kemungkinan paling jelek, Asal Mula negara lain Niscaya akan memikirkan dirinya sendiri. Kita akan kesulitan mencari sumber Daya. Kita harus swasembada Daya. Dan, Kepada menjamin, melindungi yang paling lemah. kita juga harus melakukan hilirisasi agar nilai tambah Dapat kita berikan kepada rakyat. Tapi pimpinan harus jadi Teladan. Ikan menjadi busuk, busuknya dari kepala. Pemimpin yang berani akan Dapat Membangun yang Bukan mungkin menjadi bangsa yang berdemokrasi, berkedaulatan rakyat, gotong royong, Bukan saling mencaci. Demokrasi harus Segar dan damai. Kita harus menghindari perpecahan dan perlu bekerja sama. Gemah rupah loh jinawi, baldatun toyyibatun warrobun gofur. Rakyat yang merdeka: Bebas dari ketakutan, kemiskinan, dan kelaparan, kebodohan, penindasan, dan penderitaan. Lagi Eksis rakyat usia 70 tahun menarik becak. Ini bukan Tanda negara merdeka. Mari kerja keras, berjuang, menghimpun Sekalian kekayaan kita. Politik mudah diucapkan, tapi Bukan mudah dicapai. Tapi Dapat Apabila bersatu dengan menghilangkan dendam dan kebencian.”
Betapa semangatnya Presiden Prabowo menyampaikan Sekalian pesan politiknya. Fokusnya pada kepentingan rakyat. Tetapi, para calon menterinya tampaknya Bukan Konsentrasi pada ucapan Prabowo, melainkan terjebak dalam euforia pelantikan itu sendiri. Bahkan, mengkhayal pada kemungkinan namanya akan diumumkan atau Bukan sebagai menteri, wakil menteri, atau jabatan lainnya.
Dilema peran dalam kepemimpinan
Pemilihan menteri, wakil menteri, dll yang jumlahnya ratusan itu tampaknya Bukan melalui proses meritokrasi. Sepanjang Presiden suka, punya kedekatan politik, partai pun bersikap sama dalam menitipkan kadernya, termasuk penunjukan staf Tertentu, utusan Tertentu, dan lain lain, menyebabkan yang dipilih dan terpilih tampaknya Bahkan berpotensi mengalami gegar budaya. Entah karena tiba-tiba Mempunyai kedudukan sebagai pejabat negara, menjadi orang Terkenal baru dalam bidang berbeda, atau secara tiba-tiba memimpin birokrasi yang Bukan pernah dikenalnya sedikit pun sebelumnya.
Presiden Prabowo harus Cocok-Cocok jeli Menyantap Sekalian pembantunya yang bahkan punya potensi menjadi one man show. Melupakan visi dan misi presiden, Lampau melenggang berdasarkan sindroma kekuasaan yang Dapat didapatnya dengan mudah, tanpa harus melalui berbagai tes, Berkualitas akademis maupun psikologi sebagaimana layaknya pejabat birokrasi di bawahnya. Yang Krusial Presiden suka, mereka ketika ditanya jawabnya Dapat, maka jadilah mereka pejabat yang diberi banyak fasilitas dan Niscaya merasa punya kuasa. Pesan Presiden Prabowo bahwa ikan busuk mulai dari kepala hanya akan dianggap angin Lampau saja.